Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


15 April 2008

SLANK vs DPR ~ Gosip jalanan


Pernah kah lo denger mafia judi
Katanya banyak uang suap polisi
Tentara jadi pengawal pribadi

Apa lo tau mafia narkoba
Keluar masuk jadi bandar di penjara
Terhukum mati tapi bisa ditunda

Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini

Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara

Apa bener ada mafia pemilu
Entah gaptek apa manipulasi data
Ujungnya beli suara rakyat

Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit

Pernahkah gak denger teriakan Allahu Akbar
Pake peci tapi kelakuan barbar
Ngerusakin bar orang ditampar-tampar

13 April 2008

Swastanisasi Negara

Oleh : Yonky Karman
(Dosen STT Jakarta)

Harga pangan melambung tak terjangkau rakyat berpenghasilan rendah. Ribuan pekerja industri kecil dan menengah tempe-tahu terkena pemutusan hubungan kerja. Apa yang sebenarnya terjadi pada negara agraris yang seolah tak berdaya? Penjelasan normatif dari pihak pemerintah adalah pengaruh eksternal dan krisis pangan global. Namun, pada dimensi substil, negara kalah berhadapan dengan kekuatan pasar.

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan membuat transaksi perdagangan berlangsung menurut standar global. Dengan terbukanya pasar, batas-batas negara-bangsa menjadi nisbi dan negara-bangsa memudar. Diam-diam kedaulatan negara berkembang/miskin digerogoti. Dengan membonceng institusi-institusi keuangan global, kapitalis global mampu memengaruhi kebijakan ekonomi negara berkembang.

Kelemahan negara itu juga dimanfaatkan kapitalis lokal dalam persekutuan dengan kapitalis global. Negara menyerahkan stabilitas komoditas strategis ke tangan importir besar yang dengan leluasa melepas dan menahan ke pasar sesuai dengan kalkulasi keuntungan sebesar-besarnya. Meski swasta bagian dari bangsa, negara-bangsa tersandera kepentingan swasta yang berorientasi profit. Swastanisasi negara berlangsung secara substil di balik proses demokratis (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).

Mitos pasar

Doktrin pasar bebas adalah deregulasi sesempurna mungkin dan regulasi seminimal mungkin (laissez-faire). Dosa besar mencampuri proses pasar. Dalam keyakinan fundamentalisme pasar, begitu kompetisi dan efisiensi terjamin, konsumen akan diuntungkan. Pasar dengan sendirinya akan mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial.

Keyakinan itu ternyata berlebihan. Pasar tidak otomatis efisiensi. Kompetisi bebas tidak otomatis harga turun. Ada kartel di antara para pengusaha yang membuat pasar tidak bebas dan tidak kompetitif. Ditambah informasi asimetris, pasar terdistorsi. Tangan tak terlihat masih kurang panjang untuk menyelamatkan rakyat dari petaka ekonomi. Deregulasi gagal meningkatkan pendapatan masyarakat bawah. Rakyat kecil bermimpi menggapai keadilan sosial.

Tingkat pengangguran meningkat. Tahun 2007, ada 409.890 sarjana Indonesia menganggur dibandingkan dengan 183.629 orang tahun 2006. Kesenjangan ekonomi melebar. Si kaya kian kaya. Si miskin kian miskin. Yang di tengah berjuang untuk tidak terjerembab ke dalam kemiskinan.

Dalam ungkapan Joseph E Stiglitz, globalisasi ekonomi seperti pedang bermata dua, salah satu matanya lebih tajam bagi negara berkembang. Pasar uang dan modal Indonesia amat bergantung pada hot money. Namun, keuntungan yang dihasilkan ketika masuk lebih kecil ketimbang kerugiannya ketika uang itu tiba-tiba keluar.

Pemerintah negara berkembang terpaksa mengikuti perkembangan harga pasar, tidak jarang mencabut subsidi, membuat rakyat menderita. Itulah yang terjadi di Myanmar saat harga BBM naik hingga 500 persen meski negeri itu tertutup. Negara maju mengampanyekan deregulasi untuk negara berkembang sebab akhirnya merekalah yang lebih memetik keuntungan.

Kelemahan dan celah hukum negara berkembang dimanfaatkan kapitalis global. Negara lemah terpaksa menerima produk impor negara kuat yang memproteksi produknya dengan subsidi dan hambatan tarif agar produk impor negara berkembang kehilangan daya saing.

Dalam kemitraan dengan perusahaan transnasional, negara berkembang membayar ongkos dan risiko lebih besar. Lingkungan rusak. Proses pemiskinan rakyat miskin terjadi di area pertambangan yang hasilnya dinikmati perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menderita karena lingkungan yang rusak.

Memperkuat negara

Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara dan membenarkan Darwinisme sosial.

Desentralisasi yang maunya mendekatkan pemerintah dengan rakyat dibuat tidak efektif sebab globalisasi berhasil menjauhkan pemerintah dari rakyat. Kedua kekuatan yang saling bertentangan itu terjadi bersamaan. Namun, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.

Beberapa negara di Asia Timur tidak terpuruk di era globalisasi karena memberi prioritas kepada rakyat kecil untuk kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan. Daripada mengemis kepada swasta untuk ikut menstabilkan harga di dalam negeri, pemerintah berperan aktif dalam redistribusi pendapatan nasional. Keseimbangan peran antara pemerintah dan swasta harus selalu diupayakan. Tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi wajah sosial kepada kapital swasta.

Untuk itu, negara harus kuat, bukan dalam kategori sosialis-totaliter atau demokrasi pasar bebas, melainkan karena berwibawa. Kewibawaan negara kerap diremehkan karena inkonsistensi dalam penegakan hukum. Korupsi jelas menggerogoti wibawa negara. Rakyat dan dunia sering bertanya mengapa presiden yang relatif bersih dari korupsi tidak membuat gebrakan dalam pemberantasan korupsi.

Setelah pemerintah di jalur konsistensi dan memiliki wibawa, giliran pemerintah ikut membangun kultur bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak semata-mata mengejar keuntungan. Stiglitz membandingkan CEO di negerinya dan di Jepang (Alpine Schadenfreude and the US Economy, The Jakarta Post 5/2).

Ketika dilanda krisis, CEO di AS menikmati bonus berlimpah sebagai hak pribadi. Komisaris korporasi enggan memecat CEO-nya lantaran besarnya bonus dan uang pisah. Di Jepang, CEO bank besar akan minta maaf kepada pegawainya dan negara. Ia menolak pensiun dan bonusnya agar jumlah uang yang besar itu dinikmati mereka yang menderita akibat kegagalan korporasi. Lalu, ia mengundurkan diri.

Lihat betapa parah krisis ekonomi di AS dalam 20 tahun terakhir setelah krisis simpan pinjam (1989) dan Enron/WorldCom (2002). Dunia harus membayar mahal untuk mitos perdagangan bebas yang selama ini menjadi mantra global. Diversifikasi dalam manajemen risiko tidak mampu meredam kerugian ketika risiko-risiko itu saling terkait. Dunia terseret ke dalam resesi global.

Akhirnya, fundamental suatu negara tergantung dari moralitas dalam bisnis, moralitas penegak hukum dan penyelenggara negara, serta moralitas negara itu sendiri.

Sumber : Kompas, 13 April 2008

Negara Gagal ?

Oleh: Meuthia Ganie-Rochman
(Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas Indonesia)

Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.

Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?

Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.

Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.

Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan sebelum permasalahannya diakui.

Inefisien

Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya, inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?

Apakah negara gagal? Apakah ”negara” itu: apakah pemerintah saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan peradilan. Apakah makna ”gagal”: bukankah tidak terjadi kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi pengunjung?

Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk. Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.

Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau menjatuhkan.

Keriuhan arena publik

Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian? Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD. Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.

Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua, dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan merusak moralitas ekonomi bangsa.

Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat hubungan baru (eksklusivisme), profesionalisme yang tidak berkembang, dan sebagainya.

Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur. Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).

Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Sumber : Kompas, Kamis 3 Maret 2008

05 April 2008

Gajah Melukis

New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------