Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


25 November 2007

Gambaran Politik Ekonomi Indonesia

Indonesia masa depan

Ano Darno berbicara mengenai gambaran politik ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Saksikan uraianya pada tayangan video berikut :





Presiden SBY mendapat tekanan dalam melawan korupsi. Ada ancaman berupa sms, berikut ungkapannya (klik tayangan pada video) berikut :

24 November 2007

Jangan Menjual Indonesia ku


Sri-Edi Swasono *)


Makin banyak diberitakan keprihatinan tentang makin melunturnya nasionalisme. Makin banyak pula gerakan patriotik yang mencemaskan telah berubahnya pembangunan Indonesia menjadi sekadar pembangunan di Indonesia. Gegap-gempitanya pembangunan di Tanah Air, menggelegarnya tiang-tiang pancang menembus bumi sebagai derap pembangunan di Indonesia belum menempatkan Indonesia sebagai Tuan di Negeri Sendiri. Semula berbisik- bisik, lama-lama menjadi pembicaraan terbuka sehari-hari, bahwa banyak pemuda berdasi kita sudah menjadi jongos globalisasi.

Keprihatinan di media massa ini haruslah kita syukuri sebagai suatu arus-balik kembalinya kesadaran nasional dan rasa kebangsaan yang akan bisa memperkukuh jati diri Bangsa Indonesia.

Lahirnya Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) yang dideklarasikan Kwik Kian Gie dan kawan-kawan pada 9 Juni 2006, tidak terlepas dari alasan makin intensifnya pelaksanaan kebijakan sistematis ala Konsensus Washington (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi).
Demikian pula dideklarasikannya Komite Bangkit Indonesia oleh Rizal Ramli dan kawan-kawan pada 31 Oktober 2007, yang mendapat sambutan banyak kalangan, ruhnya adalah semangat kebangkitan menolak penjajahan (baru), menolak privatisasi kebablasan, menolak kapitalisme, dan imperialisme predatorik yang makin nyata menelikung Indonesia, yang telah memberikan kesempatan berlebih kepada investor-investor luar negeri untuk mendominasi (overheersen-istilahnya kaum Republiken doeloe) lapangan-lapangan usaha strategis di negeri kita.

Di Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan 10 November (the Glorious November 10th, 1945) akan dikumandangkan nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Akan ditegaskan di situ bahwa Indonesia untuk Bangsa Indonesia, Indonesia is not for sale.

Posisi Rakyat

Keterpurukan Indonesia adalah keterperosokan Indonesia menerima pasar-bebas. Pasar-bebas ibarat menjadi berhala baru dalam praktek penyelenggaraan ekonomi. Di harian ini pernah saya kemukakan tentang keprihatinan tentang Daulat Pasar yang menggusur Daulat Rakyat. Bila kita meneropongnya dengan jeli, tidaklah sulit untuk melihat telah terjadinya proses pembangunan berkesinambungan yang menggusur orang-orang miskin, tetapi bukan menggusur kemiskinan.
Berdasar paham Daulat Rakyat maka posisi rakyat dalam pembangunan nasional adalah substansial, namun posisi sentral ini telah direduksi dan rakyat terpojok ke posisi residual.
Ibaratnya kepentingan rakyat ditempatkan pada urutan preferensi tambal-sulam, di pinggiran variabel-variabel makro ekonomi konvensional-tradisional, tidak pada preferensi substansial (karena terbatasnya kolom, data dan contoh-contohnya tidak dikemukakan di sini).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan penolakannya terhadap liberalisme, kapitalisme, dan ideologi fundamentalisme pasar, yang tentulah sangat kita hargai. Tentu berkaitan pula dengan penolakan ideologi itu, Wapres Jusuf Kalla pun berpendapat seiring.
Wapres tidak menghendaki bank-bank nasional kita berperan sebagai tengkulak - maksudnya bank-bank kita harus tetap berperan sebagai agent of development, tidak sebagai rent-seekers melulu. Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai dengan penegasan Presiden dan Wapres di atas.

Barangkali para penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin, dan Roger Myerson yang tidak memutlakkan mekanisme pasar-bebas dengan tangan gaib (invisible hand) senyawanya dapatlah menambah keyakinan para pembaca, bahwa yang dikemukakan oleh Presiden dan Wakil Presiden itu adalah pemikiran yang benar.

Teori para Nobel laureates, yang berujung pada upaya mencapai Pareto efficiency melalui rancangan design mechanism itu, moga-moga menyadarkan para ekonom kita akan error (erroneous)-nya fundamentalisme pasar. Dengan makanisme pasar-bebas (berdasar doktrin perfect individual liberty dan doktrin self-interest-nya Adam Smith), yang kuat (kaya) akan selalu lebih mampu meraih manfaat di pasar. Prinsip Pareto optimal, dalam pengertian dapat tercapainya kondisi efisien, di mana tidak lagi seseorang bisa beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off), maka dalam pasar-bebas yang better-off pastilah yang kaya. Pasar-bebas yang tabiatnya tidak self-correcting dan tidak self-regulating memerlukan campur-tangan pemerintah untuk mengoreksi keserbamenangan pasar (sesuai adagium the winner-take-all).

Nasionalisme Ekonomi

Jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia, para founding fathers kita telah dengan jeli mewaspadai individualisme dan liberalisme Adam Smith. Pada 1934, Mohammad Hatta telah mengemukakan: teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo economicus. Akan tetapi orang ekonomi seperti lukisannya hanya ada dalam dunia pikiran sebab itu dalam praktik laisser-faire - persaingan merdeka (pasar-bebas) - tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith. Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah. Tangan gaib Adam Smith adalah ilusi dan mitos belaka. Sedang Radjiman Wediodiningrat (1944) menyatakan: Adam Smith adalah golongan cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih-pribadi (self-interest) sebagai penyakit masyarakat. Dalam kaitan dengan Hurwicz, Maskin, dan Myerson, adalah tepat reaksi para ekonom strukturalis yang menegaskan pentingnya kembali melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 untuk menghindarkan gugurnya Daulat Rakyat oleh Daulat Pasar. UU Migas (No. 22/2001) dan UU Penanaman Modal (2007) harus secara fundamental ditinjau ulang. Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng nasionalisme ekonomi Indonesia. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Bagi pemikir strukturalis Indonesia, Soekarno, Hatta, Radjiman, Margono, dan Sumitro Djojohadikusumo, Wilopo, dan seterusnya, kemudian Mubyarto, Sritua Arief, Hartojo Wignjowijoto, Dawam Rahardjo, Bambang Ismawan, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, Kurtubi, I Noorsy, Revrison Baswir, Marwan Batubara, dan seterusnya, maka peran Negara tidak saja untuk mengatasi kegagalan pasar, tetapi untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, menolak penjajahan baru.Nasionalisme Soekarno-Hatta tidak tertundukkan. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November mari kita mengenang kepahlawanan mereka.


Dalam pledoinya di depan Sidang Pengadilan Den Haag (1928) berjudul Indonesi? Vrij (Indonesia Merdeka), Bung Hatta menegaskan: lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain.

Dua tahun kemudian (1930), Bung Karno pun menggugat di depan Sidang Pengadilan Bandung. Dengan pledoinya berjudul Indonesi? Klaagt-Aan (Indonesia Menggugat), menegaskan: imperialisme berbuahkan negeri-negeri mandat, daerah pengaruh yang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, membuahkan negeri jajahan syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional.
Namun, beberapa ekonom muda mengibarkan bendera ketertekuk-lututannya dengan membacakan tuah: â€Å“nasionalisme itu kuno, masukkan saja dalam saku. Sambil menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru membacakan proklamasinya: this is the end of nation sates, the world is borderless and there is no more free lunch. Absurditas bertemu dengan mediokritas. Memang sejak awal Kemerdekaan pun ada kelompok Republiken dan kelompok Co (NICA), ada kelompok yang mangusir penjajah dan ada yang mengundang kembali penjajah. Kelompok Co, yang serba hanging-loose dan bermasa-bodoh, tidak merasa perlu untuk tahu ground-zero keberadaannya dalam berperikehidupan nasional.

Posisi rakyat adalah sentral dan substansial, bukan tersubordinasi. Oleh karena itu, doktrin residual Presiden Hoover yang berujung pada teori trickle-down effect (teori rembesan ke bawah), yang menempatkan rakyat hanya berhak akan rembesan, harus kita tolak.
Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (tanpa menunggu MDGs), mengutamakan kepentingan rakyat seluruhnya sesuai Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945, bahwa tiap warga negara berhak akan pekerjaan (antipengangguran) dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (antikemiskinan), sesuai pula dengan Pancasila kita: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merdeka dan rukun bersatu.

*) Penulis adalah Guru besar fakultas ekonomi Universitas Indonesia

23 November 2007

Globalisasi Juga Suburkan Keserakahan

Oleh A. Jafar M. Sidik

Para jenderal sontak murkabegitu Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra memutuskan menjual Shin Corp, perusahaan telekomunikasi Thailand, senilai 3,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) kepada Temasek milik Singapura.

Konon, divestasi Shin Corp itulah yang mendorong para jenderal Thailand mengudeta Thaksin."

Saya ingin aset-aset negara dikembalikan, khususnya satelit-satelit telekomunikasi. Semua aset nasional, tak peduli di mana adanya akan selalu menjadi milik Thailand dan rakyat Thailand," kata Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, segera setelah ia mengudeta Thaksin, demikian laporan Financial Times dalam satu edisinya.

Di Indonesia, pada 19 Nopember 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis Temasek telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Menurut KPPU, Temasek bersalah karena memiliki saham di dua perusahaan yang mempunyai bidang usaha dan pasar yang sama yaitu Telkom dan Indosat.

Dua peristiwa mutakhir itu bisa menjadi cermin bahwa lalu lintas modal mesti dicermati lebih saksama karena selain menjadi lokomotif ekonomi pemicu kemakmuran juga bisa mengembangbiakkan perilaku tamak yang menggerogoti fungsi publik perusahaan-perusahaan negara.

Majalah Perancis "Le Monde Diplomatique" edisi November 2007 mengupas kecenderungan perilaku tamak akibat dominannya korporasi asing dalam banyak perekonomian nasional itu.

Secara khusus, Le Monde membidik firma-firma kelolaartha (fund management) berskala global."

Seiring kian mengerikannya horor globalisasi, satu model kapitalisme baru yang lebih brutal sedang mencabik-cabik sistem perekonomian global," tulis Ignacio Ramonet, jurnalis dan penulis Spanyol yang menjadi Pemimpin Redaksi Le Monde.

Wujud baru itu adalah perusahaan-perusaha an pengelola modal yang oleh ekonom Perancis Frederic Lordondisebut "predator" atau pemangsa."

Para predator" yang diam-diam mengendalikan perekonomian global itu di antaranya Grup Carlyle, KKR, Grup Blackstone, Colony Capital, Apollo Management, Cerberus Partners, Starwood Capital, GrupTexas Pacific, Wendel, dan Euraze.

Antara 2002 dan 2006, mereka mengelola dana 135-515 miliar dolar AS (sekitar Rp1.260 - Rp4.790 triliun) diribuan bank, perusahaan asuransi, dan dana pensiun di seantero jagat.

Kuasa keuangan mereka sungguh menggetarkan karena mampu menghimpun dana 1.600 miliar dolar AS (Rp14.880triliun). Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto Indonesia pada triwulan pertama 2007 yang "hanya"Rp915,9 triliun.

Bagai gelombang tsunami, tak ada yang bisa menghentikan langkah mereka dan tak ada yang bisa menahan saat mereka memutuskan mundur dan menarik modal.

Tahun lalu, firma-firma induk pengelola investasi itu mengucurkan sebesar 417 miliar dolar AS untuk mengambil alih ribuan perusahaan di seluruh AS.

Di sepanjang kuartal pertama 2007 saja, mereka membenamkan modal hingga 317 miliar dolar AS untuk mengendalikan sekitar 8.000 perusahaan di negara itu.

Kini, setelah berhasil menunggangi Inggris dan AS, mereka mengincar Prancis. Tahun lalu, lembaga-lembagakelola artha yang sebagian besar berbasis di AS dan Inggris itu menggelontorkan dana 14 miliar dolar AS untuk menguasai 400 perusahaan Prancis.

Mereka kini mengelola lebih dari 1.600 perusahaan Perancis, di antaranya Picard Surgeles, Dim, BuffaloGrill, Allocine dan Afflelou. Tak hanya korporasi, mereka juga mengincar pasar modal Prancis karena ingin menguasai saham-saham super likuid dalam indeks CAC40.

Dalam sistem keuangan global, "para pemangsa" itu sebenarnya bukan pemain baru karena sejak 15 tahun lalu kiprah mereka telah menjadi buah bibir masyarakat keuangan dunia.

Pada era sekarang mereka berada di puncak tangga sistem keuangan global.

Mereka mampu menguasai aras tertinggi sistem keuangan dunia berkat kian mudahnya fasilitas kredit dan bertambah canggihnya instrumen-instrumen keuangan.

Prinsip dasar kerja mereka sederhana: sekelompok investor makmur membeli perusahaan-perusahaan yang umumnya dalam kondisi sakit atau yang sedang membutuhkan modal demi ekspansi. Perusahaan ini lalu mereka kelola sendiri tanpa memedulikan aturan pasar modal dan dengan mengabaikan pertanyaan pemegang saham.

Berterompahkan prinsip moral kapitalisme paling mendasar, yaitu hukum rimba, siapa kuat itu yang menang, mereka menjelajah benua guna menghisap keuntungan setinggi-tingginya di berbagai sistem perekonomian dunia, dari negara super melarat sampai super makmur.

Saat beraksi, mereka tak selalu sendirian karena kadang membutuhkan mitra. Misal, untuk mengambil alih satu perusahaan yang katakanlah nilainya mencapai Rp100 miliar, mereka hanya mengeluarkan Rp30 miliar dari koceknya sendiri, sedangkan Rp70 miliar lainnya mereka pinjam dari bank.

Bunga kredit yang sangat rendah membuat mereka mudah mendapatkan dana.

Setelah perusahaan dibeli, selama tiga sampai empat tahun mereka menata kembali perusahaan itu lewat manajemen baru yang mereka bentuk.

Dalam periode ini mereka merasionalisasi sistem produksi, mengembangkan bisnis baru, dan mengalokasikan sebagian besar bahkan semua keuntungan perusahaan untuk membayar pinjaman dan bunganya.

Setelah utang bank lunas, mereka menjual lagi perusahaan itu dengan harga dua kali lipatnya menjadi Rp200 miliar. Menggelikannya, mereka kadang melegonya ke firma-firma kelola artha yang menjadi mitra mereka.

Beberapa masa kemudian, mereka kembali ke perusahaan itu dengan mengajukan penawaran Rp130 miliar, hanya untuk menguasai 30 persen saham perusahaan tersebut. Tetapi, dengan cerdik, mereka menuntut "return"("return on investment" atau tingkat pengembalian modal) 300 persen selama empat tahun.

Di samping membuat firma kelola artha tumbuh meraksasa, metode akuisisi bisnis seperti itu membuat para direkturnya menjadi orang-orang kaya raya bergaji mahabesar tetapi berkarakter bengis karena gemar mengajukan empat formula klasik rasionalisasi perusahaan.

Keempat formula klasik itu adalah mengurangi jumlah karyawan atau memecat karyawan, memangkas upah, menaikkan pagu produktivitas kerja atau menambah beban kerja, dan memindahkan lokasi perusahaan atau pabrik (relokasi).

Langkah mereka semakin mantap karena sistem kebijakan publik (pemerintah) menjamin keleluasaan gerak mereka, sebab pemerintah kerap mengasosiasikan modal asing dengan modernisasi pola produksi dan maksimalisasi kaum pekerja.

Padahal, asumsi dan perilaku tamak ini membuat kontraksosial putus akibat hilangnya unsur kemanusiaan dalam proses produksi. Akhirnya, ikatan nasional pun melonggar, bahkan kerap mengelupas sama sekali. Kalau sudah begini, negara juga yang "kedodoran".

"Globalisasi membuat perilaku tamak lestari nyaris tanpa bisa dihentikan," kata Ignacio Ramonet, editor majalah Le Monde Diplomatique.

Sumber http://antara.co.id/arc/2007/11/21/globalisasi-juga-suburkan-keserakahan/
New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------