Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

25 Maret 2012

"Atas Nama Rakyat, Perlukah BBM Dinaikkan?"


Indonesia Lawyers Club - 20 Maret 2012
"Atas Nama Rakyat, Perlukah BBM Dinaikkan?"
  

Hitungan Subsidi BBM Ala Kwik Kian Gie Dan Kritiknya

Oleh Kwik Kian Gie

“Terkadang sebuah revolusi diawali oleh pemikiran-pemikiran gila yang diawali dari sebuah kebebasan berpikir. Ketika kebebasan berpikir itu telah ada, muncul beberapa opini-opini baru yang membangun. Oleh karena itu ketika pemikiran itu terus berkembang, menulis adalah salah satu cara mengungkapkan sebagai suatu memori. Agar tidak sekedar menjadi obrolan warung kopi.” (Akhmad Fikri Aulia, Jakarta)

Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana? 

Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?

Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata “subsidi BBM” itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana? Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.

Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil

US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.

Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel.

Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya?

Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.

Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.

Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?

Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.

15 Juni 2010

Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, berkata:

Bahwa Bank Dunia bukan lagi dominasi negara-negara tua dan kaya, tapi juga perlu mementingkan peran negara berkembang. "Bank perlu mengakui suara dari negara-negara berpenghasilan menengah dan negara berkembang," katanya Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati
 

07 Juni 2010

Mungkinkah Sri Mulyani Membentuk Pemerintahan Dipengasingan?

Oleh: Kwik Kian Gi
(Menko Ekonomi Kabinet Persatuan Nasional 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas Kabinet Gotong-Royong 2001-2004)


Mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menteri Keuangan RI menimbulkan kehebohan dan banyak pertanyaan tentang penyebab yang sebenarnya. Ada yang mengatakan bahwa perpindahannya pada pekerjaan yang baru di World Bank (WB) adalah hal yang membanggakan. Tetapi ada yang berpendapat, bahkan berkeyakinan tidak wajar, terutama kalau dikaitkan dengan skandal Bank Century (Century).

Saya termasuk yang berpendapat, bahkan yakin sangat tidak wajar. Alasan-alasan saya sebegai berikut.

Beberapa ungkapan dan pernyataan dalam berbagai pidato perpisahannya mengandung teka-teki dan mengundang banyak pertanyaan, yaitu : “Jangan ada pemimpin yang mengorbankan anak buahnya.” “Saya tidak bisa didikte”. “Saya menang”. “Saya tidak minggat, saya akan kembali”.

02 November 2009

Kenaikan Gaji dan Beban Bangsa

Oleh : Saifur Rohman

Kenaikan gaji presiden sampai bupati telah digulirkan pada APBN 2010. Sudah lima tahun gaji presiden dan para menteri tidak naik. Perihal angka persentase penaikan menteri yang hampir empat kali lipat, menurut Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, hal itu ”menyesuaikan dengan kondisi perekonomian”.

Sebetulnya perihal sesuai atau tidak tentu bukan sekadar mengacu pada kemampuan ekonomi. Sebagai kaki tangan negara yang sebagian besar dihidupi oleh pajak yang dipungut dari jerih payah rakyat, dan oleh karena cita-cita pendirian negara adalah keadilan sosial bagi keseluruhan, maka soal kepantasan ini berhadapan dengan nilai sosial. Seberapa pantaskah gaji presiden dan para pembantunya dinaikkan? Legitimasi apakah yang memungkinkan publik bisa menerima kenaikan itu sebagai sebuah kewajaran?

29 Agustus 2009

Usut Tuntas Penjualan Pulau Indonesia

JAKARTA-- Munculnya berita penjualan tiga pulau di kawasan Mentawai, Sumatara Barat mengejutkan semua pihak. Atas kondisi tersebut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak agar kasusnya segera diusut tuntas.

Menurut Sekjen KIARA, M Riza Damanik, penjualan pulau-pulau ini mengisyaratkan gagalnya negara menjaga kedaulatan bangsa dan merupakan tindakan yang tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Sejak Deklarasi Djuanda 1957 telah diingatkan pentingnya negara menjaga kedaulatan dan keselamatan anak bangsanya. Semestinya negara memaksimalkan upaya ini, bukan malah menjualnya.

20 Mei 2009

Jalan Neoliberal Pak Bud

Oleh: Revrisond Baswir,
(Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Yogyakarta)

PIDATO pengukuhan DR Boediono sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menarik untuk dicermati. Peristiwa itu tidak hanya penting karena berkaitan dengan puncak karier seseorang sebagai staf pengajar perguruan tinggi.

Pada saat yang sama, sebagai seseorang yang sedang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomi, peristiwa itu juga penting karena mengungkapkan garis pemikiran Boediono dalam melaksanakan tugas pemerintahannya.

15 Oktober 2008

Zeitgeist - The Movie: Federal Reserve (Part 1 of 5)

Simak dan perhatikan bagaimana permainan The Fed sebagai Bank Sentral di USA yang milik swasta dan akan/telah kuasai ekonomi "Amerika dan mau kuasai dunia ?" klik video berikut :

"Zeitgeist - The Movie" is a three part film. The film, unedited, is two hours long. The video you are currently watching is part three of three of the film; "The Federal Reserve". If you'd like, you can view parts one (Religion) and two (World Trade Center) in my profile.I have split this video into five parts.You can view the entire video at this link: http://www.zeitgeistmovie.com or click :
http://www.youtube.com/watch?v=_dmPchuXIXQ&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=lBZne09Gf5A&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=SjUrib_Gh0Y&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=_BVNN1wqw3k&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=1I796gwn95I&feature=related

09 Oktober 2008

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi

Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya "menceritakan" secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

30 September 2008

GEJOLAK FINANSIAL Tangan Tuhan, Krisis Keuangan AS, dan Kita

Oleh: Muslimin Anwar

Jumat, 26 September 2008

Boleh jadi, sepertinya Tuhan tengah menegur Amerika Serikat (AS) dengan krisis keuangan saat ini. Bagaimana mungkin,bank investasi papan atas sekelas Lehman Brothers luluh lantak dalam sekejap setelah 158 tahun kokoh berdiri.

Kita pun seakan tak percaya Morgan Stanley dan Goldman Sachs kini harus turun kelas menjadi sekadar bank komersial belaka, untuk bisa bertahan hidup. Kita pun terperangah ketika menyadari Federal Reserves terpaksa menyuntikkan 85 miliar dolar AS ke tubuh bongsor AIG, agar tidak mati lemas seketika.

Mungkin inilah cara Tuhan berlaku adil, sekadar mengobati luka hati mereka yang kehilangan harta bendanya di New Orleans, anak-anak yatim di Irak, para piatu di Afghanistan, dan orang-orang yang kehilangan rumahnya di Palestina, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintahan George W Bush. Tak kurang dari Barack Obama menuding Bush-lah yang bertanggung jawab atas demikian berantakannya situasi dunia dan prahara yang terjadi di AS.

Di sisi lain, ada pula yang berujar, mungkin ini pulalah cara Tuhan menyampaikan salam perpisahan kepada George W Bush, di akhir masa pemerintahannya yang tinggal berbilang bulan. Kalau di awal pemerintahannya ia bertekad memburu seorang (Saddam) Hussein, maka menjelang akhir pemerintahannya ia balik dikejar-kejar oleh seorang Hussein lainnya, yang tak lain adalah Barack Husein Obama.

Namun terlepas dari itu semua, perlukah kita lantas turut bergembira atas krisis keuangan yang merontokkan bursa saham Wall Street itu? Patutkah kita bersorak sambil meneriakan "Rasain kau Amerika!".

Rasanya, hal tersebut tak akan menambah baik suasana. Lebih bijak bestari apabila hati dan pikiran kita bersama dengan rakyat jelata di berbagai belahan dunia yang segera bertambah berat beban hidupnya, terancam kehilangan rumah dan pekerjaannya, akibat ketamakan segelintir manusia di Wall Street sana.

Lebih arif dan manusiawi apabila kita berempati dan turut mengurangi dampak gempa besar dengan episentrum di AS itu. Lantas apa yang perlu kita lakukan? Ada banyak cara untuk segera meminimalisasi dampak buruk gempa keuangan ini bagi rakyat kebanyakan.

Pertama, sebagai bangsa, tentunya kita menginginkan kejujuran dan kesungguhan pemerintah untuk meyakinkan kita bahwa situasi ekonomi kita dalam keadaan aman. Kita menginginkan pemerintah secara transparan dan akuntabel memberikan informasi yang menyejukkan, bukan sekadar dongeng pengantar tidur sebagaimana yang terjadi sebelum krisis moneter 1997/98. Ketika itu Presiden Soeharto dengan tegas menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, sehingga tak akan terkena imbas dari krisis mata uang yang ketika itu tengah melanda Thailand.
Kita sama-sama mahfum kalau riak dari tsunami keuangan di AS itu sudah sampai di Bumi Pertiwi. Hal ini ditunjukkan oleh merosotnya indeks saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), di mana banyak investor melepas portofolionya dan pada akhirnya turut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah.

Saatnya pemerintah dan BI secara intensif menenangkan dan meyakinkan pasar dengan membumikan apa yang telah mereka susun sebagai sistem stabilitas keuangan itu. Sebagaimana diketahui, saat ini telah dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Selain itu, telah pula dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) sebagai wadah koordinasi bagi BI, Depkeu dan LPS dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.

Badan Krisis

Mungkin ada baiknya pula dipikirkan untuk membentuk badan jebolan FSSK ini yang memiliki kekuatan hukum untuk menganani krisis keuangan, dimulai saat ini untuk berjaga-jaga, sebelum dampak krisis keuangan AS dirasakan lebih besar lagi di Indonesia.

Tampaknya badan pelaksana SSK atau crisis centre ini mendesak dibentuk, karena tak ada yang pernah menduga kasus sub-prime mortgage yang terkuak tengah tahun 2007 itu menyebabkan tsunami semacam ini. Demikian pula, tak ada yang tahu apabila dampak yang baru dirasakan beberapa perusahaan di Indonesia seperti Manulife dan mungkin AIG Life juga akan dirasakan lebih dahsyat lagi oleh perusahaan lainnya yang saat ini tengah tiarap, menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita tentunya tak ingin kasus serupa Lehman Brothers menimpa perusahaan di Indonesia, padahal indikasi itu sudah ada sejak tahun lalu.

Ketiga, melongok ke gedung Kongres di AS sana yang tengah mempertontonkan kebingungan dan kegamangan untuk memutuskan bail-out senilai 700 miliar dolar AS, sudahkah saatnya DPR kita berembuk segera membuat opsi-opsi keputusan apabila riak-riak tsunami di Indonesia saat ini menjadi banjir bandang.

Salah satu yang perlu segera dilakukan parlemen adalah menyiapkan seperangkat UU yang mengatur krisis tersebut (UU Krisis) ataupun UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang RUU-nya sampai saat ini belum juga disahkan.

RUU JPSK itu sebenarnya telah mengatur langkah dan kebijakan yang perlu dan dapat ditempuh oleh pemerintah dan BI bila krisis melanda, berikut dengan aturan mengenai hubungan, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing instansi keuangan terkait. Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci, yakni meliputi pengaturan dan pengawasan bank yang efektif, lender of the last resort, skim asuransi simpanan yang memadai, dan mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.

Dengan diberlakukannya RUU ini maka dihadapkan biaya ekonomi dan sosial dapat diminimalisasikan, karena krisis dapat ditangani secara cepat, tepat, dan sesuai kaidah-kaidah hukum yang mengaturnya.

Dengan begitu, tak ada lagi kericuhan pascakrisis, saling tuding antarlembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif, yang membuat pembangunan yang seharusnya dilaksanakan, menjadi tersendat permasalahan semacam BLBI tempo lalu.

Keempat, diperlukan kedisiplinan dalam menjalankan aktivitas di bisnis keuangan ini. Para pengusaha, konglomerat, dan kaum profesional diharapkan mengedepankan good corporate governance dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.

*) Muslimin Anwar Phd, Doktor Bidang Ekonomi Moneter dan Keuangan Brunel University, London

Sumber :
Suara Karya Online

14 September 2008

Pajak dan Beban Rakyat

Oleh : Gusfahmi
Kepala Seksi Pelayanan KPP Madya Jakarta Utara


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Agustus 2008 menyampaikan Nota Keuangan 2009 di Sidang Paripurna DPR. Jumlah pengeluaran negara tahun 2009 direncanakan Rp 1.203,3 triliun, sedangkan pendapatan negara dan hibah hanya Rp 1.124,0 triliun sehingga pemerintah defisit Rp 96,6 triliun.

Dari penerimaan dalam negeri Rp 1.123,0 triliun, kontribusi pajak Rp 748,9 triliun (67 persen), meningkat Rp 157 triliun (26,59 persen) dari rencana penerimaan 2008 (Rp 591,9 triliun, angka prarevisi). Penerimaan pajak terbesar bersumber dari pajak penghasilan (PPh), yaitu Rp 305,9 triliun (51 persen), pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 187,6 triliun (31 persen), serta pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 24,1 triliun (4 persen).

Beban rakyat bertambah

Rencana kenaikan penerimaan pajak terjadi akibat kenaikan rencana pengeluaran pemerintah. Yang menjadi persoalan adalah mengapa harus rakyat yang menanggung kenaikan pengeluaran negara (pemerintah) dalam bentuk kenaikan pajak? Apa batasan pengeluaran negara yang harus ditanggung oleh rakyat?

Tanpa adanya batasan yang jelas, pemerintah bisa saja menetapkan pajak kepada rakyat tanpa perlawanan. Ini kezaliman. Menjawab pertanyaan ini, tidak salah Dr Hasan Turabi dari Sudan berpendapat bahwa pajak itu haram. Beliau sangat khawatir jika pajak diperbolehkan dipungut oleh pemerintah, ia dapat menjadi alat penindasan (Hasan Turabi, Principle of Governance, Freedom, and Responsibility in Islam”, The American Journal of Islamic Social Sciences, 1987).

Boleh asalkan sesuai syariat

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau haramnya pajak dipungut. Masing-masing mempunyai dalil yang kuat.

Ulama yang membolehkan pajak memiliki beberapa alasan, antara lain seorang khalifah wajib mengadakan kebutuhan pokok rakyatnya, seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, ''Al Imam ra'in wa huwa mas'ulun 'an rak'iyatihi (Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.'' (HR Muslim).

Jika kebutuhan rakyat itu tidak diadakan (karena tidak ada harta), dan dikhawatirkan akan muncul bahaya serta kemudaratan yang lebih besar, maka khalifah diperbolehkan berutang atau memungut pajak (dharibah). Mencegah suatu kemudaratan wajib hukumnya, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang mengatakan, ''Maa laa yatimul waajib illa bihi fahuwal wajib'' (Segala sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya kewajiban selain harus dengannya, maka sesuatu itu pun wajib hukumnya).

Namun, pajak yang dipungut itu harus digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang diwajibkan atas mereka (kaum Muslim), bukan pengeluaran lain (keinginan pemerintah). Dalam membolehkan pajak, ulama telah memberikan beberapa karakteristik dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga suatu pajak boleh dipungut. Bagaimana PPh, PPN, dan PBB menurut pandangan Islam? Berikut uraian ringkas tentang ketiganya.

Pajak penghasilan menurut Islam

PPh adalah pajak yang dipungut atas penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan usaha, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penggantian atau imbalan pekerjaan/jasa dalam bentuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, hadiah, laba usaha, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, penerimaan kembali pembayaran pajak, bunga, dividen, royalti, sewa, dan premi asuransi. Hampir semua tambahan penghasilan dikenakan PPh, kecuali (tidak termasuk objek PPh) bantuan atau sumbangan (termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah), harta hibahan, warisan, dan lain-lain (UU No 17 Tahun 2000, Pasal 2 dan 4).

PPh menurut syariat boleh dipungut atas kaum Muslim sebagai kewajiban tambahan sesudah zakat karena objeknya penghasilan atau harta (al-amwaal) yang melebihi kebutuhan (penghasilan tidak kena pajak/PTKP) sehingga masih sesuai dengan QS At-Taubah: 103. Objek-objek PPh seperti gaji atau laba usaha jika dipungut masih mungkin tumbuh dan berkembang.

Juga sesuai dengan hadis Rasulullah SAW tentang Islam dan kewajiban zakat serta sedekah sunah (HR Bukhari dan Muslim dari Thalhah). Sedekah yang pada hukum awalnya sunah (tathawwu') dapat diwajibkan oleh ulil amri karena adanya kebutuhan mendesak/darurat untuk tujuan dan masa tertentu dan setelah tidak dibutuhkan akan dihapus.

Karena objek pajak sama dengan objek zakat, yaitu penghasilan (UU No 38 Tahun 1999 Pasal 11), jumlah pajak terutang harus dikurangi dengan zakat yang sudah dibayarkan. Jadi, zakat harus menjadi pengurang pajak (credit tax), bukan sebagai pengurang penghasilan (deductible tax) sebagaimana dipraktikkan saat ini. Rasulullah SAW melarang pemerintah mengenakan pajak dua kali atas kaum Muslimin, sebagaimana hadis beliau: ''La yajtami'u 'ushurun wa kharaajun fi ardhi Muslimin.'' (Tidak akan pernah bersatu kewajiban 'usyr (zakat) dan kharaj (pajak) pada lahan seorang Muslim. (HR Abu Hanifah dari Ibnu Mas'ud ra).

Pajak pertambahan nilai

PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap pribadi atau badan karena melakukan penyerahan barang/jasa tertentu dalam wilayah pabean atau karena impor atau ekspor barang/jasa tertentu (UU No 18 Tahun 2000). Jenisnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan menggunakan tarif tunggal 10 persen.

Memungut pajak karena seseorang mengonsumsi suatu barang/jasa tidak ada dalilnya dalam Islam karena penghasilan/harta yang digunakan untuk membayar barang/jasa itu sudah dikenakan zakat dan atau pajak. Artinya, uang/harta yang dimiliki Muslim itu sudah bersih.

Jika uang yang sudah dizakati/pajaki dikenakan lagi pajak pada waktu dibelanjakan, ini kezaliman. PPN tidak bisa membedakan antara orang kaya dan orang miskin karena pengenaan pajaknya dilekatkan pada barang/jasanya.

Jika barang/jasa itu dimanfaatkan oleh orang miskin, lalu si miskin dikenakan pajak, ini bertentangan dengan QS [59]: 7 dan hadis Rasulullah SAW tentang Muadz bin Jabal yang diperintah untuk memungut zakat ke Yaman. Rasulullah mengatakan zakat harus memindahkan harta dari orang kaya kepada orang miskin. Jika PPN dipungut atas orang miskin, misalnya tukang becak membeli air mineral lalu dikenakan PPN 10 perse, PPN menjadi haram karena memindahkan harta dari orang miskin kepada orang kaya.

Pajak bumi dan bangunan

PBB adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan atas orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai/menguasai/memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan (UU N0 20 Tahun 2000). Ia adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Bumi yang dimaksud adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

Yang tidak dikenakan (bukan objek) adalah bumi dan atau yang digunakan, semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan, seperti masjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, dan candi.

Ddilihat dari sisi subjeknya, PBB bertentangan dengan syariat karena kewajiban kaum Muslim atas harta hanyalah zakat dan pajak (dharibah), khususnya pajak penghasilan (PPh). Tanah dan atau bangunan yang mereka miliki sudah dikenakan pajak sewaktu diperoleh (saat jual beli dikenakan PPh Final dan BPHTB).

Jika ada hasil dari tanah dan atau bangunan, itu juga sudah dikenakan zakat (zakat pertanian atau perdagangan). Pengenaan PBB ini jelas bertentangan dengan QS [21]:105 dan QS [33]:27 yang menyebutkan Muslim adalah pewaris bumi sebagai warisan dari Allah SWT. Bagaimana pewaris harus membayar tanah/bangunan miliknya sendiri? Ataukah pemerintah memandang rakyat ini penyewa sehingga PBB itu adalah sewa tanah, seperti zaman penjajahan Belanda?

Kalau diindentikkan dengan kharaj (pajak sewa tanah kepada khalifah Islam atas tanah-tanah yang ditaklukkan dengan peperangan), Indonesia bukanlah tanah kharajiyah sehingga warga Muslim Indonesia tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar bin Khaththab pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum Muslim dan memasukkan penerimaan hasil tanah sebagai zakat.

Dengan kata lain, tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/bangunan yang mereka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa materi berupa buahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.

Ancaman bagi yang zalim

Jika memungut pajak secara zalim, Rasulullah melarang, sebagaimana hadis: ''La yadkhulul jannah shahibul maks'' (Tidak masuk surga petugas pajak yang zalim) (HR Abu Daud, bab Kharaj, hadis no 2937 dan Darimi, hadis no 1668). Namun, Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para pegawai (amil) zakat dengan memberi gelar Mujahidin bagi pemungut zakat yang benar, sebagaimana hadis: ''Al 'amil 'ala Shadaqah bil haqq kal ghaazi fi sabilillah hatta yarji'u ila baitihi'' (Amil (orang yang memungut) zakat dengan benar adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah hingga ia kembali ke rumahnya). (HR Tirmidzi, kitabu Az-Zakah, hadis no 645 dan Ibnu Majah, kitab Az-Zakah, hadis no 1809 dari Rafi bin Khadij).

Sumber : Millist Anggota ICMI

10 September 2008

Olimpiade Beijing dan Introspeksi Dunia Islam

Hiruk pikuk olimpiade Beijing di Bejing dapat dijadikan untuk mengajak umat melakkan introspeksi untuk melihat berbagai kegagalan-kegagalan kita

Oleh M. Syamsi Ali *)

Dua minggu terakhir China sedang menjadi pusat perhatian mata. Bermilyar manusia dari seluruh penjuru dunia menonton perhelatan dahsyat 4 tahunan, Olympic games, yang tidak saja dituan-rumahi oleh negara berpenduduk terbesar dunia itu, tapi juga didominasi dalam
peraihan medali.

China memang fenomenal. Mungkin kata yang paling pantas adalah bahwa China memang dahsyat dan fantastik. China sejak dulu, tidak saja dikenal sebagai sebuah negara, tapi sebuah peradaban yang yang sejak kala dulu banyak mendominasi dunia kita. Siapa yang tidak kenal
sejarah nusantara yang juga tidak terlepas dari sejarah peradaban China?

Di saat-saat hampir semua negara di Asia digoncang oleh krisis ekonomi dan finansial di tahun penghujung 1997, China dengan tegar dan kokoh solid melalui krisis itu tanpa pengaruh yang bermakna. Jika saja kita melihat negara-negara ASEAN saat ini, termasuk dua negara
Muslim mayoritas, Indonesia dan Malaysia, nampak Chinalah yang mendominasi.

Dalam dunia internasional, China dengan kalem tapi mulus dalam menjual dominasinya hampir dalam seluruh linea kehidupan global. Di PBB sendiri China memiliki posisi yang sangat diperhitungkan, bahkan terkadang lebih dperhitungkan ketimbang Rusia atau Prancis misalnya.
Pasalnya, China ternyata menancapkan kuku pengaruhnya di berbagai belahan dunia, khususnya di Asia dan Afrika. Bahkan di beberapa negara Amerika Tengah dan Latin, China memiliki pengaruh ekonomi yang berat.

Mungkin bagi kita yang tinggal di negara yang terkadang dijuluki 'the only super power' ini, ternyata China pun bisa dikategorikan sudah menembus dengan goncangan yang menakutkan. Berbagai produksi kecil, dari mainan anak-anak (toys), makanan-makanan hewan piaraan, dll., telah merajai pasar negara ini. Cukup mengkhawatirkan, sampai-sampai ada upaya untuk menjatuhkan citra produksi China dengan kasus-kasus keracunan anjing, dan juga tuduhan mainan anak-anak yang membahayakan. Tuduhan demi tuduhan itu begitu keras, sampai-sampai semua siaran TV hanya menyiarkan hal tersebut berhari-hari.

Dunia Islam?

Mungkin perlu dibedakan secara jelas antara cita dan realita. Islam adalah cita semua Muslim. Tapi Muslimlah yang kemudian harus membawa cita itu ke sebuah realita. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh dunai Islam saat ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam dalam kenyataannya adalah kejayaan. Mungkin akan lebih tegas jika dikatakan: 'tiada kejayaan tanpa Islam dan tiada Islam tanpa kejayaan'.

Bagi beberapa kalangan, pernyataan di atas tidak diterima. Potongan pertama akan mentah-mentah ditolak oleh kalangan 'liberal-secular group', yang selalu melihat sebuah kejayaan dengan keterlepasan dari nilai-nilai agama (baca Islam). Sebaliknya, kalangan 'exclusive-
minded group' sudah psti menolak yang kedua karena bagi mereka Islam itu identik dengan keterlepasan dari hiruk pikuk kemajuan dan kejayaan dunia. Bagi mereka, semua yang mirip dengan apa yang mungkin dilihat sebagai kejayaan 'ala barat' adalah tidak Islami dan bahkan antitesis dengan Islam.

Padahal, pernyataan di atas adalah ekspresi sederhana dari doa sapu jagad umat: 'Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirah hasanah'. Bahwa umat yang mengimani Islam memiliki cita hidup yang jelas, yaitu 'kejayaan dunia dan kejayaan akhirat'.

Namun realitanya, dunia Islam sangat jauh dari cita yang agung itu. Umat saat ini sedang merana di hampir seluruh linea kehidupannya. Bahkan hingga di titik kehidupan yang paling esensial sekalipun, akidah, umat sedang menghadapi krisis yang luar biasa. Saya katakana
demikian, karena akidah bertujuan membangun muru'ah (dalam bahasa lain, izzah) atau mungkin dalam bahasa populernya 'self confidence'. Kenyataannya, umat kehilangan kepercayaan diri, dan itu merupakan identifikasi krisis iman yang paling nyata.

Secara ekonomi, dunia Islam dikaruniai nikmat kekayaan yang luar biasa. Ada yang memperkirakan, lebih 65% kekayaan alam, dari minyak, pertambangan, lautan, hutan, dll., di berbagai negara di Asia dan Afrika, ada di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Tapi menyakitkan, mereka yang dikategorikan manusia-manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan juga mayoritasnya ada di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Secara politik, hanya bilangan jari saja dari sekian negara-negara Muslim yang mempraktekkan hukum 'syura'. Mayoritasnya, jika tidak dictatorship, ya dipaksa untuk nmenerapkan sistim orang lain. Mungkin kelompok kedua ini boleh jadi memakai sistim dengan istilah cantik, demokrasi misalnya. Tapi kenyataannya, semua hanya simbolisme dominasi sistim yang orang lain paksakan. Buktinya, sistim itu dianggap sukses jika 'delivering interests of certain power'. Jika tidak, walau kenyataannya melakukan hal yang sama, justeru dianggap
tidak demokrasi.

Secara kultur dan sosial, dunia Islam masih sangat morat-marit. Kedisiplinan dan etos kerja sangat jauh di atas rata-rata kedisiplinan dan etos kerja orang-orang yang kita sebut 'kafir'. Betapa seharusnya kita kagum dengan etos kerja orang-orang China di kota dunia, New York. Terbukti dengan menjamurnya restoran-restoran China hampir di mana-mana. Demikian pula dengan komunitas Korea, dll.

Dalam arena kehidupan global, umat Islam nyata termarjinalkan dalam segala hal. Produk-produk untuk kebutuhan asasi umat, hatta dalam hal-hal yang sifatnya ritual sekalipun, justeru diproduksi oleh orang lain. Lihatnya pasar di mekah, dari tasbih, sajadah, baju jubah, dll., banyak justeru 'made in China'.

Mungkin yang paling nyata adalah kenyataan bahwa di pusat diplomasi dunia, PBB, dunia Islam sama sekali tidak terwakilkan secara baik. Suara negara-negara Muslim hampir tidak terdengarkan di saat seharusnya didengar karena membela hak-hak sesama yang terinjak-injak di berbagai belahan dunia. Bandingkan antara jumlah negara Uni Eropa dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Namun signifikasi suara kedua organisasi (OKI dan EU) sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi.

Alkhulasoh, umat Islam kini berada di sebuah jurang kegagalan. Dan sangat menyedihkan, terkadang kegagalan-kegagalan itu justeru dirasakan oleh sebagian sebagai 'Islamically ustified'.

Apa Gerangan?

Kenyataan ini menjadikan banyak kalangan yang tidak habis pikir. Apa gerangan? Apa yang sedang terjadi? Apa penyebab sehingga terjadi seperti itu? Bukankah umat Islam pernah jaya lebih 7 abad? Sebuah kejayaan terpanjang dalam sejarah hidup manusia?

Pada akhirnya, banyak kalangan pengamat hanya bisa menempatkan pengamatan mereka di satu sisi. Terkadang Islamnya yang disesali. Atau sebaliknya, terkadang apa yang dipersepsikan sebagai lawan Islam yang disesali. Terkadang pula para pengamat itu hanya mengantar umat kepada sikap 'menuduh' dan atau 'menyesali'. Menuduh orang lain atas kegagalan-kegagalan umat. Atau sebaliknya juga menyesali diri sendiri atas kegagalan-kegagalan itu.

Yang disayangkan, bahwa ada kecenderungan sebagian untuk saling melemparkan kesalahan. Dan tentunya yang paling tidak membahayakan, ketika pihak-pihak tertentu merasa 'dirinyalah atau metode pendekatannyalah' yang absolute benar. Semua yang tidak sejalan salah dan bahkan dianggap menjadi penyebab atau kontributor kegagalan-kegagalan itu.

Dalam hal ini, ada dua pandangan ekstrim yang sedang berlaga. Pandangan yang mengatakan bahwa dunia Islam saat ini terbelakang karena masih terkungkung oleh konsepsi syariah Islam, yang menurutnya, hanya menjadi aral dalam upaya mencapai kejayaan itu. Sebaliknya, ada pula yang sangat simplistik dalam melihat bahwa berbagai kegagalan disebabkan oleh tidak ditegakkannya syariah Islam. Yang runyam, ketika syari'ah Islam ditafsirkan secara sempit dengan berbagai simbolisme agama yang sama sekali tidak menyentuh substansi kehidupan manusia.

Dalam sebuah dialog antar agama (Islam dan Yahudi) di New York University (NYU) beberapa waktu lalu, saya ditanya oleh seorang peserta: 'Bagaimana sikap anda jika ada Muslim yang ingin mempraktekkan syariah di Amerika?'

Sebagian peserta Muslim tentu bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada pula yang cenderung mengatakan bahwa syari'ah itu adalah isu lama, yang tidak ada lagi dalam agama ini. Sebagian yang lain, menginginkan jika saya menegaskan bahwa tujuan mulia Islam memang adalah menegakkan syari'ah dalam sebuah tatanan pemerintahan Islam yang disebut khilafah.

Dengan tenang dan senyum, saya jawab bahwa sesungguhnya dari pertanyaan anda saya memahami jika anda sedang phobic (ketakutan) dengan konsep syari'ah. Itu menandakan bahwa yang perlu saya lakukan bukan menjelaskan sikap saya, tapi menjelaskan konsepsi syari'ah untuk membenarkan persepsi anda tentang syari'ah itu sendiri.

'Syari'ah adalah jalan hidup. Syari'ah adalah aturan yang mengatur kehidupan seorang Muslim secara menyeluruh, yang dirincikan kemudian dalam sistim hukum mufasshol (detail) yang disebut fiqh. Intinya, tiada Islam tanpa Syari'ah, dan bagi seorang Muslim tiada kehidupan bermakna tanpa Syari'ah'.

Jawaban saya di atas tentunya mengejutkan bagi sang penanya. Penjelasan-penjelas an saya tentang Islam yang terbuka, bersahabat, maju, berbudaya, dll., seolah sirna dengan penjelasan saya tentang Syari'ah tersebut. Bagi dia, seharusnya saya mengatakan bahwa Syari'ah itu adalah hukum kuno yang hanya berlaku 25 abad silam. Kini, dengan kehidupan modern di abad 21, umat tidak perlu lagi syari'ah.

Tapi kemudian saya susuli: 'Amerika Serikat, sebagai sebuah negara dan bangsa, telah mempraktekkan banyak hal yang sifatnya syari'ah. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakan, dalam beberapa hal, Amerika lebih mempraktekkan syari'ah dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. 'Keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan pertanggung jawaban publik' adalah bagian tak terpisahkan dan bahkan menjadi asas dari seluruh sendi-sendi kehidupan syari'ah kemudian'.

Penjelasan saya tersebut ternyata tercerna secara baik oleh sebagian besar peserta. Sehingga pada akhirnya saya bisa mengatakan, apa yang anda saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam, dari kediktatoran, kemiskinan, keterbelakangan di dunia sains dan teknologi, hilangnya kedisiplinan sosial dan rendahnya etos kerja, semua itu menunjukkan kegagalan umat Islam dalam menerapkan syari'ah yang sejati.

Pada akhirnya, dengan hiruk pikuk olimpiade Beijing saat ini, umat diajak untuk melakukan introspeksi. Apakah kegagalan-kegagalan itu karena konsepsi Islam? Atau sebaliknya, berbagai kegagalan yang terjadi justeru disebabkan oleh kegagalan umat dalam menerapkan syari'ah yang sejati. Kalaulah Syari'ah itu menjadi 'penghalang' kebangkitan, seharusnya Turki saat ini lebih hebat dari Jerman. Sebaliknya, seandainya 'pengakuan Syari'ah' itu menjadi fondasi
kejayaan, tentu Saudi Arabia telah jauh lebih maju ketimbang Singapura.

Saya hanya kembali diingatkan oleh pernyataan Prof. Dr. Habibie, untuk bangkit diperlukan manusia-manusia yang berotak Jerman, tapi berhati Mekah. Mungkinkah? Pasti bisa karena itulah makna 'ulil al baab' yang memiliki dua sayap yang mampu menghantarkannya kepada
kehidupan yang lebih tinggi, yaitu 'sayap dzikir dan sayap fikir'.

"alladzina yadzkuruna Allaha qiyaaman wa Qu'uudan wa 'aala junuubihm, wa yatafakkaruna fi khalqis samawati wal al ardh."

New York , 20 Agustus 2008

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York.
Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di
http://www.hidayatullah.com/

Sumber : http://www.hidayatullah.com/

29 Juni 2008

Subsidi

Oleh Jaya Suprana

Pemikiran, pengetahuan, dan kekuasaan saya terlalu terbatas, maka saya tidak berani karena tidak berhak ikut berdebat masalah perlu tidaknya harga BBM dinaikkan.

Namun, yang menggelisahkan sanubari saya adalah alasan harga BBM harus dinaikkan akibat subsidi terhadap BBM harus dihentikan. Berbagai pertanyaan mengenai dalih subsidi itu amat merisaukan otak saya.

Namun mengapa

Pada prinsipnya, makna subsidi adalah bantuan. Maka, pada prinsipnya memberi bantuan dapat dibenarkan selama diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan selama kebutuhan bersifat etis dan nonkriminal. Maka, subsidi terhadap BBM jenis bensin nonpremium bagi mobil pribadi, apalagi mewah, memang tidak benar karena berarti menyubsidi orang kaya yang tidak membutuhkan subsidi. Namun, mengapa subsidi terhadap minyak tanah yang banyak dibutuhkan rakyat jelata juga harus dihapus?

Kenaikan harga BBM pasti memengaruhi harga produk kebutuhan pokok rakyat yang sudah cukup menderita akibat harga kebutuhan pokok sudah cukup mahal. Namun, mengapa demi menghapus subsidi, harga BBM tidak bisa tidak harus dinaikkan?

Tugas utama pemerintah sebenarnya bukan memberi perintah, tetapi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, mengapa kekhawatiran atas kondisi keuangan lembaga pemerintah dirongrong subsidi lebih dikedepankan ketimbang kondisi kesejahteraan rakyat dirongrong kenaikan harga BBM?

Di masa perjuangan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa mereka sendiri, Pemerintah AS juga melakukan subsidi habis-habisan terhadap produk dalam negeri mereka agar mampu bersaing terhadap produk luar negeri, terutama imperialisme dan kolonialisme kerajaan Inggris. Namun, mengapa di masa yang disebut globalisasi ini, AS ngotot melarang negara-negara lain melakukan subsidi terhadap produk dalam negeri mereka? Bahkan, ketika masih kampanye, capres Hillary Clinton sempat membocorkan rahasia bahwa produk minyak bumi AS sebenarnya disubsidi secara very sophsticated hingga terkesan tidak disubsidi.

Alasan lain menghapus subsidi adalah di era global, harga minyak di dalam negeri Indonesia harus disesuaikan dengan harga pasar dunia, khususnya AS yang sudah dianggap dan menganggap dirinya sebagai dunia itu. Lalu, mengapa rakyat Iran di dalam negeri sendiri masih bisa membeli bensin sekitar Rp 1.000 per liter. Juga mengapa Hugo Rafael Chavez mampu menawarkan minyak bumi produksi Venezuela dengan harga jauh di bawah pasar yang disebut pasar dunia?

Di masa ekonomi global, memang subsidi terhadap produk dalam negeri dianggap tidak senonoh. Maka, atas kehendak negara-negara adikuasa-ekspor, disepakati untuk dilarang.

Namun, apa sebenarnya yang dilakukan Uni Eropa, Jepang, dan AS terhadap produk pertanian masing-masing yang terkesan subsidial itu? Mengapa obat-obat tradisional China bisa leluasa merajalela di pasar dalam negeri Indonesia, sementara jamu jika ingin masuk pasar dalam negeri China harus menempuh proses uji coba Depkes China dengan biaya miliaran rupiah per produk tanpa jaminan lolos?

Konstitusional

Konon subsidi terhadap BBM harus ditiadakan karena perusahaan minyak negara terus merugi akibat harga minyak bumi dunia meningkat drastis! Namun, mengapa rakyat sebagai pemilik negara dan pemilik perusahaan negara tidak diberi laporan audit keuangan resmi pendukung kebenaran alasan itu?

Negara Indonesia beruntung bisa memperoleh minyak bumi langsung dari bumi Nusantara sendiri, yang berarti seharusnya mampu menetapkan harga minyak bumi secara mandiri di negeri sendiri tanpa bergantung pada harga minyak bumi di negeri orang lain.

Namun, mengapa dalam menetapkan harga BBM di dalam negeri sendiri, Indonesia harus bergantung, bahkan tunduk, pada kondisi harga di luar negeri?

Secara konstitusional, minyak bumi merupakan komoditas strategis mengandung nilai sosial langsung terkait kesejahteraan rakyat. Namun, mengapa keputusan menghapus subsidi demi menaikkan harga BBM lebih berpihak kepada kepentingan keuangan negara (baca: pemerintah) ketimbang rakyat?

Keuangan negara tidak tertera dalam Pancasila sebagai landasan falsafah negara dan bangsa Indonesia. Namun, mengapa upaya mencegah negara jangan sampai bangkrut dengan menghentikan subsidi agar mampu mendongkrak harga BBM Indonesia setara dengan AS lebih dikedepankan ketimbang upaya menyejahterakan rakyat?

Akibat kuno, terbelakang, tidak profesional, tidak menguasai duduk persoalan, jangkauan daya pikir sempit dan dangkal, sok romantis peduli kemanusiaan, dan terlalu emosional mendengarkan keluhan rakyat jelata, segenap pertanyaan penggelisah sanubari itu hanya layak diajukan ke rumput bergoyang belaka. Gonggongan anjing buduk tidak akan dipedulikan kafilah, apalagi yang telah mantap berlalu.

Jaya Suprana Pendengar Keluhan Rakyat

Sumber : Kompas, Sabtu 28/06/08

23 Mei 2008

Tajuk Rakyat; Besi

BILA mengacu ke sejarah, seusai perang dunia ke-2, banyak negara yang kini menjadi negara industri, memulai membangun industri bajanya. Industri baja itu, mengolah rasis pasir besi, atau batu besi alam, menjadi blok besi masif (pig iron), yang kemudian dipergunakan bagi industri mesin, blok mesin otomotif, termasuk mesin keperluan militernya.

Indonesia sebaliknya. Bila pun kemudian negara memfasilitasi berdirinya PT Krakatau Steel, yang mereka lebur kebanyakan selama puluhan tahun hanyalah besi bekas; bekas kapal, bekas h beam, dan besi bekas lainnya dilebur ulang. Besi olahan ulang itu, jelas tidak bisa dipakai bagi kebutuhan pembuatan blok mesin, misalnya.

Sehingga ketika industri PT Perkasa Engineering, di bawah kelompok usaha Texmaco, melakukan pembuatan blok mesin mobil dan motor, mereka harus mengimpor - - ketika perusahaan itu masih berjalan - - dari Cina. Ukuran balok besi masif itu bisa semeter segi empat, dengan panjang tiga meter.

Dua pekan lalu Menteri Pertahanan, Juwono Soedarsono, menyampaikan kepada pers, bahwa pesanan panser kepada PT Pindad, yang tahun ini berjumlah 150 unit, hanya bisa dipenuhi 30 unit. Pasalnya perusahaan yang mensuplai blok mesin panser, dari Perancis, Renault, hanya mampu mengirim 30 mesin panser setahun.

Saya tak paham mengapa Renault hanya mampu mengirim 30 unit itu.

Yang pasti harga mesin panser itu bisa mencapai lebih dari Rp 5 miliar perunit. “Padahal, Perkasa bisa membuat blok mesin yang sama, dengan tak sampai seperlima, “ ujar Chairul Akbar, Staf Ahli Ekonomi dan Perdagangan Mabes TNI. Kemampuan Perkasa, membuat blok, sesungguhnya tidak diragukan. Mereka pernah membuatkan contoh untuk mesin panser TNI. Apalagi Perkasa memang memiliki lisensi Steir, Austria untuk memproduksi blok mesin dengan kapasitas 300 HP ke bawah.

Kini apa lacur, bila pun kita bisa membuat blok panser sendiri, Perkasa masih tersangkut urusan hutangnya di BPPN - - kini PT Pengelola Asset - - yang berjumlah Rp 26,5 triliun. Karena terkait ke beban hutang itu, siapapun pihak yang berminat mengembangkan Perkasa, akan berhadapan dengan beban, beban dan beban. Berhadapan dengan aturan, aturan dan aturan di kantor Menteri Keuangan, yang bila ada yang meminati mengurus agar beroperasi, sudah keburu pusing oleh prosedur macam benang kusut. Belum pula menghadapi ego pemilik lama Perkasa, keluarga Marimutu Sinivasan, yang merasa berjasa.

Padahal jika saja dilihat dari kerangka memperkuat industri yang mendukung kelengkapan alat persenjataan RI, keberadaan industri strategis, seperti di Pindad, Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan jika memang bisa - - karena kerangka nasionalisme - - Perkasa dimasukkan ke dalamnya.

Minimal untuk peralatan angkut, rancang bangun dapat dilakukan Pindad. Mesin dibuat Perkasa dan peralatan navigasi bisa disuplai LEN. Maka untuk mobilitas alat angkut, panser, bahkan tank sekalipun seyogyanya bisa dibuat oleh bangsa sendiri. Entah mengapa kemudian situasi seakan-akan membuat bangsa ini tidak punya kemampuan apa-apa. Padahal faktanya aset dan kemampuan hebat berserakan.

Sudah sejak lama saya mencurigai pembobrokan terhadap kemampuan nasional kita. PT Digantara yang sering dikritik oleh ekonom, terutama mereka yang bermashab Mafia Berkeley, dianggap memboroskan anggaran. Padahal pembelian pesawat angkut, peralatan tempur, ke luar negeri amat besar dana dihabiskan. Belum lagi “hinaan” yang sering dihadapi, seperti laku mengembargo, macam yang dipraktekkan oleh AS kepada Indonesia. Di lain sisi, PT PAL, juga sudah mampu membuat aneka kapal kebutuhan TNI AL.

Ada juga memang indikasi, alasan mengorder keluar itu berkait ke urusan kredit ekspor, unsur mark up harga yang dapat lebih besar dilakukan. Akan tetapi semangat menumbuhkan berdiri di kaki sendiri menjadi pudar, seperti yang terjadi kini.

Lihat saja urusan order 150 mesin panser ke Perancis itu. Saya menanyakan apa pasal rupanya Renalt hanya bisa mengirim 30 mesin?

Apakah hal ini juga bagian dari “permainan” memperlambat peningkatan kemampuan alutsista bangsa ini?

Padahal bisa dimaklumi bersama, bila militer sebuah negara lemah, maka negara lain dengan gampang mempermainkan negara tersebut. Saya tentu tak perlu menyebut kasus Ambalat dan seterusnya itu.

Karenanya, perlu memang ketegasan pemimpin, dalam hal ini presiden - - yang kebetulan jenderal militer - - untuk melihat persoalan keberadaan persenjataan TNI, minimal peralatan angkut TNI itu, dalam skala mengembangkan kemampuan lokal, lokal konten.

Sejak reformasi, TNI, memang seakan “diobok-obok” oleh banyak kalangan karena perlakuan pelanggaran HAM, dari beberapa personal TNI. Namun sebaliknya lemahnya kemampuan TNI, jelas akan merugikan bangsa keseluruhan.

Keadaan di luar persenjataan itu, kini ikut dikurangi “pamornya”, dengan munculnya organisasi sipil yang banyak memakai pakaian bercorak seragam militer, yang melakukan latihan-latihan fisik seperti militer, dan celakanya hanya digunakan untuk kepentingan politik sipil oleh partai-partai politik. Militer telah mereformasi diri, kalangan sipil di partai politik sebaliknya.

Apakah kemudian kita harus menganjurkan main tangan besi ke militer kembali, misalnya untuk memaksakan tumbuhnya keberpihakan kepada kemampuan industri lokal? Tentu tidak. Yang harus digugah adalah para pemimpin di atas sana.

Saya menjadi teringat ketika medio 1980-an lalu, sosok Anas Malik, bekas kolonel di Kodan V Jaya, menjadi Bupati di Pariaman, Sumatera Barat. Ia memperhatikan pantai Pariaman, umumnya dijadikan kakus panjang oleh warga. Pantai yang indah menjadi bau. Di era pemerintah daerah sebelumnya, hal itu tidak bisa dituntaskan.

Begitu Anas Malik menjabat, setiap warga yang buang hajat di pantai, ia tampar dengan tangannya sendiri. Main pukul. Hal itu menjadi isu utama di masyarakat. Namun impeknya, warga menjadi paham, bahwa laku itu merusak lingkungan. Dan Pemda pun kala itu sudah mensosialisasikan wujud MCK yang sehat. Pantai kemudian bersih. Kini sudah menjadi kawasan wisata, titik transit ke Pulau Sikuai.

Laku tangan besi itu, kiranya kini mungkin layak pula dilakukan kepada pengendara motor dan mobil di Jakarta. Motor terutama. Mereka seakan buta sering sekali menabrak lampu merah. Maka main tabok macam gaya Anas Malik almarhum, mungkin bisa menjadi solusi, karena banyak orang menjadi kian bebal saja.

Akan tetapi, jika kini TNI, harus pula memukul dulu, agar pemimpin bangsa ini terbuka pintu hatinya, bahwa memperkuat TNI, meningkatkan kemampuan industri lokal bagi pemenuhan peralatan angkut dan persenjataan TNI, misalnya, menjadi sebuah himbauan aneh, toh bangsa telah mendesak TNI mereformasi diri, masak harus tangan besi bergaya militer lagi?


JIKA Anda pergi ke kawasan pesisir selatan pantai Kolonrogo, Jogjakarta, kini, sudah mulai intensif dilakukan beberapa titik eksplorasi pasir besi. Kompas secara khusus mengangkat isu ini dalam dua tulisan panjang 11 April 2008 lalu. Usaha yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel, yang berpartner dengan perusahaan swasta PT Jogja Magasa Mining itu, dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan eksploitasinya. Konon di dalam usaha itu, terkait pula nama-nama keluarga sultan Jogya.

DPR, melalui komisi VII, yang diketuai oleh Airlangga Hartarto, sudah mendukung rencana usaha itu. Muhammad Lutfi, Kepala BKPM, pun sudah oke, berkait ke perusahaan Indo Mines, asal Australia, yang akan memproses pasir besi yang berpotensi besar itu.

Dalam dua tahun terakhir ini, memang banyak sekali pengusaha Cina,Korea dan Australia mencari konsesi pasir besi, iron ore, bahkan plantina, batubara dan bahan tambang lainnya ke Indonesia. Akan halnya pasir besi, saya tak habis pikir kini, karena empat tahun lalu pernah mengkonfirmasikan kepada Putu Suryawiryawan, Direktur yang membawahi industri logam dan mesin di Departemen Perindustrian. Ia bilang potensi pasir besi dan batu besi di Indonesia tidak layak industri.

Saya heran mengapa kemudian Cina mengimpornya dari Indonesia. Saya kemudian lebih percaya, negara tidak pernah memotivasi kegiatan ekslporasi pasir besi dan batu besi, sehingga cadangan dan sumbernya tidak dimiliki secara akurat datanya. Celakanya kini, di tengah permintaan bahan mentah tinggi dari luar negeri, khususnya Cina, Indonesia masuk menjadi negara pengekspor bahan tambang itu.

Dan anehnya kita tetap belum punya industri peleburan baja dari rasis alamnya sendiri. Itu artinya, bila ingin membuat blok mesin sendiri masih mengimpor pig iron dari Cina. Dan Cina mengimpor bahan alamnya dari Indonesia. Tak ada logika pikir yang paling aneh dari kalimat ini bukan.

Namun seaneh-anehnya logika pikir satu alinea kalimat di atas, lebih parah lagi kini, PT Krakatau Steel hendak dijual sahamnya 30% kepada asing. Dan celakannya Muhammad Lutfi, kepala BKPM, memfalitasi penjualan kepada Mittal, pengusaha keturunan India, yang memulai usaha di Surabaya, kini menjadi raja industri baja terbesar dunia itu.

Menjadi tanya buat apa PT Krakatau Steel dijual ke asing? Bukankah sebaiknya ia difasilitasi untuk melebur rasis besi dari alam? Yang kemudian berguna bagi menumbuhkan manca ragam industri blok mesin dalam negeri?

Melihat logika terbalik-balik itu kini, saya kok jadi ingat omongan kawan-kawan ABG. , katanya, Adoh Bo’ Capek Deh! Masak bila melakukan sesuatu yang mulia bagi bangsa harus bertangan besi pula?! Harus pula menaboki mereka di atas sana sampai bonyok, baru melek matanya? Kata anak saya yang mulai bisa bicara, ma cak ya cih!

Iwan Piliang

Sumber : Press Talk

10 Mei 2008

Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana?

Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?

Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata “subsidi BBM” itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?

Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.

Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.
Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.

Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.

Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel. Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.

Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.

Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.

Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?

Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.

PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 doll. AS)

DATA DAN ASUMSI

Produksi : 1 juta barrel per hari

70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000
Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel 1 barrel = 159 liter
Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter

PERHITUNGAN

Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000

Konsumsi dalam liter per tahun = 60,000,000,000

Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun = 19,375,500,000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000,000,000

Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815,000,000

Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrelPemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar = 35,316,815,000,000

Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiapliter bensin premium yang dijual, Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500

Biaya lifting, pengilangan dan transportasiUS $ 10 per barrel atau per liter :(10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630

Kelebihan uang per liter = 3,870

13 April 2008

Swastanisasi Negara

Oleh : Yonky Karman
(Dosen STT Jakarta)

Harga pangan melambung tak terjangkau rakyat berpenghasilan rendah. Ribuan pekerja industri kecil dan menengah tempe-tahu terkena pemutusan hubungan kerja. Apa yang sebenarnya terjadi pada negara agraris yang seolah tak berdaya? Penjelasan normatif dari pihak pemerintah adalah pengaruh eksternal dan krisis pangan global. Namun, pada dimensi substil, negara kalah berhadapan dengan kekuatan pasar.

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan membuat transaksi perdagangan berlangsung menurut standar global. Dengan terbukanya pasar, batas-batas negara-bangsa menjadi nisbi dan negara-bangsa memudar. Diam-diam kedaulatan negara berkembang/miskin digerogoti. Dengan membonceng institusi-institusi keuangan global, kapitalis global mampu memengaruhi kebijakan ekonomi negara berkembang.

Kelemahan negara itu juga dimanfaatkan kapitalis lokal dalam persekutuan dengan kapitalis global. Negara menyerahkan stabilitas komoditas strategis ke tangan importir besar yang dengan leluasa melepas dan menahan ke pasar sesuai dengan kalkulasi keuntungan sebesar-besarnya. Meski swasta bagian dari bangsa, negara-bangsa tersandera kepentingan swasta yang berorientasi profit. Swastanisasi negara berlangsung secara substil di balik proses demokratis (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).

Mitos pasar

Doktrin pasar bebas adalah deregulasi sesempurna mungkin dan regulasi seminimal mungkin (laissez-faire). Dosa besar mencampuri proses pasar. Dalam keyakinan fundamentalisme pasar, begitu kompetisi dan efisiensi terjamin, konsumen akan diuntungkan. Pasar dengan sendirinya akan mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial.

Keyakinan itu ternyata berlebihan. Pasar tidak otomatis efisiensi. Kompetisi bebas tidak otomatis harga turun. Ada kartel di antara para pengusaha yang membuat pasar tidak bebas dan tidak kompetitif. Ditambah informasi asimetris, pasar terdistorsi. Tangan tak terlihat masih kurang panjang untuk menyelamatkan rakyat dari petaka ekonomi. Deregulasi gagal meningkatkan pendapatan masyarakat bawah. Rakyat kecil bermimpi menggapai keadilan sosial.

Tingkat pengangguran meningkat. Tahun 2007, ada 409.890 sarjana Indonesia menganggur dibandingkan dengan 183.629 orang tahun 2006. Kesenjangan ekonomi melebar. Si kaya kian kaya. Si miskin kian miskin. Yang di tengah berjuang untuk tidak terjerembab ke dalam kemiskinan.

Dalam ungkapan Joseph E Stiglitz, globalisasi ekonomi seperti pedang bermata dua, salah satu matanya lebih tajam bagi negara berkembang. Pasar uang dan modal Indonesia amat bergantung pada hot money. Namun, keuntungan yang dihasilkan ketika masuk lebih kecil ketimbang kerugiannya ketika uang itu tiba-tiba keluar.

Pemerintah negara berkembang terpaksa mengikuti perkembangan harga pasar, tidak jarang mencabut subsidi, membuat rakyat menderita. Itulah yang terjadi di Myanmar saat harga BBM naik hingga 500 persen meski negeri itu tertutup. Negara maju mengampanyekan deregulasi untuk negara berkembang sebab akhirnya merekalah yang lebih memetik keuntungan.

Kelemahan dan celah hukum negara berkembang dimanfaatkan kapitalis global. Negara lemah terpaksa menerima produk impor negara kuat yang memproteksi produknya dengan subsidi dan hambatan tarif agar produk impor negara berkembang kehilangan daya saing.

Dalam kemitraan dengan perusahaan transnasional, negara berkembang membayar ongkos dan risiko lebih besar. Lingkungan rusak. Proses pemiskinan rakyat miskin terjadi di area pertambangan yang hasilnya dinikmati perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menderita karena lingkungan yang rusak.

Memperkuat negara

Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara dan membenarkan Darwinisme sosial.

Desentralisasi yang maunya mendekatkan pemerintah dengan rakyat dibuat tidak efektif sebab globalisasi berhasil menjauhkan pemerintah dari rakyat. Kedua kekuatan yang saling bertentangan itu terjadi bersamaan. Namun, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.

Beberapa negara di Asia Timur tidak terpuruk di era globalisasi karena memberi prioritas kepada rakyat kecil untuk kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan. Daripada mengemis kepada swasta untuk ikut menstabilkan harga di dalam negeri, pemerintah berperan aktif dalam redistribusi pendapatan nasional. Keseimbangan peran antara pemerintah dan swasta harus selalu diupayakan. Tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi wajah sosial kepada kapital swasta.

Untuk itu, negara harus kuat, bukan dalam kategori sosialis-totaliter atau demokrasi pasar bebas, melainkan karena berwibawa. Kewibawaan negara kerap diremehkan karena inkonsistensi dalam penegakan hukum. Korupsi jelas menggerogoti wibawa negara. Rakyat dan dunia sering bertanya mengapa presiden yang relatif bersih dari korupsi tidak membuat gebrakan dalam pemberantasan korupsi.

Setelah pemerintah di jalur konsistensi dan memiliki wibawa, giliran pemerintah ikut membangun kultur bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak semata-mata mengejar keuntungan. Stiglitz membandingkan CEO di negerinya dan di Jepang (Alpine Schadenfreude and the US Economy, The Jakarta Post 5/2).

Ketika dilanda krisis, CEO di AS menikmati bonus berlimpah sebagai hak pribadi. Komisaris korporasi enggan memecat CEO-nya lantaran besarnya bonus dan uang pisah. Di Jepang, CEO bank besar akan minta maaf kepada pegawainya dan negara. Ia menolak pensiun dan bonusnya agar jumlah uang yang besar itu dinikmati mereka yang menderita akibat kegagalan korporasi. Lalu, ia mengundurkan diri.

Lihat betapa parah krisis ekonomi di AS dalam 20 tahun terakhir setelah krisis simpan pinjam (1989) dan Enron/WorldCom (2002). Dunia harus membayar mahal untuk mitos perdagangan bebas yang selama ini menjadi mantra global. Diversifikasi dalam manajemen risiko tidak mampu meredam kerugian ketika risiko-risiko itu saling terkait. Dunia terseret ke dalam resesi global.

Akhirnya, fundamental suatu negara tergantung dari moralitas dalam bisnis, moralitas penegak hukum dan penyelenggara negara, serta moralitas negara itu sendiri.

Sumber : Kompas, 13 April 2008

16 Maret 2008

Kita Bukan Bangsa Tempe

Oleh A. Halim R

TATKALA masalah kedelai mencuat akhir-akhir ini, barulah Mat Belatong dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) mafhum, bahwa “martabat” negara ini sudah sederajat dengan negara-negara Arab! Lihat saja Saudi Arabia: dolar keluar dari dalam tanah, duit berlimpah-ruah, rakyat sejahtera gemah ripah, semua pekerjaan boleh diupah! Orang Arab tidak perlu membuat pabrik sajadah, jubah, gamis, kapiyeh, tasbih, serta beragam songkok. Tak perlu beternak sapi-kambing, berkebun sayur dan buah-buahan untuk keperluan lebih dari dua juta jamaah haji yang datang setiap tahun. Jubah kakbah alias kiswah pun tak perlu dibuat di Saudi Arabia. Semua didatangkan dari luar! Dari Jepang, Cina, Thailand, India Pakistan, Kashmir, Turki, Mesir dan lain-lain!

Mat Belatong dan Ketuk baru terhenyak paham, memang benar apa yang dikatakan oleh seorang orator ulung zaman Orde Lama – Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Presiden Seumur Hidup – bahwa: Kita bukan bangsa tempe! (Entah negara mana jak tu yang mengatakan Indonesia bangsa tempe. Sebab yang paling tahu, apa dan bagaimana tempe itu, iya kita sendiri! – pen).

Terbukti kini, walaupun Indonesia negara konsumen tempe terbesar di dunia, namun yang bertani kedelai untuk kita: Amerika! Kehidupan petani kedelai Amerika tergantung kepada Indonesia! Kalau kita tak beli, mereka resesi ekonomi! Kita memang bukan bangsa tempe, sebab hak paten tempe pun konon ada di tangan Jepang. Maka Jepanglah yang jadi bangsa tempe! Padahal mereka bukan bangsa pemakan tempe, melainkan tempura dan sabu-sabu!

Bagi petani kita, kedelai dianggap sebagai tanaman sampingan, tak perlu diseriusi benar. Sekadar cukup untuk menghasilkan 30 persen kebutuhan nasional. Kalau diseriusi benar – sehingga swasembada kedelai – khawatir pula nanti Amerika berteriak: Indonesia bukan bertanam kedelai, tapi memperkaya uranium, mau membuat senjata nuklir berbahan baku tempe! (Harap maklum, George Bush dari USA paling suka mengada-ada! – pen).

Antara Indonesia dan Arab memang banyak persamaannya. Orang Arab pemakan kebab (roti), tetapi yang bertani gandum untuk mereka: orang Amerika. Kita pemakan nasi, tetapi yang bertanam padi untuk kita termasuklah negara Vietnam yang baru merdeka. Demikian juga dengan penyediaan lapangan kerja, pemerintah kita tak mau pusing kepala. Bukankah ada Taiwan, Malaysia dan Saudi Arabia yang jadi “tukang” buka lapangan kerja untuk tenaga kerja kita. RI tinggal “ekspor” TKI saja! Dari pekerja di dapur, pekerja kebersihan kota, perkebunan, pembuatan bangunan, hingga infrastruktur dan operator ekskavator, negara Malaysia dan beberapa negara lain di dunia tergantung kepada Indonesia! Minyak bumi dan minyak sawit pun kita cukup ekspor mentahnya saja. Luar negeri yang “bersimbah peluh” jadi “kuli” untuk mengolahnya jadi minyak murni. Tanpa peran Indonesia entah apa jadinya dunia!

Para pemuda di daerah ini – terutama di daerah perbatasan – yang berkeinginan sangat menjadi prajurit Polri dan ABRI pun seperti tak perlu ditanggapi benar oleh pemerintah. Ada Askar Wathaniah: prajurut semi militer di Malaysia konon membuka tangan untuk mereka. Kabar ini entah benar entah tiada! Namun yang pasti, Malaysia mampu dan tidak tabu menggunakan tentara bayaran bila terjadi ancaman terhadap negerinya. Contoh: penggunaan pasukan Gurkha di era Dwikora, tatkala konfrontasi Indonesia – Malaysia tahun 1960-an! Di Kapuas Hulu ada lelaki Iban yang lengannya bertato “Brunei Ranger”. Mungkin mantan “askar ranger” Brunei Darussalam.

Mat Belatong dan Ketuk duduk tersandar, baru insaf maupun sadar, bahwa Indonesia negara yang besar, penyuplai tenaga kasar paling besar. Di luar negeri hidupnya nyasar, menjadi kuli dan buruh kasar, disumpah-seranah kena penampar, tegal nak kais duit dolar. Banting tulang di negeri orang, membawa dolar tatkala pulang, mereka disebut sebagai pejuang, agar si kuli hatinya senang. Indonesia negara yang lebar, penduduk dan wilayah terpencar-pencar, bumi menghijau luas terhampar, rakyatnya akrab dengan lapar. Jagung giling ubi keladi, kini banyak rakyat yang beli, pertanda apa semua ini, coba pikiri dan dipahami. Sudahlah makan nasi aking, kerja keras tulang dibanting, sering mengungsi terbanting-banting, mata cekung tubuh kelemping. Tiada lagi tangis melengking, karena air mata pun telah kering, rakyat terpinggir dan terpelanting, tak bisa beda lagi wangi dan pesing.

Hari ini menulis madah, untuk jadi catatan sejarah, rakyat merdeka hidupnya susah, merdeka dan demokrasi apa faedah. Kini politikus hidupnya rakus, semua hal dia nak urus, ada yang teriak ada yang mendengus, giat mencari lubang fulus. Aturan dibuat berkarung-karung, untuk korupsi cara terselubung, berbagai pajak rakyat yang tanggung, tak peduli rakyat hidup melengkung. Rakyat melengkung macam tenggiling, kepala pusing tujuh keliling, perut merodak kepala pening, sampai ada yang muntah kuning.

Kini dah masuk ke tahun tikus, begitu Cina punya mistikus, negeri tetap salah urus, rakyat terliur beringus-ingus. Tahun Cina bersimbol binatang, itu duniawi punya lambang, kelakuan manusia macam binatang, sang arif melihat di mimpi yang terang. Mat Belatong dan Ketuk punya pendapat, untuk menghadapi tikus keparat, umpankan racun dan pasang jerat, untuk memberantas manusia khianat. Watak tikus telah mewabah, sejak masa yang sudah-sudah, itu pangkal negeri ni susah, hingga rakyat rasa dijajah. Penjajah nyata zaman baheula, Belanda dan Jepang telah tiada, kini penjajah dah lain rupa, ekonomi teknologi sampai budaya.

Bila karut-marut berpanjang-panjang, negeri kusut centang-perenang, rakyat beringas serta pemberang, hari mendatang sulit dibayang. Pengangguran dan lapar sangat bahaya, orang bisa berbuat apa saja, kejahatan dan kesesatan merajalela, bertaruh nyawa orang pun sedia. Orang pemerintah dan politikus, cobalah bekerja berpikir serius, jangan cuma menohok fulus, rakyat kecil dah rasa nak mampus. Kalau hal ini tak dipikiri, rakyat bisa bertindak anarki, revolusi sosial bisa terjadi, hancur dan kacau negeri ini. Tirani Firaun bisa terkubur, Uni Soviet bisa lebur, tembok Berlin bisa hancur, Soekarno dan Soeharto bisa tergusur.

Negeri Arab di zaman yang sudah, dikenal sebagai negeri jahiliah, di Indonesia kini jahiliah mewabah, mungkin kini puncak terparah. Abu Jahal ada di mana-mana, di semua ceruk dan strata bangsa, kejahatan dan khianat itu amalannya, menyesatkan orang beragam cara. Ia mengenakan beragam busana, tampil dalam berbagai rupa, membuat kerusakan dalam dunia, sama ada pria atau wanita. Tatkala jahiliah di titik kulminasi, kejadian berikut sukar diperi, hancur-lebur negeri ini, semua itu mungkin terjadi.

Sumber : Pontianak Post

04 Maret 2008

Penjajahan Korporasi Asing Atas Migas Indonesia

Pada saat kami menuliskan release ini, Christopher Lingle di harian Jakarta Post (20/02/08), dalam artikel yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49, 5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2US$/hari. Di sektor pendidikan, yang menjadi pilar utama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), justru menggambarkan situasi yang lebih miris. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76, 0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41, 5 juta orang atau sebesar 55 persen.

Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Situasi ini sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah air kita, yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing.

Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Konfigurasi ini memperlihatkan pengalihan keuntungan eksplorasi tambang, baik migas maupun non-migas, di Negara-negara penghasil justru dinikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Di Indonesia, menurut laporan Energy information Administration (EIA) dalam laporannya (jan/08) mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1, 1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.
Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%). Sedang, stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2, 77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18, 7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM).

Bandingkan dengan kebutuhan untuk pendidikan! Berdasarkan kajian Balai Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, biaya ideal seorang siswa SD per tahun adalah Rp 1, 68 juta. Data Depdiknas menunjukkan, siswa setingkat SD se-Indonesia sekitar 25, 5 juta. Jadi untuk menggratiskan pendidikan di SD (minus infrastruktur) adalah 42.8 trilyun. Berdasarkan data Balitbang 2003 mengenai kondisi bangunan SD seluruh Indonesia, 32, 2 persen rusak ringan, rusak berat ada 25 persen. SLTP yang rusak ringan 19, 9 persen, rusak berat 7, 4 persen. Padahal, untuk memperbaiki sebuah gedung sekolah hanya membutuhkan dana paling banyak Rp100 juta, nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan share profit di sector pertambangan yang menguap keluar.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Cadangan minyak Indonesia pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barel dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 5123 metrik barel (MB) dan tahun 2004 menjadi sekitar 4301 MB. Penyebab dari turunnya cadangan minyak Indonesia adalah; pertama Ladang-ladang pengeboran minyak di Indonesia (milik Pertamina) sudah sangat tua, sebagian besar masih peninggalan penjajah Belanda. Kebanyakan sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan pun sudah ketinggalan zaman.

Tidak ada revitalisasi technologi, tidak ada pembenahan struktur dalam perusahaan Migas, dan tidak ada upaya pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus bagi perusahaan tambang dalam negeri. Ini semua menyebabkan kemampuan dan kapasitas produksi untuk penerimaaan pemerintah semakin mengecil. PT Pertamina (Persero) menargetkan: laba bersih tahun ini hanya Rp17, 8 triliun atau turun 27, 3 persen dibandingkan laba bersih 2007 sebesar Rp24, 5 triliun. Jadi, merupakan sebuah ironi, korporasi-korporasi asing yang bereksplorasi di wilayah yang sama, memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan Pertamina mengalami penurunan laba (keuntungan).

Penyebab kedua, turunnya cadangan minyak Indonesia adalah sebagian besar ladang-ladang minyak Indonesia dikuasai oleh korporasi asing (MNC), seperti BP, Chevron, CNOOC, ConocoPhillips, ExxonMobil, Inpex, KG, Mitsubishi, Nippon Oil, PetroChina, Petronas, Total, Vico. Dengan pembangunan pipeline (jalur onshore dan jalur offshore) yang bisa mengalirkan minyak hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapore power, menyebabkan potensi hilangnya minyak Indonesia semakin besar. Ini masih ditambah dengan ketidaksanggupan pemerintah mengontrol secara tegas produksi murni dari korporasi (MNC).

Berpatokan kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan pihak Indonesia (Cq. Pemerintah) dan korporasi dilakukan dalam skema Production Sharing Contract (PSC), di mana pertamina telah menjadi bagian dari Kontraktor kontrak Kerja Sama (KKKS). Dalam skema PSC yang ada sekarang, Cost Recovery (CR) sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery minyak mentah Indonesia mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.

Apakah ada masalah dengan biaya cost recovery ini? Iya, audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan pada penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp122, 68 triliun, ditemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18, 07 triliun. Perhitungan cost recovery sebenarnya hanya beban atas kegiatan eksplorasi migas, yang meliputi biaya produksi pengangkatan minyak (lifting) dan biaya investasi. Tapi kenyataannya, dalam kontrak yang dibuat kontraktor dengan pemerintah, tak ada batasan yang tegas. Akibatnya, banyak komponen biaya lain seperti renovasi rumah dinas, biaya berobat, hiburan bahkan kegiatan tanggung jawab sosial (CSR). Ini mungkin yang membuat biaya tersebut membengkak. (sumber: jurnal nasional)

Skema bagi hasil Pemerintah Indonesia dan pihak korporasi memang sangat tidak adil, sangat merugikan pihak Indonesia, namun, beberapa elit politik justru memanfaatkan isu ini demi kepentingan politiknya, bukan untuk kepentingan rakyat. Seandainya, Indonesia mau melakukan peninjauan ulang kontrak karya dengan semua KKS, alasan legal formalnya sangat dibenarkan, mengingat ada bukti-bukti penyimpangan yang disimpulkan BPK. Peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E. Stiglitz waktu datang ke Indonesia, menyatakan eksploitasi yang dilakukan perusahaan multinasional di negara berkembang sering kali dianggap sepenuhnya sah. Sebagian besar negara berkembang dinilainya tidak mampu terlibat dalam negosiasi canggih yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional. Dia menduga negara-negara itu tidak mengerti implikasi penuh dari setiap klausul di dalam kontrak. Untuk Indonesia pun, Stiglitz menyarankan agar berani melakukan negosiasi ulang.

Karena proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepenuhnya dilegitimasi oleh perundang-undangan pemerintah Indonesia, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus melakukan nasionalisasi (pengambil-alihan) terhadap seluruh perusahaan tambang asing tersebut. Langkah ini merupakan jalan yang tepat dan sanggup menyelamatkan kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Pada Hari Buruh Internasional, Morales resmi mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan minyak dan gas asing. Pengumuman langsung didukung tindakan dengan mengirim tentara Bolivia ke ladang minyak dan gas alam. Penempatan pasukan militer itu merupakan simbol bahwa instalasi minyak dan gas itu telah menjadi milik negara Bolivia. Gara-gara dekrit itu, penerimaan Bolivia disektor migas melonjak menjadi US$780 juta (sekitar Rp7 triliun) pada tahun 2007. Jumlah itu enam kali lipat disbanding penerimaan pada 2002. Bagaimana jika perusahaan asing menolak? "Mereka boleh pergi, " ujar Menteri Energi Andres Soliz.

Di Indonesia, di bawah Bung Karno, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan UU No. 86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti MNC wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu. Skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS saat itu, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Cerita sukses Bung Karno itu bisa dilihat dalam prestasi sektor pendidikan, yakni Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kami dari Eksekutif Nasional- Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND), menyatakan sikap sebagai berikut:
  1. Nasionalisasi perusahaan pertambangan asing untuk kepentingan pendidikan gratis dan berkualitas.
  2. Tinjau-ulang kontrak karya dengan seluruh KKS karena telah merugikan pihak Indonesia.
  3. Cabut semua paket perundang-undangan (regulasi) yang mensahkan korporasi asing menjarah kekayaan alam bangsa kita.
  4. Industrialisasi Nasional; Pemerintah harus memfasilitasi pembangunan dan penguatan Industri pertambangan Negara yang tangguh dan modern, baik di sektor hulu sampai ke hilir.

Demikian release ini kami buat. Atas perhatiannya, kami ucapkan banyak terima kasih.

(Pers Rilis, Jakarta, 22 februari 2007, EksNas-LMND)
Sumber :
Eramuslim

09 Februari 2008

Bangsa Tanpa Kedaulatan Pangan

Oleh : Adig Suwandi,
(Praktisi Agribisnis, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)

MELESATNYA harga bahan kebutuhan pokok (basic needs) telah memaksa pemerintah mengingkari komitmen berhemat anggaran subsidi. Sebuah paket kebijakan ekonomi bertujuan menstabilkan gejolak kenaikan harga bahan pangan senilai Rp 13,2 triliun diluncurkan, termasuk di dalamnya penurunan bea masuk beras dari Rp 550 menjadi Rp 450 per kg serta pembebasan bea masuk kedelai dan terigu.

Efektifkah? Tentu saja baru dapat dicermati dalam beberapa hari mendatang, namun secara umum dapat disebut sebagai bentuk kepanikan sesaat yang berdampak kurang menguntungkan petani produsen bahan pangan yang selama ini berada pada posisi marginal. Penurunan dan bahkan pembebasan bea masuk produk pertanian primer pada saat harga internasional menggila memang dapat membantu meringankan beban konsumen, khususnya yang berasal dari kelompok miskin. Kegiatan pengolahan makanan dan minuman berbasis usaha kecil dan rumah tangga pasti sangat terbantu dengan harga produk impor yang tiba-tiba menjadi lebih murah ketika tidak dikenakan bea masuk.

Permasalahannya, apakah beleid ini mampu mendorong petani untuk lebih termotivasi dalam meningkatkan produksi tanaman budi daya melalui intensifikasi dan ekspansi areal. Harga komoditas di pasar internasional yang cukup tinggi dapat menjadi insentif bagi petani untuk lebih serius menangani usaha taninya. Keberadaan Indonesia sebagai net importer sejumlah komoditas pertanian praktis menjadikan perubahan harga sekecil apa pun pada lingkungan strategis bakal berdampak signifikan terhadap terbentuknya harga riil di pasar domestik. Tanpa disadari, petani kecil kita telah masuk perangkap liberalisasi dan globalisasi perdagangan dengan tanpa persiapan memadai.

Tragisnya, banyak di antara pemikir ekonomi dan perancang kebijakan terkecoh produk impor murah daripada harus memproduksinya sendiri, tetapi tidak berdaya saing kuat. Seolah tidak peduli liberalisasi perdagangan sendiri bukanlah jalan terbaik menuju kemaslahatan manusia sejagat. Idealisme dan praktik liberalisasi begitu kontras. Negara-negara industri maju (yang pada umumnya juga memiliki basis pertanian sangat kuat) selalu mendiktekan kemauannya agar negara-negara berkembang dan miskin mengadopsi dokrin merkantilisme ini secara mentah-mentah, sementara liberalisasi sendiri sarat kepentingan, distorsi, dan praktik-praktik tidak fair.

Negara-negara berkembang diminta membuka akses pasar lebar-benar dengan menghilangkan berbagai hambatan masuk (barrier to entry) untuk produk negara lain, baik melalui tarif maupun nontarif. Apa yang dilakukan negara-negara industri maju sebenarnya tak lebih dari upaya menjadikan negara-negara berkembang tempat pembuangan sampah bagi produk yang mereka hasilkan karena pasar sudah jenuh. Petani di negara-negara industri yang notabene tak lebih dari 3% jumlah penduduk tidak saja mendapatkan perlakuan istimewa untuk mendapatkan kredit program berbunga sangat murah, agro-inputs, dan pelayanan lain, namun juga ketika terjadi malapetaka seperti jatuhnya harga hingga terperosok jauh di bawah biaya produksi dan kegagalan panen akibat bencana alam, tak segan-segannya negara memberikan subsidi dan stimulus.

Semuanya dilakukan untuk menjaga gawang ketahanan pangan (food security) dan suasana batin petani agar tidak gamang menghadapi situasi seburuk apa pun. Mereka tahu kalau petani mogok, tidak turun ke ladang, siapa lagi yang mampu menopang ketersediaan pangan. Kondisi melindungi petani inilah yang tidak kita jumpai di Indonesia. Atas nama liberalisasi, petani diminta menata ulang usaha taninya dengan harapan daya saing produk pertanian Indonesia dapat dilepas begitu saja ke pasar global, sementara insentif sangat minimal dan sejumlah kebijakan overlapping dengan kecenderungan merugikan petani tetap saja berlanjut.

Krisis kedelai merefleksikan implementasi liberalisasi secara gegabah. Dengan harga kedelai dunia murah-meriah, anak kecil pun tahu bea masuk 10% tidak akan mampu membuat kedelai lokal bersaing. Satu-satunya pilihan bagi petani yang tidak mempunyai bargaining position ketika berhadapan dengan kekuatan mana pun hanyalah tidak lagi menanam kedelai yang memang secara relatif tidak profitable. Tidak mengherankan kalau dalam sepuluh tahun terakhir luas areal dan produksi kedelai merosot drastis. Orang baru menyesal setelah harga kedelai di pasar internasional naik hampir tiga kali lipat, yang kemudian berimplikasi kelangkaan dan kesulitan berkepanjangan bagi pengusaha tempe dan tahu.

Krisis terigu lebih fatal lagi. Gandum, bahan baku terigu, adalah tanaman yang hingga kini belum berhasil dibudidayakan di kawasan tropika seperti Indonesia. Dilema bangsa agraris makin beranak pinak. Di satu sisi, konsumsi beras telah mencapai klimaksnya setara 139 kg/kapita/tahun sehingga upaya meningkatkan produksi dengan teknologi dan pencetakan sawah baru berapa pun kontribusinya tidaklah sanggup mengejar kebutuhan. Tetapi di sisi lain, kita dihadapkan pada diversifikasi pangan berbasis impor. Keduanya sama-sama memiliki konsekuensi sosial-politik amat besar yang bila tidak dapat dipenuhi akan menjadikan bangsa ini tanpa kedaulatan pangan.

By design, peningkatan produksi beras mutlak diperlukan, tetapi tanpa pengurangan konsumsi tidak berarti banyak. Jepang dan Taiwan pernah memiliki tingkat konsumsi beras tinggi seperti Indonesia, tetapi pemerintah berhasil membujuk rakyatnya untuk tidak bergantung kepada salah satu bahan pangan. Secara teoretis, kalau konsumsi beras Indonesia dapat direduksi hingga 110 kg saja, kita sudah berkemampuan mengekspor. Demikian pula, ketergantungan secara berlebihan terhadap gandum memerlukan komitmen dan keberanian moral pemerintah untuk menguranginya. Mahalnya harga terigu tidak perlu disiasati dengan kepanikan, tetapi justru dijadikan momentum untuk melakukan reorientasi program ketahanan pangan berbasis sumber daya lahan dan agroklimat Nusantara.

Alam Indonesia menyediakan keunggulan kompetitif bagi pengembangan produk pertanian primer asalkan dikelola secara profesional dan didukung instrumen kebijakan memberdayakan. Pada masa transisi menuju liberalisasi perdagangan, ada dua kebijakan yang harus dilakukan secara simultan dan terintegrasi. Pertama, kebijakan proteksi yang melindungi petani dari dampak liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan bea masuk, pembatasan impor secara ketat, impor tidak dilakukan saat panen atau stok lebih dari cukup, dan penerapan harga dasar untuk petani secara konsisten. Kedua, kebijakan promosi yang dilakukan untuk membantu petani yang berinisiatif meningkatkan produktivitas, seperti bantuan bibit, kredit program berbunga lunak, dan tersedianya agro-inpuits.

Sumber : Padang Ekspres

07 Februari 2008

Awas Bahaya Temasek !

Oleh : Budi Kusumah

Nama Temasek kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia usaha. Soalnya, sepak terjang BUMN milik Pemerintah Singapura ini belakanagan tampak makin agresif. Itu terlihat dari beberapa "langkah kuda" yang diayunkannya di beberapa perusahaan yang telah dikuasainya di Indonesia. Selain agresif meningkatkan kepemilikannya di bisnis telekomunikasi, perusahaan ini juga masih bernafsu memburu saham-saham perbankan.

Salah satu yang sedang ramai dibicarakan di lingkungan pasar modal adalah rencana Temasek menambah kepemilikan sahamnya di PT Indosat Tbk. Seorang analis sangat yakin bahwa rencana pemecahan saham (stock split) yang akan dilakukan Indosat adalah keinginan Singapore Technologies Telemedia Ltd. (STT). Tujuannya cuma satu, yakni agar saham ISAT menjadi lebih likuid sehingga anak perusahaan Temasek itu lebih mu-dah menambah kepemilikannya.

Bayangkan, kalau konglomerat dari Negeri Singa itu berhasil mengumpulkan tambahan saham sampai 9% saja, maka semakin kokohlah posisinya sebagai pemegang saham mayoritas Indosat. Sebab, seperti diketahui, pada Desember 2002 lalu, STT telah berhasil memborong 41,9% saham perusahaan telekomunikasi yang tengah berkembang pesat itu.

Tapi bukan hanya di Indosat, Temasek juga dipastikan bakal menjadi raja di bisnis telepon seluler Indonesia. Maklum, sebelumnya, melalui Singapore Telecommunications Limited (SingTel), grup usaha yang dipimpin menantu mantan PM Lee Kuan Yew itu telah menguasai 35% saham PT Telkomsel. Padahal, semua orang tahu, Telkomsel menjadi raja karena menguasai 54% pangsa pasar seluler. Sedangkan Indosat—melalui PT Satelindo menjabat sebagai "patih" dengan penguasaan pangsa sebesar 29%. Alhasil, kalau ditotal, 83% pasar seluler kini berada di bawah kontrol Temasek.

Kondisi ini sebenarnya sudah lama diketahui publik sehingga mengundang pro dan kontra yang cukup seru. Berbagai kalangan yang terdiri dari mahasiswa, politisi, bahkan karyawan Indosat sendiri waktu itu melakukan demonstrasi menolak penjualan tersebut. Bahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU pagi-pagi sudah mencurigai kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang bisa merugikan jutaan konsumen. "Penguasaan dominan oleh Temasek otomatis akan berakibat pada pengendalian harga dan akhirnya rakyatlah yang harus menanggung", kata Didik J. Rachbini, salah seorang anggota KPPU.

"SUMBANGAN" UNTUK RAKYAT SINGAPURA

Kekhawatiran serupa juga dikemukakan oleh mantan Ketua MPR RI Amien Rais. Tapi, entah kenapa, riuh rendahnya suara penolakan itu kini tak terdengar lagi. Padahal, kendati kerugian yang akan dialami rakyat belum terjadi, sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah merugi akibat penjualan saham Indosat. Sebab, "Tanpa perlu dijual, dalam waktu tiga tahun, Indosat sebetulnya dapat memberikan penghasilan yang sama besarnya dengan hasil penjualan saham kepada anak perusahaan Temasek", kata Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian RI.

Rizal benar. Soalnya, dalam keadaan "normal", Indosat mampu mengumpulkan laba bersih rata-rata Rp 1,5 triliun per tahun. Di tahun-tahun mendatang, diperkirakan, laba perusahaan yang memiliki aset Rp 26,7 triliun ini akan terus membesar seiring dengan pengembangan usaha seluler yang sedang dilakukannya. Dan yang paling diuntungkan adalah Temasek sebagai pemegang saham mayoritas.

Keberuntungan serupa juga diraih SingTel dari PT Telkomsel. Dari hasil usaha tahun lalu, SingTel mendapat bagian keuntungan sebesar Sin$ 128 juta atau sekitar Rp 640 miliar. Se-mentara dari tahun sebelumnya (2002) bagian yang diperoleh diperkirakan mencapai Rp 500 miliar. Melihat geliat bisnis Telkomsel yang terus berkembang dengan pesatnya, diperkirakan dana yang dikucurkan SingTel untuk membeli 35% saham Telkomsel sebesar Rp 3,19 triliun akan kembali pada awal tahun 2006. Itu sebuah proses balik modal yang cukup pendek, kendati tidak secepat di Indosat.

Dan memang, itulah yang disesalkan banyak pihak, termasuk Rizal Ramli. Ia menganggap pemerintah telah menjual secara sembarangan hanya demi mengejar setoran untuk menambal APBN. Sehingga, kalau dikalkulasi secara bisnis, penjualan yang "katanya” bisa mencapai di atas harga pasar itu malah merugikan. Sebab, masyarakat Indonesia pemakai telepon seluler "yang sebagian besar merupakan pelanggan Telkomsel” secara langsung telah memberikan "sumbangan" yang cukup besar kepada rakyat Singapura.

Bayangkan, kalau SingTel tidak memiliki saham di Telkomsel, maka perusahaan itu tidak akan mengalami pertumbuhan laba yang begitu pesat, yang di akhir 2003 kemarin tercatat naik sebesar 188% menjadi Sin$ 854 juta. Begitu pula basis pelanggan selulernya, tidak akan tumbuh sampai 37% menjadi 44 juta orang. Sebab, di kandangnya sendiri, pelanggan SingTel mengalami penurunan 1% menjadi tinggal 1,53 juta. Artinya, pertumbuhan pelanggan Telkomsel di tahun 2003 yang 60% sangat mendukung basis pendapatan SingTel.

Tapi, itu belum seberapa. Geliat lain dari raksasa Singapura ini "yang membahayakan konsumen Indonesia" diperkirakan akan datang belakangan. Tepatnya ketika anak-anak perusahaan Temasek itu memakai kekuatan posisinya sebagai pemegang saham mayoritas, untuk mengatur tarif sesuai kehendak mereka.

TEMASEK BISA MENDIKTE

Itu sebuah dampak divestasi yang benar-benar memberi kenikmatan bagi Singapura, tapi tak enak bagi konsumen Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, kejadian serupa "kelihatannya" bakal terjadi di dunia perbankan kita. Seperti diketahui, nama Temasek juga santer disebut-sebut dalam acara divestasi 51% saham pemerintah di Bank BNI: 71% saham Bank Permata dan 20% saham Bank Mandiri.

Artinya, kalau niat Temasek "yang juga disambut ekstrahangat oleh Menneg BUMN" tadi terlaksana, maka perusahaan dari Singapura itu akan muncul menjadi raja bank di Indonesia. Soalnya, saat ini, bersama Deutsche Bank, Temasek telah menguasai mayoritas saham di Bank Danamon. Selain itu, bersama Kookmin Bank Korea, Temasek juga menjadi penguasa di Bank BII. Bahkan di BII, ada rencana bahwa Temasek bakal menambah kepemilikannya dari penjualan saham pemerintah sebesar 17,6%.

Karena Itulah rencana pencaplokan berikutnya (terutama terhadap Bank BNI) kembali mendapat tentangan keras. Alasannya sebenarnya sangat sederhana: jika 51% saham BNI (yang diperkirakan bernilai Rp 5 triliun) jatuh ke tangan asing, maka pembeli tersebut akan bersorak kegirangan. Sebab, hanya dalam waktu tiga tahun, modal yang dikucurkannya akan kembali. Maklum, dalam setiap tahunnya, Bank BNI mampu mengumpulkan laba sebesar Rp 3 triliun. Dan dari jumlah itu, separuhnya atau sekitar Rp 1,5 triliun selalu disetorkan sebagai dividen kepada pemerintah.

Skenario serupa dipastikan bakal terjadi di Bank Permata dan Bank Mandiri. Di Bank Permata, misalnya, diduga kuat saham bank ini juga akan dijual murah gara-gara tersangkut kasus "cessie Bank Bali" senilai Rp 546 miliar dan lantaran tahun lalu masih merugi sebesar Rp 808 miliar lebih. Tapi, coba lihat kinerjanya sekarang: kredit bermasalahnya (NPL net) hanya 2,9%, kecukupan modal (CAR)-nya nyaris menggapai 11%. Dan kendati belum diaudit akhir tahun lalu, Bank Permata telah mencatatkan laba Rp 533,3 miliar.

Akan halnya Bank Mandiri, tak perlu diceritakan lagi, karena ini adalah bank terbesar di Tanah Air dengan keuntungan yang juga lumayan besar, kendati "seperti bank-bank hasil program rekapitalisasi lainnya" besarnya keuntungan itu banyak ditopang oleh bunga obligasi rekap.
Sayang memang kalau sampai dijual. Tapi, kata Faisal Basri, program divestasi yang dilancarkan pemerintah "sebenarnya" merupakan sesuatu yang sah dan punya nilai positif. Sebab, kata dia, privatisasi akan mendorong munculnya good corporate governance. Tapi, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Maksudnya, agar tercipta iklim kompetisi yang sehat, penjualan saham pemerintah mesti dilakukan secara menyebar. Toh masih banyak investor di mancanegara yang punya reputasi bagus. "Jangan Temasek saja yang diberi kesempatan, sebab nanti dia bisa mendikte harga. Itu bahayanya" kata ekonom dari Universitas Indonesia ini kepada Kartina Ika Sari dari TRUST.

MENTERI ATAU KERNET?

Mestinya, lanjut Faisal, Menneg BUMN sebagai komandan penjualan saham milik negara bertindak dengan "cerdas". Sehingga, privatisasi tidak terjerumus pada penguasaan satu sektor industri oleh segelintir orang/perusahaan. Tapi, ya itu tadi, yang terjadi malah sebaliknya. Dan yang mengherankan, setiap penjualan yang dilakukan selalu mengundang permasalahan. "Menurut saya, Kantor Menneg BUMN ini korup. Privatisasi dijadikan ajang korupsi baru", ucapnya.

Berbeda dengan di Korea. Di sana, kata Faisal, sebelum menjual, pemerintahnya berkonsultasi dengan lembaga semacam KPPU. Kemudian dikaji ulang apakah penjualan itu akan memperbaiki struktur pasar atau malah sebaliknya? "Ini akan mendapat perhatian ekstra dari KPPU. Dalam hal seluler, misalnya, akan saya lihat apakah kepemilikan asing itu bisa menimbulkan kompetisi harga yang sehat atau tidak", papar Faisal.

Pentingnya penjualan secara menyebar juga dikemukakan Rizal Ramli. Kata dia, berbahaya kalau ada segelintir pihak yang menguasai bank-bank besar. "Adanya konsentrasi kepemilikan dan manajemen akan menimbulkan kecenderungan terjadinya pelanggaran batas maksimum kredit kepada grup sendiri", tuturnya. Soalnya, lanjut Rizal, pengawasan oleh Bank Indonesia sangat tidak memadai karena banyak lubang yang bisa direkayasa untuk menabrak legal lending limit tersebut.

Apalagi, di negara-negara maju, pencegahan terjadinya pemilikan mayoritas saham bank ini merupakan hal yang biasa. Di Australia, misalnya, seseorang atau sebuah perusahaan tidak diperkenankan memiliki saham sebuah bank lebih dari 17%.

Nah, kalau bahayanya sudah jelas seperti itu, kenapa pemerintah terus ngotot melakukan aksi jual? "Dalam berbagai kasus privatisasi, sang Menteri bertindak sebagai kernet angkot yang mengejar setoran, tanpa peduli apakah negara dirugikan atau tidak" ujarnya.

Sumber : Majalah Trust

Artikel lainnya di Majalah Trust :
New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------