Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


18 Agustus 2008

Bangun Bangsa, Bangun Sekolah!

Oleh : ST SULARTO

Ketika sejumlah negara sudah menerapkan prinsip to build nation build schools, keputusan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN 2009 dan APBD 2009 itu ibarat klimaks sekaligus antiklimaks drama perilaku politik.

Disebut klimaks, sebab kepastian terjadi setelah lima tahun sejak MPR menetapkan amandemen Pasal 31 UUD 1945 yang memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Amanat itu sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diikuti keputusan Mahkamah Konstitusi dua hari sebelumnya, 13 Agustus 2008.

Antiklimaks, sebab keputusan itu menyisakan pekerjaan rumah yang amat besar dan rumit menyangkut kesiapan mengelola agar bisa efisien, efektif, dan bertanggung jawab. Sejak masyarakat berkali-kali mengingatkan, selalu ada suara sumbang tentang ketidakmampuan birokrasi departemen teknis.

Kasus upaya peningkatan mutu lewat ujian akhir nasional yang dari sisi pedagogis kurang bisa dipertanggungjawabkan, program sertifikasi yang ribut diwacanakan tetapi tidak diikuti langkah eksekusi cepat sesuai yang dijanjikan, dan masalah pengadaan buku pelajaran, kita sampaikan sebagai tiga contoh aktual berkaitan perlunya pembenahan birokrasi Depdiknas.

Catatan-catatan di atas menyertai kebanggaan Presiden yang mengatakan, ”Anggaran pendidikan telah meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 78,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 154,2 triliun pada tahun 2008.”

Angka 20 persen dapat dipenuhi meskipun defisit anggaran harus dinaikkan sebesar Rp 20 triliun atau menjadi 1,9 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jika 20 persen dari total belanja tahun depan Rp 1.122,2 triliun atau sebesar Rp 178,9 triliun, ditambah Rp 46,1 triliun, maka alokasi anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar Rp 224 triliun.

Kisah tentang kelalaian

Selama lima tahun Pasal 31 UUD 1945 yang kemudian diamandemen itu merupakan pasal yang belum terpenuhi. Mahkamah Konstitusi pernah dituding tak konsisten, membiarkan anggaran tidak sesuai konstitusi.

Pemerintah dan DPR mencoba bersiasat. Pemenuhan dilakukan bertahap, bahkan sejak tahun lalu dimasukkan faktor gaji guru dalam alokasi anggaran Depdiknas, hal yang sama juga untuk APBN 2009. Anggaran pendidikan pun hanya dikelola oleh Depdiknas.

Kesepakatan pemenuhan secara bertahap dilakukan sejak 2004, yakni 6,6 persen pada 2004, sebesar 9,29 persen (2005), naik jadi 12,01 persen (2006), 14,68 persen (2007), sebesar 17,40 persen (2008), dan 20,10 persen (2009). Ketika pada APBN 2008 dimasukkan anggaran gaji guru pada pemenuhan 17,40 persen, sebenarnya anggaran untuk kegiatan pendidikan hanya sekitar 12 persen.

Yang terjadi kemudian sampai sekarang adalah kisah tentang kelalaian. Hampir separuh gedung SD dalam kondisi rusak berat dan 18 persen rusak ringan.

Akibat kelalaian itu pun terlihat dalam pencapaian partisipasi dalam sekolah, yang diperkirakan besarnya 95 persen (dicapai cepat lewat program wajib belajar), SMP dan sederajat hampir 72 persen, SMA dan sederajat sekitar 55 persen, dan sarjana strata-1 sekitar 17 persen. Angka buta huruf terjadi pertambahan pesat. Tetapi, dari sekitar 210 juta jiwa total penduduk Indonesia saat ini, 15 juta di antaranya buta huruf, bukanlah pencapaian yang menggembirakan. Singkatnya, indeks pembangunan manusia Indonesia tahun ini ada di peringkat ke-110 dari 117 negara.

Kondisi memprihatinkan praksis (praktik dan refleksi) pendidikan negeri ini tidak bisa ditimpakan ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Jauh sebelumnya, dimulai sejak menempatkan politik sebagai panglima maupun kemudian ekonomi, bahkan di era empat presiden penerusnya.

Mengacu pada pidato Presiden, alokasi anggaran 20 persen diperuntukkan rehabilitasi gedung sekolah, peningkatan mutu dan fasilitas sekolah, perbaikan kesejahteraan guru, dosen, dan peneliti, serta beasiswa. Apakah dengan demikian akan terjadi satu perubahan mendasar, besar-besaran, dan cepat? Katakan gedung-gedung sekolah yang sebagian di antaranya mirip ”kandang ayam” diperbaiki, fasilitas sekolah seperti buku tersedia lengkap dan gratis, kesejahteraan guru terjamin seperti pada era sebelum tahun 1960-an, beasiswa bagi anak-anak yang mampu secara akademis tetapi kurang mampu secara ekonomis, SPP gratis untuk tingkat pendidikan menengah ke atas?

Naiflah mengharapkan terjadi perubahan serentak. Sebagai sebuah pernyataan politik, pidato dan nota keuangan, dalam pelaksanaan butuh waktu, kondisi dan prasyarat untuk memenuhinya. Adalah naif ketika masalah anggaran lantas didekati sekadar dihabiskan, itu pun pada semester tahun ini Depdiknas termasuk dalam kelompok disclaimer menurut BPK. Masih banyak yang tersendat, entah karena faktor kesiapan dan kompetensi birokrasi maupun perasaan ”takut-takut” terkena jerat KPK sehingga lebih aman tidak berbuat apa-apa.

Sekadar contoh, kesejahteraan guru dan dosen, salah satu faktor perbaikan mutu anak didik dan praksis pendidikan. Ketika diumumkan kenaikan 15 persen bagi yang berstatus PNS pada Pidato Kenegaraan 2007 (tahun lalu), sampai sekarang pun masih ada yang belum menikmatinya. Ada rapelan? Tentu tidak! Singkat kata, ada proses panjang yang harus dilalui antara keputusan politik—anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan 20 persen APBD—dan realisasi di lapangan

”Cost and benefit”

Menggarisbawahi ”Tajuk Rencana” harian ini (Kompas, 16/8), keputusan politik yang menggembirakan itu mesti disyukuri, tetapi tak perlu mbungahi. Anggaran yang akan diberlakukan mulai 2009 masih menyisakan waktu mempersiapkan birokrasi yang kompeten, cekatan, jujur, dan bertanggung jawab. Uang yang akan dikelola dan dikucurkan bersifat transparan dan akuntabel.

Inilah pertama kali dalam sejarah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN 2009 ini sebesar Rp 985,9 triliun. Keputusan politik ini menyentuh langsung ke masyarakat banyak sehingga gampang terlihat sisi positif dan negatifnya. Masyarakat menjadi pengawas, selain BPK maupun KPK. Masyarakat menguji apakah sekadar janji kosong, yang realisasinya sangat tergantung dari pelaksanaan di lapangan, terutama birokrasi Depdiknas.

Prinsip umum agar anggaran bisa efisien dan efektif akan menjadi pedoman kerja Depdiknas. Cost and benefit, biaya yang memperhitungkan manfaat, menjadi acuan. Agar bisa melakukannya, dibutuhkan birokrat yang cukup dalam jumlah maupun mutu. Merekalah birokrat yang kompeten, yang dibebaskan dari kepentingan politik praktis.

Praksis pendidikan adalah humanisasi (pemanusiaan), bukan untung-rugi yang dihitung dari koridor input-output, apalagi hitung-hitungan ala saudagar, apalagi mendahulukan kekuatan uang dan posisi.

Sudah lama negeri ini menunggu keputusan politik yang memberi perhatian besar pada pengembangan SDM. Menurut Prof Soedijarto, ketika rata-rata anggaran pendidikan anggota Uni Eropa adalah 5 persen dari PDB, Indonesia merupakan yang terendah di Asia, yakni 1,4 persen (Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, 2008). Data itu relevan. Kini dengan angka sekitar 1,9 persen dari PDB pun Indonesia masih di bawah Thailand yang besarnya 5,0 persen, Jepang 7,0 persen, Malaysia 5,2 persen, Vietnam 2,8 persen, dan Nigeria 2,4 persen.

Perjalanan masih panjang. Mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN 2009 merupakan keputusan politik yang tepat dan inspiratif di tengah keterpurukan segala bidang. Negara maju di Asia seperti Korea Selatan, China, dan India adalah panutan bagaimana mereka membangun negara lewat membangun manusia. Dan itu di antaranya lewat pendidikan (sekolah), satu dari nilai-nilai kebudayaan progresif yang membawa suatu bangsa menjadi bangsa besar.

To build nation, build schools! Membangun bangsa, membangun manusia

Sumber : Kompas

16 Agustus 2008

Kembali ke Pancasila

Sri-Edi Swasono
(Guru Besar Universitas Indonesia)

Tatkala demokrasi dalam krisis, Bung Hatta mengajak kita kembali patuh menaati Pancasila sebagai filsafat negara kita. Pada 1960, tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita yang diterbitkan oleh majalah Pandji Masjarakat mengegerkan perpolitikan Indonesia. Akibatnya, kebebasan Bung Hatta dipasung, dilarang memberikan kuliah di UGM dan di universitas lainnya. Dr Hamka sebagai pimpinan Majalah Pandji Masjarakat ditangkap dan dipenjarakan. Dikeluarkan pula larangan untuk membaca, menyebarkan, dan menyimpan Demokrasi Kita.

Inti dari tragedi 1960 itu adalah kecemasan Bung Hatta tentang demokrasi Indonesia yang terancam. Terjadinya krisis demokrasi atau demokrasi dalam krisis. ".... Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi daripada sejarah dunia...." Demikian ditegaskan Bung Hatta setelah menjelaskan latar belakang mengapa tindakan Bung Karno yang menyimpang jauh dari dasar-dasar konstitusi itu adalah akibat dari krisis demokrasi.

Ada terselip dalam Demokrasi Kita kata-kata Hatta: "Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan change dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan.

Ada ukuran yang objektif yang akan menentukan dalam hal ini, yaitu tercapailah atau tidak kemakmuran rakyat dengan itu, kemakmuran rakyat yang Soekarno sendiri juga menciptakan- nya dengan sepenuh-penuh fantasinya...."

Bapak Kedaulatan

Mari kita renungkan apa yang dikatakan Bung Hatta pada edisi pertama Daulat Ra'jat 20 November 1931: "...Bagi kita, ra'jat itoe jang oetama, ra'jat oemoem, jang mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat itoe djantoeng hati Bangsa. Dan ra'jat itoelah jang mendjadi oekoeran tinggi rendahnja deradjat kita. Dengan ra'jat itoe kita akan naik dan dengan ra'jat itoe kita akan toeroen. Hidoep mati-nja Indonesia Merdeka semoeanja itoe tergantoeng pada semangat ra'jat. Pengan- djoer-pengandjoer dan golongan kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalaoe dibelakangnja ada ra'jat jang sadar dan insjaf akan kedaoelatan dirinja...."

Sikap dan akhlak demokrasi Bung Hatta yang sedemikian itu membuatnya mudah menerima dan mendukung Pancasila.

"Kita telah menyatakan Pancasila sebagai filsafat atau ideologi Negara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Dasar yang tinggi-tinggi ini dirasakan perlu sebagai bimbingan untuk melaksanakan kewajiban moral yang berat itu."

Pengakuan di muka Tuhan akan berpegang pada Pancasila itu tidak mudah diabaikan. Dan di situ pulalah terletak jaminan bahwa demokrasi tidak akan lenyap di Indonesia. "Jika diperhatikan benar-benar, Pancasila terdiri atas dua fundamen. Pertama, fundamen moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan kedua, fundamen politik, yaitu Perikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial."

"Dengan meletakkan dasar moral di atas diharapkan oleh mereka yang membuat pedoman Negara ini, supaya negara dan pemerintahnya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berdasar kepada moral yang tinggi diharapkan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Bagi Bung Hatta demokrasi dalam sistem Pancasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau demokrasi sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi yang harus diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Nepotisme Kepartaian

Betapapun Bung Hatta menyadari kalau di negeri-negeri yang sudah lama menjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menyalahgunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri yang masih muda seperti Indonesia. Dikatakannya, bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti "membagi rezeki". Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan.

Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan partainya. Seorang menteri perekonomian, misalnya, memberikan lisensi dengan bayaran yang tertentu untuk kas partainya. Dalam pembagian lisensi itu, pedagang orang yang separtai didahulukannya. Untuk biaya pemilihan umum, partai dijadikan tujuan dan Negara menjadi alatnya. Petualangan politik dan ekonomi, serta manusia profetir maju ke muka. Segala pergerakan dan semboyan nasional diperalatkan mereka. Partai-partai politik ditungganginya untuk anarki dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.

Begitu hebatnya partai-partai menyalahgunakan kekuasaan, melakukan sistem klik ugal-ugalan, dan money politics untuk mengorupsi uang publik demi kepentingan partai. Sampai-sampai, kata Bung Hatta, mengabaikan kaidah besi administrasi negara, yaitu prinsip the right man in the right place. Akibatnya negara dikelola oleh kabinet koalisi dan birokrasi publik medioker hasil nepotisme kepartaian yang mengkucar-kacirkan penyelenggaraan negara.

Apa yang terjadi saat ini terulang, mirip apa yang diprihatinkan oleh Bung Hatta, sebagaimana dilukiskan dalam Demokrasi Kita, "daulat rakyat" telah diambil-oper "daulat partai", meskipun pada tahun-tahun menjelang 1960 anggota-anggota partai di DPR belum seganas ini dalam melakukan korupsi dan demoralisasi belum sedemikian nista seperti sekarang.

Namun, ajakan Bung Hatta pada 1960 untuk selekasnya kembali kepada Pancasila amatlah relevan. Pancasila merupakan "asas bersama" bagi bangsa kita yang pluralistik dan multikultural, sehingga yang berbeda-beda bisa menjadi satu karena sama- sama berada di bawah lindungan Pancasila yang merupakan platform kebersamaan atau common denominator. Lebih dari itu Pancasila adalah substansi yang harus mengisi tugas kenegaraan kita melaksanakan nation and character building bangsa yang berharga-diri dan bermartabat.

Kaidah Mulia Kita

"Demikianlah harapan kaum idealis yang merumuskan filsafat Negara dan UUD 1945 dalam saat yang bersejarah yang menentukan nasib bangsa. Satu ciptaan mungkin terlalu tinggi bagi manusia biasa melaksanakannya, tetapi sebagai pegangan untuk menempuh jalan yang baik sangat diperlukan, manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar."

Tentulah benar apa yang dikemukakan Bung Hatta, ini merupakan kaidah terlalu tinggi bagi para preman (villains) yang saat ini dengan mudahnya masuk ke dalam jajaran pimpinan negara.
Adalah kewajiban dari pemerintah saat ini tidak saja sekadar menggebu-gebu memekikkan "Bersama Kita Bisa", tetapi harus memekikkan kembali "Pancasila Dasar Negara". Mari kita menyanyikan lagi "Garuda Pancasila", "Pancasila pribadi bangsaku, ayo maju-maju, ayo maju-maju, ayo-ayo maju".

Sumber : Suara Pembaruan Daily

02 Agustus 2008

Rekaman Kotak Hitam Adam Air


Cerita kelam kotak hitam.
Kisah yang sesungguhnya pada Adam Air tersimpan dikotak hitam pesawat. Inilah yang dicatatnya..

Rekaman suara kokpit:
Suara pilot, kopilot, kru kopilot, kru kokpit lain hingga bunyi tuas.

Rekaman data penerbangan:
Ketinggian, kecepatan angin/pesawat, arah, tenaga mesin, posisi pesawat,hingga kecepatan mendaki/menuki.

Rekan-rekan sekalian, kita tidak tahu kapan hidup ini akan berakhir.Barangka li juga ketika kita dalam pesawat seperti saudara-saudara yang naik AdamAir dulu.Hanya Allah yang tahu. Rekaman ini katanya diambil dari kotak hitam Adam Air. Semoga menunjukkan pada kita bahwa manusia itu cenderung untuk belajar dan melakukan try-error. Yang rupanya masih merupakan metode yang sangat banyak kita gunakan. Allah lah yang mengizinkan sesuatu untuk terjadi ataupun tidak.

Sumber : YouTube
New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------