Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


27 Februari 2008

Kuak Konspirasi Bikin Senjata Biologi dari Flu Burung Buku Menkes Fadilah Bikin Gerah AS-WHO

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2).

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

“Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya,” ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.

“Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.

“Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran. Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.

Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO.

Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.

Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu.

Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.

Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Sumber : Tribun Timur
Baca juga :

25 Februari 2008

Fenomena Kehidupan dalam Foto

Kesenjangan yang terlihat pada slide foto dibawah ini bukan hanya terjadi di luar negri, tapi di tanah air juga terjadi
------

23 Februari 2008

Hutan Lindung dan Masyarakat

Oleh Siti Maemunah

Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng.

Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4 Februari lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.

Seharga pisang goreng

PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar Rp 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas , panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

Itulah harga hutan lindung termurah—kalaupun fungsinya bisa diuangkan—yang resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah dari sepotong pisang goreng . Inilah cara amat buruk menghargai fungsi lindung hutan.

Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam , khususnya hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi.

Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban.

PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar, sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang jumlah dan luasnya amat besar. Di Kalimantan Selatan saja, sedikitnya ada 400 perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar pascareformasi.
Banyak peraturan dikeluarkan pemerintah bukannya membuat keselamatan dan produktivitas rakyat terjamin, tetapi justru sebaliknya. Peneliti Cifor menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir telah disahkan 500 lebih peraturan Menteri Kehutanan untuk mengurus hutan Indonesia. Dalam jangka yang sama, luas hutan menyusut 11,2 juta hektar.
Yang paling bersorak tentu pelaku pertambangan. Sejak delapan tahun lalu, berbagai perusahaan tambang asing melakukan lobby hingga ancaman membawa Indonesia ke arbitrase internasional. Kontrak karya mereka terganjal status hutan lindung.

Akhirnya, UU Kehutanan Tahun 1999, yang melarang tambang terbuka di hutan lindung, berhasil diamandemen dua tahun lalu. Ada 13 perusahaan yang mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung. Sebagian besar adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport dari AS, Rio Tinto dari Inggris, Inco dari Kanada, dan Newcrest dari Australia.

(Dibawah ini salah satu contoh, peta lokasi penambangan Freeport di Tembaga Pura di Irian atau Papua)


View Larger Map

Sejak itu, jika mau membuka tambang di hutan lindung, mereka harus mencari hutan kompensasi. Tetapi, itu tak cukup. Mereka mengeluhkan lahan kompensasi sulit didapat. Mereka mau cara lebih mudah dan murah, dan dijawab pemerintah dengan munculnya PP ini.

Daya rusak tambang

Berlawanan dengan kemanjaan yang diberikan kepada pelaku pertambangan, protes penduduk korban yang jatuh bangun menghadapi daya rusak pertambangan tak didengar pimpinan negeri ini. Padahal, pertambangan berdaya rusak tak terpulihkan. Untuk mendapat satu gram emas saja, sedikitnya 2,1 ton limbah batuan dan lumpur dibuang ke lingkungan. Dengan ciri itu, lahan hutan yang digali tak bisa dipulihkan fungsinya seperti semula.

Di Kalimantan Timur, korban tambang Kelian milik Rio Tinto tak jelas nasibnya dan berkonflik satu sama lain, hingga perusahaan tutup. Warga Dayak Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung. Juga Dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah, lahannya dirampas Aurora Gold. Kasus-kasus ini tak menjadi rujukan memperbaiki pengurusan tambang yang lebih adil ke depan.

Warisan lain adalah lubang tambang puluhan hektar dan kedalaman ratusan meter yang dibiarkan menganga tak diurus. Lahan rusak itu di antaranya lubang Etzberg milik Freeport, Toguraci milik Newcrest di Maluku Utara, Serujan milik Aurora Gold, hingga ratusan lubang tambang batu bara di Kalimantan Selatan dan seribu lebih lubang tambang timah di Bangka Belitung.

Jika tak dicabut, PP ini akan memperparah kerusakan hutan dan kembali meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak tertanggungkan.
Siti Maemunah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Sumber : Jaringan Advokasi Tambang

22 Februari 2008

Fenomena Konflik Politik Pilkada dan Liberalisasi Politik

Oleh : Achmad Rusyaidi, H. *)

Salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Konsep otonomi daerah yang dianut oleh Indonesia telah memberikan kemungkinan bagi setiap daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menentukan pemerintahannya masing-masing.

Di satu sisi ruang pilkada ini merupakan liberalisasi politik yang bertujuan agar efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Namun di sisi lain, pilkada ini justru menimbulkan polemik dan konflik yang cukup rumit penyelesaiannya.

Terjadinya konflik dan polemik ini dinilai diakibatkan oleh ketidaksiapan masyarakat Indonesia menghadapi liberalisasi politik mengingat watak masyarakat yang pada umumnya masih bersifat primordial dan feodalistis. Ditambah lagi tidak jelasnya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari pilkada ini sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Telah banyak konflik yang telah terjadi di negeri ini, sebut saja konflik Pilkada Sulsel dan Maluku.

Adalah merupakan suatu kepastian bahwa dalam setiap pertarungan politik, khususnya di pilkada, akan banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Mulai dari kepentingan borjuasi internasional, kepentingan borjuasi nasional, hingga kepentingan rakyat (pekerja) tentunya. Sehingga konfilk bukan hal yang tabu lagi untuk dijumpai. Di tulisan ini tidak akan dibahas mengenai persolan apa, siapa dan bagaimana para kepentingan mengintervensi politik di pilkada sehingga menimbulkan konflik. Tapi akan dibahas tentang bagaimana mengolah isu konflik untuk menjadi suatu pembelajaran politik bagi rakyat untuk mengahadapi pertarungan bebas di kancah pertarungan pilkada (liberalisasi pilitik).

Konflik Adalah Proses Pembelajaran Politik

Anggapan umum yang mengatakan bahwa konfilk selalu akan melahirkan yang namanya kehancuran dan kekacauan adalah tidak sepenuhnya benar. Di mana ada sisi negatif maka di situ ada sisi positif. Begitupun dengan konflik. Konflik politik jangan selalu dimaknai sebagai kegagalan demokrasi yang berakibat kekacauan, tapi sejatinya konflik harus dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran politik bagi masyarakat. Dengan konflik masyarakat akan sadar bahwa tindakan fairplay dan anti manipulatif adalah sesuatu yang harus direalisasikan.

Indonesia adalah negara hukum. Semua ada mekanisme dan aturan main (rule of the game) tersendiri, termasuk dengan konflik pilkada. Biarkan hukum bekerja sesuai dengan mekanismenya. Konflik pilkada Sulsel misalnya, apapun keputusan Mahkamah Agung nantinya semua pihak harus menerima dengan jiwa kesatria, termasuk pihak yang kalah.

Kepentingan rakyat harus tetap diprioritaskan. Roda ekonomi harus tetap berputar. Pembangunan infrastruktur dan Industrialisasi harus tetap jalan. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah (daerah) beserta pegawai-pegawainya untuk tidak masuk kerja dan tidak melayani masyarakat.

Masyarakat jangan dijebak pada jurang konflik politik yang sebenarnya hanyalah merupakan ilusi kepentingan pribadi dari elit-elit politik yang bermain. Masyarakat harus diarahkan pada kesadaran untuk bagaimana memahami dan mengerti akan konflik itu sendiri. Nantinya masyarakat akan dapat menilai secara objektif mana yang betul-betul memperjuangkan nasib rakyat, mana yang fairplay dan mana yang manipulatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat akan dapat dengan sendirinya mencegah terjadinya konflik.

Pembentukan Blok Politik Oposisi

Salah satu yang membuat lemah ketika membicarakan demokratisasi di Indonesia adalah rendahnya “kualitas” rakyat untuk menentukan arah perpolitikan dan kepemerintahan agar sesuai dengan kondisi objektif dan kebutuhan mereka. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh paham-paham primordial dan feodalistis yang masih melekat di kepala sebagian besar masyarakat. Objektifitas kemudian dinomorduakan dan hubungan emosional dinomorsatukan.

Lemahnya daya tawar rakyat yang merupakan imbas dari budaya politik irasional, yang pada akhirnya rakyat terjebak dalam money politics. Demokratisasi sebagai ruang pertarungan kepentingan ekonomi-politik harusnya diarahkan pada kesadaran akan perlunya penguatan daya tawar rakyat untuk menghadirkan struktur kekuasaan tandingan yang dalam hal ini adalah Blok Oposisi. Dan dengan konflik kondisi ini dapat diciptakan. Konflik akan mambangun kesadaran massa rakyat untuk memahami dan mempelajari bagaimana berpolitik secara rasional serta bagaimana menyelaraskan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik.

Lembaga oposisi politik lokal akan berguna membangun kerangka politik yang progresif dan bukannya menjadi semakin brutal dan unorganized.

Membangun lembaga oposisi dari kalangan gerakan sosial adalah bentuk latihan menyongsong celah-celah politik yang bisa dimanfaatkan dari demokrasi prosedural yang masih berdinamika saat ini. Dalam lembaga oposisi jugalah rakyat kebanyakan berlatih demokrasi sejati dengan memaksimalkan demokrasi yang mengutamakan pembahasan-pembahasan partisipatif untuk semua urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik). Lembaga oposisi yang mencoba menjadi struktur kekuasaan tandingan akan memiliki kewajiban untuk mempraktekkan demokrasi di antara kalangan gerakan sosial secara fair, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. Sehingga rakyat akan dilatih dan melatih mempercayai pemimpin-pemimpin publik yang memang teruji dan bukan yang oportunis.

*) Achmad Rusyaidi H
Koordinator Sentra Gerakan Progresif Makassar, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Selatan.


Sumber : Selamatkan Indonesia.net

Celana Melorot



Ini berita dari Amerika Serikat, negara yang dikenal sangat liberal. Kota Alexandria dan Shreveport dua kota di negara bagian Louisiana, AS membuat peraturan baru: melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot di bawah pinggang yang memperlihatkan (maaf) celana dalam mereka.

Peraturan itu, tulis Kantor Berita AFP Prancis pekan lalu, diterima secara bulat. Larangan ini lahir setelah warga memprotes gaya berpakaian para remaja, yang berjalan dengan celana melorot di bawah pinggang itu. Gaya tersebut, menurut Konselor Kota Alexandria, Louis Marshall, tidak sopan.

Louis Marshall, yang hidup dalam tradisi demokrasi, beruntung. Pelarangan itu sama sekali tidak menuai protes. Tidak ada aktivis yang menyatakan peraturan tersebut melanggar hak asasi manusia, antipluralisme, dan konservatif.

Bayangkan jika di Indonesia, negara yang baru saja menghirup udara demokrasi. Louis Marshall akan dikecam dan dianggap telah membunuh kebebasan individu untuk berkreasi. Keputusan pelarangan tersebut bahkan akan diejek sebagai 'campur tangan pemerintah terhadap hak pribadi warga negara'.

Ini yang terjadi di Indonesia. Pada Desember 2004, seratus hari pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kegusarannya atas tayangan televisi. Melalui Menko Kesra Alwi Shihab ketika itu, Presiden yang kuat memegang norma agama dan sosial itu meminta media televisi untuk tidak mempertontonkan pusar perempuan. "Itu sangat mengganggu," kata Presiden saat itu.

Pernyataan SBY itu baru sebatas permintaan, belum menjadi keputusan. Namun, tidak terlalu lama berbagai reaksi dari kalangan aktivis perempuan bermunculan dalam diskusi-diskusi dan tulisan di media massa. Mereka antara lain menyatakan, SBY telah melanggar prinsip demokrasi, terhadap hak asasi, dan kebebasan individu berekspresi.

Mereka menentang keras pernyataan SBY itu. Menurut mereka, apabila negara dibiarkan mengatur hak pribadi warga negara, di antaranya soal pusar tadi, maka demokrasi dan kebebasan individu untuk berkreasi, pun mati. Itu pulalah yang menjadi alasan mereka menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi. Apabila disahkan, maka RUAPP tersebut akan mengatur tubuh perempuan demi kepentingan politik konservatif.

Alexandria dan Shreveport, dua kota di negara bagian Louisiana, AS, telah memberlakukan keputusan, yang melarang remaja putra dan putri mengenakan celana melorot. Keputusan itu disambut baik warga, yang sejak lahir telah menghirup udara demokrasi. Tidak ada yang protes dan menyebutnya sebagai antikebebasan berekspresi, antipluralis, konservatif, dan pertanda matinya demokrasi.

Demokrasi, sistem yang memiliki berbagai kelemahan, sesungguhnya tidak mati hanya karena pelarangan celana yang melorot dan pelarangan memperlihatkan pusar. Pandangan yang berlebihan terhadap demokrasilah apalagi membenturkannya dengan nilai-nilai di masyarakat, nilai-nilai agama, dan menyebutnya sebagai konservatif yang memungkinkan sistem itu kehilangan esensinya.

Di Alexandria dan Shreveport, remaja-remaja tidak lagi mengenakan celana melorot. Mereka tidak merasa menjadi konservatif apalagi antidemokrasi. Di Indonesia, para remaja bebas membiarkan (maaf) celana dalamnya menyembul. Inilah yang disebut para aktivis sebagai kebebasan berekspresi. Dan, para aktivis itu sangat takut demokrasi mati hanya karena remaja menutup pusarnya.

(Asro Kamal Rokan )

Sumber : Republika Online

21 Februari 2008

MEMPERTEGAS KEMBALI; DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

Oleh : Dpl. DNP. Lathif Hakim, L.Sq., BEc.

Wacana demokrasi pada akhir-akhir ini sering dikumandangkan untuk menata ulang system pemerintahan/negara agar benar-benar terjadi reformasi total untuk kemakmuran rakyat. Walaupun istilah demokrasi sendiri mengandung berbagai penafsiran yang memicu antara pro dan kontra di kalangan cendekiawan dan negarawan. Sebagaimana seorang negarawan memahami demokrasi adalah konsep yang paling cocok untuk menata ulang system pemerintahan dengan bertujuan membebaskan system dictator dan otoriter menuju kebebasan masyarakat dalam berekspresi, berprilaku, berkumpul. Sedangkan negarawan muslim menambahkan demokrasi yang cocok bagi masyarkat muslim adalah demokrasi religius. Karena demokrasi diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya akibat faham dictator yang panjang sehingga menimbulkan gejolak yang melampui batas norma setelah dibuka kran demokrasi. Maka disinilah membutuhkan peranan etika yang mengatur kebebasan berekspresi masyarakat dengan sebuah perangkat undang-undang untuk memfasilitasi kebebasan itu.

Walaupun istilah demokrasi merupakan istilah yang klasik, akan tetapi hal ini masih dianggap mendekati kebenaran dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam istilah demokrasi yang relevan dengan kondisi sekarang adalah dengan system syura (musyawarah). Kedua system ini mempunyai persamaan dan perbedaan: konsep demokrasi bersumber dari Barat melalui pencetusnya Socrates yang berasal dari kata demos dan cratos yang berarti: Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Sedangkan system syura (musyawarah) berasal dari umat Islam yang diambil dari Al Qur'an (QS. Al Imran; 159, QS. Al-Baqarah; 233, QS. As-Syura; 38). Yang berbunyi: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38). Dari ayat ini mengandung tiga hal dalam konsep syura: Pertama, dimensi ketuhanan, yaitu dengan mematuhi undang-undang (aturan-aturan) Tuhan dan implementasinya dimisalkan dalam bentuk sholat karena sholat adalah sebagai tiang agama dan juga merupakan jalur komunikasi langsung manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah dimensi kemanusiaan, yang diimplementasikan dengan system musyawarah antar manusia. Artinya, system musyawarah adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan semua permasalahan. Maka karena PEMILU adalah gawe semua masyarakat, maka pemilihan secara langsung dari semua lapisan masyarakat adalah sesuai dengan konsep syura, karena mereka lah yang akan merasakan dari semua kebijakan pemimpinnya. Dan konsep ini yang diambil dalam negara demokrasi. Ketiga, dimensi social manusia, hal ini tercermin dalam bentuk kerja sama, saling bantu-membantu dan takaful ijtima'I yang dimisalkan zakat, sedekah dan lain sebagainya yang bertujuan pada kemakmuran rakyat baik secara mental spiritual maupun matriil, sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, karena pemberi kemakmuran ini adalah Allah maka kemakmuran ini digunakan untuk beribadah kepada Allah .

Setelah kita bandingkan dalam tataran nilai yang dikandung dalam dua konsep ini maka demokrasi konvensional hanya mengadopsi nilai yang kedua dan nilai kedua ini juga tidak diambil secara penuh dengan hati nurani kemanusiaan secara utuh yang akan berujung pada demokrasi merkantilisme istilah Pak Muslimin Nasution (demokrasi dagang sapi) yang mengusung materiilisme, maka untuk memenangkan suatu permasalahan hanya dihitung dari dimensi materialisme sehingga nilai hati nurani musyawarah dan mufakat itu dimatikan oleh segelintir matrealisme tadi, inilah yang dikatakan oleh Morena Hertz dengan istilah "The Deth Of Democrasi". sedangkan dalam Islam (syura) lebih comprehensip yang mencakup tiga dimensi; nilai ketuhanan, kemanusiaan dan social kemanusiaan dalam bentuk takaful ijtima'i.

Kemudian apakah kita memakai istilah syura atau demokrasi? Dari sini boleh saja mengambil istilah syura atau demokrasi yang penting substansi tiga dimensi itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan system demokrasi atau syura.

Dalam konteks Indonesia yang telah mengalami reformasi pada tahun 1998, maka pada waktu itu isu-isu yang yang diusung adalah tentang kebebasan karena kebebasan pada masa Orde Baru dibungkam rapat-rapat sehinnga melahirkan diktatorisme yang berkepanjangan dan hal ini juga tidak sesuai dengan Pancasila walaupun pada waktu itu mengusung Asas Tunggal Pancasila, karena "Pancasila" baik tafsir maupun implementasi dari Pancasila tidak menjiwai sila-sila yang ada dalam Sila Pancasila dan Pancasila identik dengan otoriter dan dictator. Maka secara otomatis konsep Dasar Pancasila yang sejatinya adalah sangat baik kalau ditafsirkan dengan nilai-nilai Islam akan tetapi setelah masa reformasi konsep ini kurang digemari oleh Rakyat Indonesia karena implementasi pada zaman orde baru sangat mengekang dan dictator maka menimbulkan phobia dalam masyarakat Indonesia secara luas. Maka demokrasi inilah yang tepat agar kebebasan berekpresi ini dapat dijamin dalam undang-undang, maka partai-partai pun subur dengan berbagai macam ideology dan asas dasarnya.

Maka pada kisaran tahun 1998-2009 adalah masa pembenahan dalam berdemokrasi. Dan demokrasi ini agar segera diarahkan pada rel yang benar agar tujuan reformasi ini dapat tercapai, dan jangan sampai terulang lagi seperti masa-masa orde lama dan orde baru. Maka pembenahan demokrasi yang sudah berumur 10 tahun ini, jangan sampai mengalami stagnanisasi demokrasi. Artinya harus ada pelestarian dan peningkatan demokrasi.

Maka fase peningkatan demokrasi berikutnya sesuai dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dimulai tahun 2009-2019 adalah peningkatan demokrasi untuk kemakmuran rakyat, artinya adalah bentuk demokrasi yang bertitik tolak dari tiga substansi di atas, yaitu: dimensi ketuhanan, dimensi kemanusiaan dan dimensi keadilan social, sehingga akan terwujud kemakmuran lahiriyah dan bathiniyah.

Maka dalam mewujudkan demokrasi untuk kemakmuran rakyat yang digalakkan adalah reformasi pembangunan dalam segala bidang dan semua sektor baik reformasi pembangunan SDI, Investasi SDA, Tata Pengelola Pemerintahan dan Birokrasi dan Kemajuan Modal Sosial Masyarakat. Maka reformasi pembangunan dalam segala bidang itu didasarkan pada tiga dimensi substansi demokrasi di atas dan diimplementasikan untuk kemakmuran semua lapisan masyarakat.

Maka relevan sekali kalau system ekonomi Indonesia sekarang adalah sistem ekonomi yang berkeadilan sosial, artinya keadilan sosial yang dalam konsep dan implementasinya mengamalkan kebebasan berekonomi, pemerataan, persamaan, kemudahan dan takaful sosial. Maka nilai-nilai keadilan social ini tidak akan terwujud kalau tidak mengimplementasikan subtansi tiga dimensi demokrasi di atas.

Di sisi lain untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang perlu diperhatikan (1) selain konsep keadilan social, adalah (2) konsep kemandirian dan kerja sama kolektif, (3) konsep prioritas pembangunan dan pemenuhan kebutuhan primer untuk mewujudkan konsep kecukupan ekonomi rakyat dan (4) yang terakhir adalah konsep pembiayaan pembangunan yang disaranai oleh sector keuangan dan perbankan yang berdimensi syariah.

Maka dari keempat konsep di atas dalam praktek pembangunan demokrasi di Indonesia, masih berjalan setengah-setengah yang berakhir pada "Hidup segan mati pun tak mau" maka imbasnya adalah penderitaan rakyat walaupun sudah ada perbaikan disana sini. Maka perlu mempertegas kembali Pembangunan Demokrasi di Indonesia untuk memakmurkan rakyat. Artinya kemakmuran itulah yang harus diusung yaitu dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas yang selalu berilhamkan tiga substansi demokrasi. Maka apabila empat konsep tersebut dapat diimplementasikan secara serius maka dampak yang semula penderitaan menjadi kemakmuran rakyat dengan hilangnya masyarakat dari kemiskinan dan pengangguran.

Untuk mempertegas kembali "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat" dengan mengimplementasikan empat konsep kebijakan di atas, maka mekanisme yang digulirkan adalah mereformasi system pembangunan ekonomi dengan memberdayakan semua potensi negara baik dari sisi sumber daya insaninya (SDI), memaksimalkan semua potensi SDA negara dengan investasi, Pembangunan di semua sector dan wilayah serta kemajuan asset social.

Maka karena Indonesia mempunyai kekayaan dalam SDI dan SDA, maka prioritas untuk memakmurkan rakyat ini melalui Pembangunan SDI dengan segala aspeknya dan Memberdayakan semua kekayaan SDA agar semuanya menghasilkan produktifitas dan tidak ada lahan SDA (Kekayaan bumi yang terkandung di atas dan di bawahnya) yang menganggur.

Dalam membangun sumber daya Insani yang unggul, maka aspek pertama yang harus dibangun adalah: Pertama; pada landasan Penguatan aqidah dan mental prilaku (akhlaq), Kedua; Keilmuan, Pengalaman, Ketrampilan dan Teknologi Ketiga; Penguatan Fisik melalui Gizi sehat dan Kesehatan Badan, Keempat; Kemampuan managemen yang baik dengan menghargai waktu, Kelima; Memperkuat Kesadaran Sosial dakwah individu dan masyarakat.

Contoh kongkrit dalam pesta demokrasi Indonesia dengan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 yang akan menelan anggaran yang sangat besar sampai Rp. 47,9 triliun. Merupakan tindakan pemborosan keuangan negara yang harus dihitung ulang seperti yang dikatakan oleh Pak Ginanjar Kartasasmita (baca: Media Indonesia; 3 November 2007). Karena pesta demokrasi ini, peralatan dan prasarananya masih ada dan tidak perlu dibeli kembali, cukup direparasi apabila ada yang rusak, disisi lain dalam menempatkan kepanitiaan KPU, maka apabila mereka yang telah menjadi PNS maupun Aparat TNI/POLRI dari sisi biaya gajinya harus dipangkas agar tidak terjadi overlapping dalam pembiayaan karena hal ini sebagai penugasan negara dan ditambah uang lemburan sedikit itu tidak jadi maslah, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembengkakan dana. Maka pesta demokrasi seperti ini merupakan bentuk dari kekuatan kemampuan SDI, apabila manegemennya bagus (SDI nya bagus) tidak ada korupsi dana, korupsi data, korupsi suara. Itu adalah karena bagusnya pembangunan SDI dengan kelima aspek di atas. Jadi inti dari semua keberhasilan proyek dalam semua bentuknya adalah factor manusia dengan kemampuan dalam lima aspek di atas.

Maka manusia adalah sebagai factor pertama untuk mengubah dan mereformasi dari tertindas menjadi makmur. Dan sejatinya kemiskinan masyarakat dan individu itu karena factor manusia yang tidak memaksimalkan pembangunan dalam lima aspek manusia di atas.

Dan seandainya Rakyat Indonesia unggul dalam lima aspek di atas pasti Indonesia akan maju seperti; Jepang, Swiss dan Singapura, yang mana dengan keterbatasan SDA yang ada mereka bisa mengimpor bahan mentah diolah lagi menjadi bahan industri dan mereka ekspor dengan nilai yang lebih dan mereka bisa makmur dan maju.

Renungkan apabila kemampuan SDI Indonesia seperti mereka dengan ditopang melimpahnya SDA Indonesia yang dimiliki, kita tidak perlu mengimpor, tapi kita dapat mengolah sendiri SDA kita dan menjadikannya dari bahan mentah menjadi bahan baku kemudian dimodifikasi dengan menggunakan teknologi industri yang modern untuk menjadi barang jadi dan siap dikonsumsi sendiri di dalam negeri ataupun diekspor untuk menambahkan devisa. Dari sini, pasti kita dapat mengalahkan mereka lebih dari satu langkah. Karena kita memiliki kekayaan sendiri sedangkan mereka impor dari luar negeri.

Maka inilah yang harus dicermati Pemerintah/Negara dalam rangka menegakkan "Demokrasi Untuk Kemakmuran Rakyat", maka Pembangunan Kemanusiaan dalam lima aspeknya inilah yang harus diprioritaskan dari yang lainnya. Disamping memberdayakan semua potensi kekayaan negara agar jangan sampai ada yang menganggur dari kekayaan SDA dan Aset Negara, tidak lain dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, Swt..

Sumber : ICMI

15 Februari 2008

Realita Pilkada dan Sistem Demokrasi

Oleh : Dimas Pamungkas.

Pilkada merupakan bagian dari sistem politik demokrasi yang ternyata tidak lebih dari sekedar industri politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sistem demokrasi, pemilik modal merupakan pihak yang berkuasa dan menentukan, baik dalam menentukan pemimpin maupun dalam pembuatan peraturan. Meskipun mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Fakta membuktikan, tidak sedikitnya kepala daerah yang dicalonkan harus membayar ’obligasi’ kepada para pemberi modal kampanye yang telah ikut menyukseskan terpilihnya kepada daerah tersebut. Para pemberi modal tersebut bisa dari kalangan pengusaha, tokoh politik dan kolega lainya, yang tentunya memiliki kepentingan untuk memperoleh beragam kemudahan dan fasilitas yang dapat diberikan oleh calon yang diusungnya. Sebagai imbalannya, bisa berupa proyek, izin untuk membuka bisnis ini dan itu, atau bahkan mungkin juga uang itu harus dikembalikan berikut bunga dan bonus.

Praktik pelaksanaan pilkada juga tidak jauh dari nuansa bisnis, berbagai penawaran kerjasama antar calon kepala daerah merupakan tawar menawar dengan jumlah uang yang tidak sedikit. Seorang calon gubernur untuk meminang calon wakil gubernur harus mengeluarkan dana sampai milyaran rupiah, termasuk untuk meminta suatu partai untuk mendukungnya. Jika seorang calon gubernur tidak memiliki uang kontan dalam jumlah besar, tentunya mereka akan mengandalkan janji/’obligasi’ yang akan meyakinkan para rekanan untuk mem-backup dana kampanye.

Selain itu, biasanya calon yang mampu memodali kampanye atau dekat dengan pihak-pihak yang mampu memodali kampanyelah yang akan meraih peluang lebih besar. Sejak tahun 2004, tren yang terjadi adalah para pengusaha berlomba-lomba masuk dalam kancah pertarungan pemilihan kepala daerah. Hal ini menandakan bahwa proses pencalonan kepala daerah diwarnai oleh kaum pengusaha (baca: kapitalis) yang lebih memikirkan bisnis ketimbang masyarakat.

Dengan demikian, pada tahap pencalonan saja, yang akan terjaring bukan yang ‘bermutu’, tetapi yang ‘beruang’ (punya uang), atau yang didukung kalangan yang punya modal, yang pasti punya pamrih. Dengan demikian, Pilkada tetap tidak bisa menghapus oligarki partai. Pemimpin daerah terpilih pun tidak otomatis akan menjadi pejuang kepentingan rakyat. Sangat boleh jadi, mereka malah akan menjadi pejuang kepentingan diri sendiri dan pihak yang memodalinya. ‘Penjualan’ sumber air yang sangat besar di satu kabupaten Jawa Tengah kepada sebuah perusahaan air minum terkenal yang berakibat merugikan para petani di sana yang selama puluhan tahun menikmati air yang melimpah, atau pemberian akses untuk mengeksploitasi tambang kepada pengusaha yang memodali pemilihan seperti yang terjadi di Sulawesi, sangat mungkin juga akan terjadi di seluruh daerah negeri ini.

Walhasil, Pilkadal sebenarnya hanya memberi satu kepastian, yakni mereka terpilih secara langsung. Selebihnya, tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka yang terpilih itu pasti akan lebih baik. Perbaikan sistem yang diperlukan guna memberikan solusi atas berbagai persoalan yang melilit umat bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan langsung atau tidak langsungnya kepala daerah terpilih, karena ia merupakan produk dari ideologi dan suprasistem yang diberlakukan saat ini. Oleh karena itu, belum tentu cara pemilihan kepala daerah secara langsung itu akan secara langsung pula memberikan solusi atas berbagai kesulitan yang tengah diderita oleh rakyat. Lihatlah, Presiden yang terpilih secara sangat demokratis sekalipun ternyata, begitu terpilih; ia malah memberikan tambahan kesulitan kepada rakyat dengan menaikkan harga BBM, menarik subsidi minyak tanah, dll.

Historis Demokrasi

Secara historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. Keempatnya muncul sebagai “satu paket” untuk melawan pemikiran-pemikiran lain: monarki absolut (otokrasi) dan teokrasi. Saat itu rakyat di 13 koloni Inggris di pantai timur Amerika serta Kekaisaran Prancis terbelah: yang pro raja dan gereja (dipimpin para bangsawan) dan kontra raja dan gereja (dipimpin para filosof dan kaum borjuis). Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.

Sebaliknya, pihak kedua mengeluarkan empat teori yang berlawanan. Teori sekularisme menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya liberalisme menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri. Kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, dan pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja. Adapun demokrasi menegaskan teori “kedaulatan rakyat” sebagai lawan dari teori kedaulatan Tuhan. Demokrasi menegaskan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”.

Jelaslah, demokrasi berada dalam satu kesatuan dengan ketiga pemikiran lain (sekulerisme-kapitalisme-demokrasi). Dalam realitasnya, pada negara-negara yang berubah menjadi negara demokrasi berlangsung dua proses berikut:

Pertama, dengan dipelopori para filosof, dengan sekularisme dan liberalismenya, kedaulatan rakyat berarti rakyat semakin jauh dari kedaulatan penguasa (otokrasi) dan kedaulatan gereja (teokrasi); kedaulatan rakyat berarti lawan dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa.

Kedua, dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi). Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi rakyat berpindah dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa menuju kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi ke korporatokrasi.

Kesalahan Paradigma Demokrasi

Masyarakat sering mengartikan demokrasi sebagai pemilihan penguasa. Bahkan untuk mendukung pemahaman tersebut, dunia internasional pernah memberikan penghargaan demokrasi (Democracy Award) kepada Indonesia yang diberikan oleh Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC/International Association of Political Consultant) organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi. Indonesia dinilai sebagai negara yang demokratis. Presiden IAPC Ben Goddard menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia yang telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. Hal tersebut terlihat dari kesuksesan Indonesia dalam mengawal pelaksanaan pemilu yang berlangsung sukses di berbagai daerah.

Syaikh Taqiyuddin dalam kitab Nizhomul Hukm fi Al Islam, mengungkapkan bahwa sistem demokrasi yang tampak (baca: digembar gemborkan oleh barat saat ini) bukanlah demokrasi menurut pengertian yang hakiki, melainkan kamuflase yang menipu, dimana pengertian sesungguhnya dari demokrasi adalah pengambil-alihan hak membuat hukum dari Allah SWT sebagai Asy Syari’ (baca: Sang Pembuat Hukum) kepada manusia/rakyat. Dalam demokrasi rakyat diberikan kebebasan untuk berbicara, berbuat, beragama dan berekonomi. Sehingga dalam penetapan hukum dan perundang-undangan kesempatan penetapannya diserahkan kepada rakyat dan hal ini membuat terputusnya hubungan keterikatan dengan hukum-hukum syariah Islam. Padahal Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf [12] ayat 40 :

...Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Praktek pemilihan penguasa yang diagungkan oleh pejuang demokrasi, sesungguhnya hanyalah bahagian kecil dari sistem demokrasi yang sesungguhnya. Sebab prinsip yang sesungguhnya dari demokrasi adalah menetapkan halal dan haram serta hukum perundang-undangan di tangan manusia bukan di tangan Allah SWT. Dengan demikian prinsip demokrasi ini telah mengkebiri hak Allah SWT sebagai Pembuat Hukum, dan lebih mengagungkan manusia untuk membuat hukum. Untuk satu hal ini, sungguh dosa yang sangat besar bagi siapapun yang mempertahankan demokrasi sebagai dasar kebijakan di negeri ini.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa [4] ayat 65 :

”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Melihat sistem demokrasi yang merusak ini, sudah sepantasnya umat Islam hijrah dari sistem sekular yang bobrok ini. Sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu instrumen utamanya adalah sistem kufur yang harus ditinggalkan. Hijrah secara syar‘i adalah perpindahan dari sistem kufur ke sistem Islam. Hijrah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah saw. dulu yang kemudian membawa kebangkitan umat Islam. Beliau dan umat Islam saat itu berpindah dari sistem Jahiliah di Makkah menuju sistem Islam di Madinah.

Walhasil, yang harus kita lakukan sekarang juga sama, hijrah dari sistem sekular yang Jahiliah dengan kembali menegakkan Khilafah.

Sistem Politik dalam Islam

Politik, didalam literatur arab adalah siyasah, yaitu : sasa - ya susu - siyaasatan - siyasah yang artinya urus, mengurus. Yaitu : mengurus seluruh problematika rakyat dengan solusi menurut syariah Islam. Baik itu berkenaan masalah individu maupun sosial kemasyarakatan.

Misalnya masalah orang tidak memiliki pengetahuan tentang sholat, padahal sholat itu wajib. Maka Islam memberikan solusinya tentang tata cara sholat dan mengingatkan/memberi peringatan bagi yang melalaikan sholat. Atau ketika masyarakat menjerit dengan melonjaknya kebutuhan pokok yang diakibatkan oleh naiknya BBM dan listrik, maka Islam memberikan solusi bahwa sesungguhnya memperjual - belikan sumber daya alam yang dilakukan penguasa kepada rakyatnya sendiri adalah tindakan haram.

Sehingga politik Islam didalam pemerintahan bernegara adalah bahwa penguasa berkewajiban untuk mengeluarkan rakyat dari berbagai problematika kehidupan dengan pemecahan menurut syariat Islam, bukan malah membebani hidup rakyatnya seperti sekarang ini.

Sesungguhnya dengan mendasari pemikiran dengan politik Islam, permasalahan bangsa ini bukan disebabkan karena permasalahan pemimpin semata. Melainkan lebih disebabkan karena sistem demokrasi yang sekuler – kapitalistik yang membuat kebobrokan pengelolaan negara ini sehingga berakibat pada kesengsaraan rakyat. Demokrasi yang tidak terlepas dari kapitalisme – sekulerisme ternyata tidak terbukti memberikan manfaat bagi masyarakat, melainkan merusak ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya masyarakat.

Sudah saatnya untuk menyadari bahwa Islam adalah dien, yang tidak sekedar agama yang mengatur urusan ibadah ritual saja, tetapi sekaligus agama politik yaitu yang mengurus/mengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana dicontohkan aplikasinya secara nyata oleh Rasullulah SAW dan para sahabatnya didalam Khulafa ar Rasyidin (para khalifah yang lurus mengikuti manhaj kenabian).

Sungguh tepat yang dinyatakan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhomul Islam menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Sang Penciptanya, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Hubungan manusia dengan sesama manusia meliputi hukum - hukum muammalah (baca : ipoleksosbudhankam) dan uqubat (baca : sanksi).

Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq [65] : 3)
Lantas, Bagaimana Kepemimpinan dalam Islam

Pertanyaannya adalah siapakah yang mampu menerapkan urusan untuk mengatur hubungan antar manusia dengan syariat Islam didalam kehidupan bersosial ? Apakah individu atau ormas dapat memaksakan terhadap individu atau ormas lainnya ? Jawabannya hanya satu yaitu Pemerintah Daulah Khilafah Islamiyah seperti yang dicontohkan oleh Rasul SAW dan Khulafa ar Rasyidin.

Rasulullah Saw bersabda : "Dulu Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah,para shahabat bertanya : " apakah yang engkau perintahkan kepada kami saat itu? beliau menjawab ; penuhilah bai'at yang pertama baru yang kemudiannya. dan berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggung-jawaban mereka tentang rakyat yang dibebankan urusan kepada mereka" (HR. Bukhari no.3455 dan Muslim no.1844)

Istilah ”tasusuhumul anbiya” berarti mereka diurusi urusannya oleh para nabi dilanjutkan oleh para khalifah, dan akan ada pertanggung jawaban oleh yang mengurus rakyat kepada Allah, ada hak yang mengurusi yang mesti dipenuhi oleh rakyat (muhassabah lil hukm : mengoreksi pemerintah).

Syarat-syarat Khalifah

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nazhomul Hukm fil Islam menyebutkan tujuh syarat sehingga seseorang layak menjadi khalifah, dimana syarat tersebut menjadi syarat sah untuk diangkat menjadi khalifah atau disebut sebagai syarat in’iqâd. Jika ada 1 saja kekurangan, maka akad pengangkatan khalifah menjadi tidak sah. Adapun syarat tersebut adalah :
  1. Muslim (beraqidah Islam dan memahami serta menjalankan hukum syariah Islam)
  2. Laki-laki
  3. Baligh atau dewasa,
  4. Berakal (mampu berfikir dengan cermat dalam mengkaitkan sesuatu dengan sesuatu yang lain)
  5. Adil (menempatkan sesuatu masalah sesuai dengan tuntutan syara’)
  6. Merdeka (tidak dalam tekanan/perbudakan/intervensi pihak asing)
  7. Mempunyai kemampuan (kompetensi dalam memimpin negara secara fisik dan ke-Ilmuan)
Dengan demikian sebuah negara tidak dapat dipimpin oleh seorang yang kafir, dari golongan wanita, anak kecil, tidak mampu berlaku adil (menempatkan permasalahan sesuai dengan tuntunan Islam), seseorang yang masih dalam tekanan politik/intervensi dari asing, dan minus kemampuan sebagai pemimpin baik secara fisik maupun ke-ilmuan.

Keberadaan khalifah menjadi wajib hukumnya dalam kehidupan kaum muslimin, dan keberadaan peranannya merupakan tolok ukur dilaksanakannya hukum-hukum Allah dalam kehidupan. Dengan demikian seorang Khalifah yang berkuasa atas seluruh kaum muslimin di dunia adalah merupakan jabatan ibadah atau yang sering kita sebut sebagai amanah dari Sang Penyeru Hukum dan Rasul-Nya. Khalifah merupakan amanah untuk mengurusi ummat dengan syariat dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Semoga kita masih diberi umur, sehingga kita menjumpai seorang kepala negara yang tidak mendapat gaji karena jabatannya. Dan tidak mengambil keuntungan dari kekuasaanya kecuali hanya untuk menegakkan Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia hingga Islam bersemayam di seluruh negeri-negeri di dunia. Sabdanya :

"Sungguh perkara (agama) ini akan sampai ke seluruh dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun baik di kota maupun di desa kecuali Allah akan memasukkan agama ini dengan kemuliaan yang dimuliakan atau kehinaan yang dihinakan; kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan Islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghina-dinakan kekufuran" (HR Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, ath-Thabrani, Ibn Bisyran dan Abu ‘Urubah).

Sumber : Millist Dosen

Perlawanan Siti Fadilah Supari


Oleh : Asro Kamal Rokan

Wajahnya serius membicarakan ketidakadilan negara-negara maju. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Dr Siti Fadilah Supari, satu dari sedikit warga dunia yang keras membela hak-hak negara berkembang di tengah dominasi badan resmi dunia dan negara adikuasa. Ia melawan dan berhasil.

Majalah The Economist London menempatkan Siti Fadilah sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi," tulis The Economist (10 Agustus 2006).

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika virus flu burung (Avian Influenza/AI) menelan korban di Indonesia pada 2005. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Ini tidak adil, negara-negara lemah yang terkena tidak memperoleh apa-apa. Untung saja ada bantuan dari India, Thailand, dan Australia.

Korban terus berjatuhan. Di saat itu pula, dengan alasan penentuan diagnosis, badan kesehatan dunia (WHO) melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hong Kong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Perintah itu diikuti Siti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium Litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hong Kong?

Siti Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah dibuat vaksin. Ironisnya, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin, tanpa kompensasi.

Siti Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Siti Fadilah membaca di The Straits Times Singapura, 27 Mei 2006, bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Siti Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu.
Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.

Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan: tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa November lalu, sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Prof Siti Fadilah anak bangsa yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Bangsa ini memerlukan banyak orang seperti Siti Fadilah, yang berjuang untuk keadilan, kadaulatan, dan kesetaraan. Ia inspirasi untuk bangsa yang bangkit.

Sumber : Republika Online
Baca Juga :

Slide Foto

Peta Nusantara



Keterangan :

Menggeser peta ke atas

Menggeser peta ke bawah

Menggeser peta ke kiri

Menggeser peta ke kanan

Memperbesar peta

Memperkecil peta

14 Februari 2008

"BUBLE INFORMATION" MARKETING "PTS KONGLOMERAT" SUATU BENTUK PENIPUAN BARU

Oleh : Prof.Ir. Priyo Suprobo, MS., PhD
Rektor ITS dan Tim Akreditasi PT-DIKTI
e-mail : rektor@its.ac.id

Majalah Globe Asia, sebuah majalah baru dengan positioning untuk eksekutif bisnis yang diterbitkan oleh kelompok Lippo, pada edisi Pebruari 2008 membuat pemeringkatan PTN dan PTS. Hasilnya adalah cukup mengagetkan, dimana UPH (Universitas Pelita Harapan) , yang juga dimiliki oleh kelompok Lippo, mengalahkan ranking PTN - PTN terkemuka maupun PTS-PTS terkemuka di Indonesia. Sebagai contoh, total score UPH (356) "diposisikan" mengalahkan 5 besar PTN seperti UGM (338), ITB (296), IPB (283), UNAIR (279), dan ITS(258). UPH juga "diposisikan" mengalahkan PTS terkemuka seperti TRISAKTI (263), ATMAJAYA (243), UNPAR (230), dan PETRA (151).

Sebagai seorang akreditor Perguruan Tinggi yang telah bertahun-tahun mengakreditasi kebanyakan PTN maupun PTS, termasuk pernah mengakreditasi UPH dan Perguruan Tinggi lain sebagaimana yang disebutkan diatas, maka saya merasa aneh dengan "pemosisian" ranking oleh Globe Asia tersebut. Keanehan pertama, Globe Asia menggunakan kriteria-kriteria yang meskipun "mirip"dengan lembaga pemeringkat Internasional, tetapi memberi "bobot" yang berbeda. Sebagai contoh, fasilitas kampus diberi bobot 16%, sementara kualitas staff akademik (Dosen) hanya dibobot 9%. Lebih parah lagi, kualitas riset hanya dibobot 7%. Keanehan kedua adalah sub kriteria dari fasilitas kampus misalnya tidak memasukkan kapasitas bandwidth sebagaimana standar akreditasi yang ada. Keanehan ketiga adalah sistem membandingkan yang tidak berbasis kaidah logis dasar "apple to apple" (kesederajatan).

Bila kita menilik standar akreditasi, maka ada akreditasi dalam negeri oleh DIKNAS (BAN PT), regional asia (Asia University Network, AUN), maupun sistem akreditasi pemeringkatan dunia (THES, Jiao Tong, Webbo). Akreditasi dalam negeri, regional, maupun dunia menggunakan kriteria-kriteria dan KPI (Key Performance Indicator) yang "logis secara akademis". Artinya adalah bahwa kriteria tersebut(meskipun bervariasi) adalah memang benar-benar akan menunjukkan "jaminan mutu" dari input, proses, sarana pendukung, hingga outcome produknya. Tidak ada dari kriteria dan sub kriteria yang hanya menunjukkan keunggulan "kemewahan lifestyle" sebagaimana yang ingin ditonjolkan dalam hasil Globe Asia Ranking. Demikian juga halnya dengan membandingkan antara Universitas dengan Institut yang nature kriterianya pasti berbeda, misalnya di Institut teknik manapun tidak ada yang mempunyai Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran sebagaimana sub kriteria ranking yang dibuat Globe Asia.

Dengan demikian, maka ranking yang dilakukan Globe Asia akan menjadi suatu bentuk "penipuan" informasi yang bersifat "buble" kepada publik, khususnya orang tua mahasiswa dari kalangan eksekutif sebagai target pasar majalah tersebut. Penipuan ini menjadi meluas ketika dirilis secara "tidak kritis" oleh koran Suara Pembaruan, 29 Januari 2008.

Mungkin fenomena seperti ini adalah akibat dari komersialisasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi, telah menjadi komoditas yang "empuk" untuk menaikkan status sosial pemilik hingga meraup keuntungan yang besar. Ditangan para pesulap bisnis, maka pendidikan juga dikelola dengan image "Lifestyle" (gaya hidup), bukan dengan image "Qualistyle" (gaya kualitas). Mereka menyusun ranking sesuai dengan "Strength" yang dimilikinya, sekaligus menyembunyikan "Weakness" yang seharusnya menjadi kriteria akreditasi. Akibatnya adalah bahwa segala cara akan dilakukan yang penting target meraih mahasiswa selama periode marketing setiap awal tahun (Pebruari sampai Juli) mampu dicapai dengan memuaskan.

Buble informasi yang dilakukan Globe Asia untuk menaikkan citra UPH tersebut secara langsung akan mengganggu citra beberapa PTN maupun PTS yang dikelola dengan kaidah jaminan mutu yang baik. Sebagai gambaran, sistem Webbo Rank (Juli 2007) yang merupakan sistem akreditasi dunia pada penekanan kriteria kerapihan manajemen data menempatkan PTS terkenal di kawasan Timur, yaitu Universitas Petra dalam ranking ke 49 Se Asia Tenggara, UGM dan ITB adalah ranking ke-12 dan 13. Dalam Webbo rank Juli 2007 itu tidak ada kelas ranking UPH, padahal webbo rank adalah sistem dunia yang dianggap "paling sederhana". Oleh karena itu, maka sudah saatnya pemerintah sebagai regulator bersama-sama dengan masyarakat untuk secara aktif mengawasi pola komersialisasi pendidikan yang dampaknya menggunakan cara-cara tidak "fair"dalam rangka merekrut mahasiswa. Hasil kerja dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang membuat 15 standar penilaian antara lain : tata kelola kepemimpinan, fasilitas lab, alumni, jumlah Guru Besar (tidak perlu harus expert asing), rasio Dosen dengan Mahasiswa, prestasi Mahasiswa, hingga rasio antara jumlah peminat dengan yang diterima adalah merupakan kriteria yang sangat lengkap untuk menunjukkan daya saing suatu Perguruan Tinggi. Daya saing pendidikan tinggi sebagaimana yang diamanatkan dalam konsep strategis HELTS DIKTI (Higher Education Long Term Strategy) haruslah dicapai dengan sistem penjaminan mutu yang benar, sehingga hasilnya bisa dilihat salah satunya dengan kriteria akreditasi yang logis secara akademis, bukan logis secara pendekatan bisnis.

Sumber : Mailinglist CFBE

Baca juga berita "Universitas Swasta Tembus Dominasi Negeri" (kilik disini)

09 Februari 2008

Demokrasi "BUL GOMBAL GAMBUL"

Menurut Joseph Stiglitz (Mantan Penasehat Ekonomi Presiden Clinton, Mantan Senior Vice Presiden World Bank, penerima Noble Prize 2002 Bid. Ekonomi) Barat setelah mengglobalkan nilai dan sistim ekonominya, dunia selama 3 dekade mengalami Krisek (Krisis Ekonomi) sebanyak 100 X, artinya hampir tiap tahun terjadi Krisek. Indonesia salah satu korban Krisek yang sampai saat ini masih belum "sadar" benar, masih koma. Barat yang gagal inipun masih mengglobalkan nilai dan sistim politiknya yang lazim kita sebut dengan Demokrasi.

Justru "orang dalam" sendiri yang mengkritik tentang kegagalan sistim ini, dan Indonesia telah mengalami Krisek yg belum sembuh benar, masih terus menganut, sadar atau tidak, dipaksakan atau secara suka-rela, bahkan dengan suatu kebanggaan, lagi-lagi menganut, memeluk sistim politik yang diglobalkan oleh Barat.

Apakah betul adanya sistim politik ini membawa perbaikan bagi dibanyak negara di luar barat...? Apakah barat hanya mengganggap dirinya "western uber alles, extra western nulla salus " ? atau memang sikap dunia timur yang imferior complex sehingga mengambil "bunga dan sekaligus juga duri-nya "..? Kali ini saya mengajak kita semua, utamanya para teman-teman pengurus Parpol utk merenung, berpikir, tentang apa peran kita, apakah peran kita di Partai atau partai kita sebuah pilihan yang merupakan solusi atau menambah keruwetan semata...?

Dibanyak negara sudah kita lihat biasanya demokrasi hanya menyebabkan konflik horisontal, instability (kasus terakhir adalah Kenya) dan assasinasi (kasus terakhir Benazir Bhutto). Indonesia saya kira tidak jauh dari pengalaman di banyak negara berkembang lainnya. Khusus untuk Indonesia marilah kita berhitung secara cermat, kita renungi secara mendalam.

Renungan itu begini; Selama 5 tahun Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan akbar Pemilu 1 x 3 putaran utk memilih Aleg dan Paket Presiden-Wapress. Selama 5 tahun Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada untuk pemilihan Gubernur sebanyak 33 Propinsi, selama lima tahun Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada untuk Bupati dan Walikota sebanayak kurang lebih 330 x (1 propinsi saya hitung rata 10 Kabupaten, ada terdiri dari 20 Kabupaten dan Kotif, ada yg terdiri dari 4 Kabupaten saja, kalau data ini salah tolong dikoreksi). Pertanyaannya sekarang, berapa APBN-APBD dan pendapatan asli daerah yang tersedot untuk "hura-hura" demokrasi ini...? Sudah sebegitu makmur Indonesia sehingga harus menempuh cara hura-hura demokrasi ini...? Apakah ini memang tugas konsitusional kita, yakni menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada...? Sayangnya Pemerintah selalu mengatakan amanat UUD 45 mengenai alokasi APBN 20% untuk pendidikan saja belum tercapai, lalu apakah hura-hura demokrasi ini lebih penting dari pendidikan rakyatnya...? Apakah tidak lebih baik jika dana Pemilu itu kita alihkan untuk; pemenuhan target anggaran Pendidikan 20%, memperbaiki infrastruktur kita yang hancur-hancuran, menstimulasi sektor riil agar tertanggulangi masalah pengangguran yang dari waktu ke waktu terus bertambah...? Teman-teman pengurus partai silahkan berpikir, merenung dalam-dalam, apakah anda semua bagian juga dari keruwetan ini, baik disadari atau tidak...!

Utamanya yang Partai Islam dan teman-teman semua yang beragama Islam; Bila kita shalat, Shalat Tahajud ditengah keheningan malam, anda shalat dengan bacaan yang bagus, suratnya panjang-panjang, berdo'a dengan berlinang air mata, bahkan mungkin kaki bengkak-bengkak seperti Rasullah, Haji tiap tahun, tiap minggu, tiap bulan, tiap tahun setiap ada kesempatan melakukan ibadah Umrah, tapi anda biar orang sekeliling anda lapar, bodoh, bagaimana status amalan seperti itu...? Insya Allah amalan diatas MARDUD (Tertolak). Kalau amalan seperti itu saja tertolak, bagaimana dengan Pemilu dan Pilkada, ditengah rakyat yang mengalami busung lapar, gizi buruk (bahkan dikhawatirkan anak-anak kita akan mengalami "lost generation"), makan sekuul aking, dan kesusahan hidup yang makin lama makin menghimpit dan amat berat...!

Hanya orang yang tanpa moral saja, hura-hura demokrasi dalam kedaan rakyat seperti itu.

Mungkin Indonesia lagi benar-benar sial, pemilu yang sebegitu besar pendanaannya (bocor ah...! itu sudah biasa) tidak serta merta menghasilkan pejabat negara yang baik. Hampir saja kita tidak bisa membedakan Yahya Zaini dengan bintang film porno. Ucapan RI 2 "tidak ubahnya statement seorang MUCIKARI-GERMO". Wanita disekitar daerah puncak kawin kontrak dengan pria asing, kemudian dapat uang, membangun rumah, anak-anak mereka dari perkawinan kontrak tersebut main sinetron, karena cantik dan ganteng-ganteng. Ada Bupati pilihan rakyat di suatu kabupaten di Jateng yg menjual sumber mata air kepada perusahaan air minum yang sejak dulu kala digunakan oleh masyarakat setempat.

Ini hasil demokrasi...? Ini-kah hasil perubahan dari rezim otoriter ke "demo-crazy" ini...?

Karenanya agar teman-teman saya tidak terseret lebih jauh lagi, dan ikut berdosa, tentunya akan sangat bijaksana, bila anda semua mendeklarasikan pembubaran partai anda dan melayangkan surat pembubarannya ke DPP masing-masing di Jakarta. Kepada pihak KBRI-KJRI jangan pernah terbetik sedikitpun untuk menyelenggarakan Pemilu di LN dgn membentuk PPLN.

Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, kalau tidak sadar juga, jangan salahkan orang seperti Pak Harto yg menyederhanakan sistim kepartaian dulu dibawah "moncong meriam" dan "jung bayonet", untuk menghentikan kekonyolan ini.

Indonesia-Indonesia, kau bukan hanya banjir air hujan, kau bukan hanya banjir air sungai yang meluap karena hutanmu pada gundul, tapi kaupun banjir "partai", banjir "nabi", banjir "pikiran nyeleneh dan destruktif" dengan stock koruptor yg tidak perlu diimport pun sudah surplus, mereka siap menenggelamkanmu ke dasar samudra kehancuran yang paling dalam, Aku khawatir sekali Nasibmu Indonesiaku, aku khawatir sekali, aku berharap aku tidak menyaksikan kehancuranmu, aku berharap ketika kau tenggelam ke dasar samudra kehancuran itu, semoga Allah Tuhan YME telah memanggil aku, aku tak kuasa melihat mu seperti itu, karena aku mencintaimu...! Aku yang lemah ini yang tak mampu menggerakkan moncong meriam, tak mampu menggunakan ujung bayonet untuk menghentikan semua kekonyolan ini...! (he he he..., teman-teman puitis ga' tuh...! ha ha ha)

Penulis : Unknown
Sumber :
Millist Anggota ICMI

Example : "Demo-Crazy" Pasca Pilkada :
Upacara Pelantikan Fawzi Bowo - Priyanto Diwarnai Aksi Demontasi



Aksi unjuk rasa mewarnai prosesi pelantikan Fauzi Bowo dan Prijanto sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012 yang berlangsung di gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih 18, Jakarta Pusat, Minggu, 7 Oktober 2007.

Saat acara pelantikan, sekitar pukul 16.30, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Lingkar Studi Mahasiswa (LISUMA) Jakarta mendatangi gedung DPRD untuk menyatakan sikapnya dan meminta pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk menandatangani kontrak politik. Kehadiran mereka dihadang aparat yang melakukan penjagaan ketat dengan menutup jalan.

Dalam pernyataan sikapnya, mereka menuntut Gubernur DKI Jakarta yang baru harus berani melakukan perubahan besar dalam menyelesaikan permasalahan Jakarta yang selama ini tak kunjung selesai seperti kemiskinan, pengangguran, banjir dan transportasi. Pengunjuk rasa juga menuntut, agar anggaran pendidikan sebesar 21 % direalisasikan dan menggratiskan sekolah dari mulai sekolah dasar hingga SLTA.

"Walaupun ada kebijakan sekolah gratis, jumlah anak putus sekolah akibat pungutan liar yang dilakukan oknum pihak sekolah masih marak." kata salah satu pengunjuk rasa.

Sementara itu delapan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengeluarkan pernyataan sikap yang mendesak ditundanya upacara pelantikan Fauzi Bowo-Priyanto menyusul pengakuan mantan Ketua Dewan Perwakilan daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) DKI Jakarta Agung Imam Sumanto mengenai sumbangan fiktif PDIP sebagai salah satu partai pendukung pasangan tersebut.

Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Seven Stategic Studies (SSS), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI, Center for Indonesian Regional and Urban Studies (CIRUS), Gerakan Jakarta Merdeka (GJM), dan Gerakan Masyarakat untuk Pembangunan Jakarta (Bang Jak) tersebut mendesak KPU DKI Jakarta untuk melakukan audit investigatif terhadap dana kampanye PILKADA dan mempublikasikan seluruh hasil audit pasangan calon secara rinci dan lengkap demi terpenuhinya asas transparansi dan akuntabilitas publik.

"Jika pengakuan tersebut benar adanya, bukan saja dapat menggugurkan pasangan pemenang pilkada, tetapi juga telah menodai hakikat demokrasi," ujar Jojo Rohi, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia (You Tube)

Bangsa Tanpa Kedaulatan Pangan

Oleh : Adig Suwandi,
(Praktisi Agribisnis, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)

MELESATNYA harga bahan kebutuhan pokok (basic needs) telah memaksa pemerintah mengingkari komitmen berhemat anggaran subsidi. Sebuah paket kebijakan ekonomi bertujuan menstabilkan gejolak kenaikan harga bahan pangan senilai Rp 13,2 triliun diluncurkan, termasuk di dalamnya penurunan bea masuk beras dari Rp 550 menjadi Rp 450 per kg serta pembebasan bea masuk kedelai dan terigu.

Efektifkah? Tentu saja baru dapat dicermati dalam beberapa hari mendatang, namun secara umum dapat disebut sebagai bentuk kepanikan sesaat yang berdampak kurang menguntungkan petani produsen bahan pangan yang selama ini berada pada posisi marginal. Penurunan dan bahkan pembebasan bea masuk produk pertanian primer pada saat harga internasional menggila memang dapat membantu meringankan beban konsumen, khususnya yang berasal dari kelompok miskin. Kegiatan pengolahan makanan dan minuman berbasis usaha kecil dan rumah tangga pasti sangat terbantu dengan harga produk impor yang tiba-tiba menjadi lebih murah ketika tidak dikenakan bea masuk.

Permasalahannya, apakah beleid ini mampu mendorong petani untuk lebih termotivasi dalam meningkatkan produksi tanaman budi daya melalui intensifikasi dan ekspansi areal. Harga komoditas di pasar internasional yang cukup tinggi dapat menjadi insentif bagi petani untuk lebih serius menangani usaha taninya. Keberadaan Indonesia sebagai net importer sejumlah komoditas pertanian praktis menjadikan perubahan harga sekecil apa pun pada lingkungan strategis bakal berdampak signifikan terhadap terbentuknya harga riil di pasar domestik. Tanpa disadari, petani kecil kita telah masuk perangkap liberalisasi dan globalisasi perdagangan dengan tanpa persiapan memadai.

Tragisnya, banyak di antara pemikir ekonomi dan perancang kebijakan terkecoh produk impor murah daripada harus memproduksinya sendiri, tetapi tidak berdaya saing kuat. Seolah tidak peduli liberalisasi perdagangan sendiri bukanlah jalan terbaik menuju kemaslahatan manusia sejagat. Idealisme dan praktik liberalisasi begitu kontras. Negara-negara industri maju (yang pada umumnya juga memiliki basis pertanian sangat kuat) selalu mendiktekan kemauannya agar negara-negara berkembang dan miskin mengadopsi dokrin merkantilisme ini secara mentah-mentah, sementara liberalisasi sendiri sarat kepentingan, distorsi, dan praktik-praktik tidak fair.

Negara-negara berkembang diminta membuka akses pasar lebar-benar dengan menghilangkan berbagai hambatan masuk (barrier to entry) untuk produk negara lain, baik melalui tarif maupun nontarif. Apa yang dilakukan negara-negara industri maju sebenarnya tak lebih dari upaya menjadikan negara-negara berkembang tempat pembuangan sampah bagi produk yang mereka hasilkan karena pasar sudah jenuh. Petani di negara-negara industri yang notabene tak lebih dari 3% jumlah penduduk tidak saja mendapatkan perlakuan istimewa untuk mendapatkan kredit program berbunga sangat murah, agro-inputs, dan pelayanan lain, namun juga ketika terjadi malapetaka seperti jatuhnya harga hingga terperosok jauh di bawah biaya produksi dan kegagalan panen akibat bencana alam, tak segan-segannya negara memberikan subsidi dan stimulus.

Semuanya dilakukan untuk menjaga gawang ketahanan pangan (food security) dan suasana batin petani agar tidak gamang menghadapi situasi seburuk apa pun. Mereka tahu kalau petani mogok, tidak turun ke ladang, siapa lagi yang mampu menopang ketersediaan pangan. Kondisi melindungi petani inilah yang tidak kita jumpai di Indonesia. Atas nama liberalisasi, petani diminta menata ulang usaha taninya dengan harapan daya saing produk pertanian Indonesia dapat dilepas begitu saja ke pasar global, sementara insentif sangat minimal dan sejumlah kebijakan overlapping dengan kecenderungan merugikan petani tetap saja berlanjut.

Krisis kedelai merefleksikan implementasi liberalisasi secara gegabah. Dengan harga kedelai dunia murah-meriah, anak kecil pun tahu bea masuk 10% tidak akan mampu membuat kedelai lokal bersaing. Satu-satunya pilihan bagi petani yang tidak mempunyai bargaining position ketika berhadapan dengan kekuatan mana pun hanyalah tidak lagi menanam kedelai yang memang secara relatif tidak profitable. Tidak mengherankan kalau dalam sepuluh tahun terakhir luas areal dan produksi kedelai merosot drastis. Orang baru menyesal setelah harga kedelai di pasar internasional naik hampir tiga kali lipat, yang kemudian berimplikasi kelangkaan dan kesulitan berkepanjangan bagi pengusaha tempe dan tahu.

Krisis terigu lebih fatal lagi. Gandum, bahan baku terigu, adalah tanaman yang hingga kini belum berhasil dibudidayakan di kawasan tropika seperti Indonesia. Dilema bangsa agraris makin beranak pinak. Di satu sisi, konsumsi beras telah mencapai klimaksnya setara 139 kg/kapita/tahun sehingga upaya meningkatkan produksi dengan teknologi dan pencetakan sawah baru berapa pun kontribusinya tidaklah sanggup mengejar kebutuhan. Tetapi di sisi lain, kita dihadapkan pada diversifikasi pangan berbasis impor. Keduanya sama-sama memiliki konsekuensi sosial-politik amat besar yang bila tidak dapat dipenuhi akan menjadikan bangsa ini tanpa kedaulatan pangan.

By design, peningkatan produksi beras mutlak diperlukan, tetapi tanpa pengurangan konsumsi tidak berarti banyak. Jepang dan Taiwan pernah memiliki tingkat konsumsi beras tinggi seperti Indonesia, tetapi pemerintah berhasil membujuk rakyatnya untuk tidak bergantung kepada salah satu bahan pangan. Secara teoretis, kalau konsumsi beras Indonesia dapat direduksi hingga 110 kg saja, kita sudah berkemampuan mengekspor. Demikian pula, ketergantungan secara berlebihan terhadap gandum memerlukan komitmen dan keberanian moral pemerintah untuk menguranginya. Mahalnya harga terigu tidak perlu disiasati dengan kepanikan, tetapi justru dijadikan momentum untuk melakukan reorientasi program ketahanan pangan berbasis sumber daya lahan dan agroklimat Nusantara.

Alam Indonesia menyediakan keunggulan kompetitif bagi pengembangan produk pertanian primer asalkan dikelola secara profesional dan didukung instrumen kebijakan memberdayakan. Pada masa transisi menuju liberalisasi perdagangan, ada dua kebijakan yang harus dilakukan secara simultan dan terintegrasi. Pertama, kebijakan proteksi yang melindungi petani dari dampak liberalisasi perdagangan, seperti pemberlakuan bea masuk, pembatasan impor secara ketat, impor tidak dilakukan saat panen atau stok lebih dari cukup, dan penerapan harga dasar untuk petani secara konsisten. Kedua, kebijakan promosi yang dilakukan untuk membantu petani yang berinisiatif meningkatkan produktivitas, seperti bantuan bibit, kredit program berbunga lunak, dan tersedianya agro-inpuits.

Sumber : Padang Ekspres

08 Februari 2008

Film Drama Klosal "Laksamana Cheng Ho" Hampir Rampung

Laksamana Cheng Ho alias Admiral Zheng He seorang Muslim dengan nama Haji Mahmud yang taat beribadat dan sangat menghormati agama-agama lain, tidak hanya pemimpin armada yang hebat, tetapi juga menyebarkan agama Islam. Ia melakukan kunjungan ke Asia Tenggara, Selatan, hingga ke Afrika. Jejaknya di Indonesia terlihat di Kerajaan Samudra Pasai, Aceh; Kota Palembang, Sumatra Selatan; dan Pulau Jawa

Film ini merupakan film seri, dengan jumlah 30-32 episode @ 50 menit. Cheng Ho diperankan oleh Yusril Ihza Mahendra mantan mensesneg RI melibatkan 6000 kru dari 6 negara. Silahkan dilihat previewnya :

PREVIEW EPISODE I FILM LAKSAMANA CHENG HO


Film drama kolosal Laksamana Cheng Ho ini adalah film cerita yang pertama diproduksi, setelah sebelumnya CCTV 4 China membuat film dokumenter mengenai armada Cheng Ho. Film ini dikerjakan bersama oleh Kantana Ltd, perusahaan film terkemuka Thailand, PT Jupiter Global Film dari Indonesia dan Heng Dian Movie Corporation dari China. Para aktor dan aktris film ini berasal dari Thailand, Indonesia, China, Vietnam, Kamboja dan Malaysia. Skenario film ditulis dalam enam bahasa, untuk kemudian disulihbahasakan ke berbagai bahasa di mana film kolosal ini ditayangkan. Selain ditayangkan di Indonesia, dalam waktu berdekatan, film ini juga akan ditayangkan oleh tevelisi China, Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Turki. Negara-negara Timur Tengah, kabarnya juga berminat untuk menayangkan kisah laksamana beragama Islam dari Dinasti Ming pada awal abad ke 15 ini.

Armada Cheng Ho dikenal sebagai armada laut terbesar yang pernah ada sebelum kita memasuki era modern. Armada itu terdiri atas 320 kapal, dengan 28.000 prajurit angkatan laut, dan sekitar 5000 awak kapal. Armada itu mengontrol lautan mulai dari Mogadishu di Afrika sampai ke Philipina dan Taiwan di Lautan Pasifik.

Laksamana Cheng Ho, selain berperan besar dalam membangun kejayaan Dinasti Ming, juga berperan besar dalam membangun persahabatan dan kerjasama antarabangsa di kawasan Asia dan Afrika. Armadanya aktif melerai berbagai konflik di berbagai kawasan, mengamankan alur pelayaran internasional dari ancaman bajak laut, dan membangun kerjasama pertanian, perdagangan, kebudayaan serta memberikan bantuan teknis militer dan pertahanan kepada berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Kerajaan Champa (Vietnam), Suvarnabhumi (Thailand), Melaka (Malaysia) dan Majapahit serta wilayah eks Kerajaan Sriwijaya (Indonesia).

Untuk menyaksikan preview episode pertama film Laksamana Cheng Ho, dapat menggunakan fasilitas upload video dari Youtube. Resolusi yang lebih baik dapat didownload dari link ini. Format Youtube menggunakan default format .flv sedangkan video yang pada link diatas menggunakan format .mov (Quick Time Format) yang dapat dibuka menggunakan VLC yang tersedia baik untuk sistem operasi Windows maupun Linux. Proses uploadnya memakan waktu yang agak panjang, tergantung pada kemampuan komputer masing-masing. Dengan tampilan, mungkin yang hasilnya kurang memuaskan karena terputus-putus. Tepi semuanya, sekali lagi, tergantung pada kemampuan komputer masing-masing.

Sumber : Website Yusril Ihza Mahendra

07 Februari 2008

Awas Bahaya Temasek !

Oleh : Budi Kusumah

Nama Temasek kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia usaha. Soalnya, sepak terjang BUMN milik Pemerintah Singapura ini belakanagan tampak makin agresif. Itu terlihat dari beberapa "langkah kuda" yang diayunkannya di beberapa perusahaan yang telah dikuasainya di Indonesia. Selain agresif meningkatkan kepemilikannya di bisnis telekomunikasi, perusahaan ini juga masih bernafsu memburu saham-saham perbankan.

Salah satu yang sedang ramai dibicarakan di lingkungan pasar modal adalah rencana Temasek menambah kepemilikan sahamnya di PT Indosat Tbk. Seorang analis sangat yakin bahwa rencana pemecahan saham (stock split) yang akan dilakukan Indosat adalah keinginan Singapore Technologies Telemedia Ltd. (STT). Tujuannya cuma satu, yakni agar saham ISAT menjadi lebih likuid sehingga anak perusahaan Temasek itu lebih mu-dah menambah kepemilikannya.

Bayangkan, kalau konglomerat dari Negeri Singa itu berhasil mengumpulkan tambahan saham sampai 9% saja, maka semakin kokohlah posisinya sebagai pemegang saham mayoritas Indosat. Sebab, seperti diketahui, pada Desember 2002 lalu, STT telah berhasil memborong 41,9% saham perusahaan telekomunikasi yang tengah berkembang pesat itu.

Tapi bukan hanya di Indosat, Temasek juga dipastikan bakal menjadi raja di bisnis telepon seluler Indonesia. Maklum, sebelumnya, melalui Singapore Telecommunications Limited (SingTel), grup usaha yang dipimpin menantu mantan PM Lee Kuan Yew itu telah menguasai 35% saham PT Telkomsel. Padahal, semua orang tahu, Telkomsel menjadi raja karena menguasai 54% pangsa pasar seluler. Sedangkan Indosat—melalui PT Satelindo menjabat sebagai "patih" dengan penguasaan pangsa sebesar 29%. Alhasil, kalau ditotal, 83% pasar seluler kini berada di bawah kontrol Temasek.

Kondisi ini sebenarnya sudah lama diketahui publik sehingga mengundang pro dan kontra yang cukup seru. Berbagai kalangan yang terdiri dari mahasiswa, politisi, bahkan karyawan Indosat sendiri waktu itu melakukan demonstrasi menolak penjualan tersebut. Bahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU pagi-pagi sudah mencurigai kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang bisa merugikan jutaan konsumen. "Penguasaan dominan oleh Temasek otomatis akan berakibat pada pengendalian harga dan akhirnya rakyatlah yang harus menanggung", kata Didik J. Rachbini, salah seorang anggota KPPU.

"SUMBANGAN" UNTUK RAKYAT SINGAPURA

Kekhawatiran serupa juga dikemukakan oleh mantan Ketua MPR RI Amien Rais. Tapi, entah kenapa, riuh rendahnya suara penolakan itu kini tak terdengar lagi. Padahal, kendati kerugian yang akan dialami rakyat belum terjadi, sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah merugi akibat penjualan saham Indosat. Sebab, "Tanpa perlu dijual, dalam waktu tiga tahun, Indosat sebetulnya dapat memberikan penghasilan yang sama besarnya dengan hasil penjualan saham kepada anak perusahaan Temasek", kata Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian RI.

Rizal benar. Soalnya, dalam keadaan "normal", Indosat mampu mengumpulkan laba bersih rata-rata Rp 1,5 triliun per tahun. Di tahun-tahun mendatang, diperkirakan, laba perusahaan yang memiliki aset Rp 26,7 triliun ini akan terus membesar seiring dengan pengembangan usaha seluler yang sedang dilakukannya. Dan yang paling diuntungkan adalah Temasek sebagai pemegang saham mayoritas.

Keberuntungan serupa juga diraih SingTel dari PT Telkomsel. Dari hasil usaha tahun lalu, SingTel mendapat bagian keuntungan sebesar Sin$ 128 juta atau sekitar Rp 640 miliar. Se-mentara dari tahun sebelumnya (2002) bagian yang diperoleh diperkirakan mencapai Rp 500 miliar. Melihat geliat bisnis Telkomsel yang terus berkembang dengan pesatnya, diperkirakan dana yang dikucurkan SingTel untuk membeli 35% saham Telkomsel sebesar Rp 3,19 triliun akan kembali pada awal tahun 2006. Itu sebuah proses balik modal yang cukup pendek, kendati tidak secepat di Indosat.

Dan memang, itulah yang disesalkan banyak pihak, termasuk Rizal Ramli. Ia menganggap pemerintah telah menjual secara sembarangan hanya demi mengejar setoran untuk menambal APBN. Sehingga, kalau dikalkulasi secara bisnis, penjualan yang "katanya” bisa mencapai di atas harga pasar itu malah merugikan. Sebab, masyarakat Indonesia pemakai telepon seluler "yang sebagian besar merupakan pelanggan Telkomsel” secara langsung telah memberikan "sumbangan" yang cukup besar kepada rakyat Singapura.

Bayangkan, kalau SingTel tidak memiliki saham di Telkomsel, maka perusahaan itu tidak akan mengalami pertumbuhan laba yang begitu pesat, yang di akhir 2003 kemarin tercatat naik sebesar 188% menjadi Sin$ 854 juta. Begitu pula basis pelanggan selulernya, tidak akan tumbuh sampai 37% menjadi 44 juta orang. Sebab, di kandangnya sendiri, pelanggan SingTel mengalami penurunan 1% menjadi tinggal 1,53 juta. Artinya, pertumbuhan pelanggan Telkomsel di tahun 2003 yang 60% sangat mendukung basis pendapatan SingTel.

Tapi, itu belum seberapa. Geliat lain dari raksasa Singapura ini "yang membahayakan konsumen Indonesia" diperkirakan akan datang belakangan. Tepatnya ketika anak-anak perusahaan Temasek itu memakai kekuatan posisinya sebagai pemegang saham mayoritas, untuk mengatur tarif sesuai kehendak mereka.

TEMASEK BISA MENDIKTE

Itu sebuah dampak divestasi yang benar-benar memberi kenikmatan bagi Singapura, tapi tak enak bagi konsumen Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, kejadian serupa "kelihatannya" bakal terjadi di dunia perbankan kita. Seperti diketahui, nama Temasek juga santer disebut-sebut dalam acara divestasi 51% saham pemerintah di Bank BNI: 71% saham Bank Permata dan 20% saham Bank Mandiri.

Artinya, kalau niat Temasek "yang juga disambut ekstrahangat oleh Menneg BUMN" tadi terlaksana, maka perusahaan dari Singapura itu akan muncul menjadi raja bank di Indonesia. Soalnya, saat ini, bersama Deutsche Bank, Temasek telah menguasai mayoritas saham di Bank Danamon. Selain itu, bersama Kookmin Bank Korea, Temasek juga menjadi penguasa di Bank BII. Bahkan di BII, ada rencana bahwa Temasek bakal menambah kepemilikannya dari penjualan saham pemerintah sebesar 17,6%.

Karena Itulah rencana pencaplokan berikutnya (terutama terhadap Bank BNI) kembali mendapat tentangan keras. Alasannya sebenarnya sangat sederhana: jika 51% saham BNI (yang diperkirakan bernilai Rp 5 triliun) jatuh ke tangan asing, maka pembeli tersebut akan bersorak kegirangan. Sebab, hanya dalam waktu tiga tahun, modal yang dikucurkannya akan kembali. Maklum, dalam setiap tahunnya, Bank BNI mampu mengumpulkan laba sebesar Rp 3 triliun. Dan dari jumlah itu, separuhnya atau sekitar Rp 1,5 triliun selalu disetorkan sebagai dividen kepada pemerintah.

Skenario serupa dipastikan bakal terjadi di Bank Permata dan Bank Mandiri. Di Bank Permata, misalnya, diduga kuat saham bank ini juga akan dijual murah gara-gara tersangkut kasus "cessie Bank Bali" senilai Rp 546 miliar dan lantaran tahun lalu masih merugi sebesar Rp 808 miliar lebih. Tapi, coba lihat kinerjanya sekarang: kredit bermasalahnya (NPL net) hanya 2,9%, kecukupan modal (CAR)-nya nyaris menggapai 11%. Dan kendati belum diaudit akhir tahun lalu, Bank Permata telah mencatatkan laba Rp 533,3 miliar.

Akan halnya Bank Mandiri, tak perlu diceritakan lagi, karena ini adalah bank terbesar di Tanah Air dengan keuntungan yang juga lumayan besar, kendati "seperti bank-bank hasil program rekapitalisasi lainnya" besarnya keuntungan itu banyak ditopang oleh bunga obligasi rekap.
Sayang memang kalau sampai dijual. Tapi, kata Faisal Basri, program divestasi yang dilancarkan pemerintah "sebenarnya" merupakan sesuatu yang sah dan punya nilai positif. Sebab, kata dia, privatisasi akan mendorong munculnya good corporate governance. Tapi, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati. Maksudnya, agar tercipta iklim kompetisi yang sehat, penjualan saham pemerintah mesti dilakukan secara menyebar. Toh masih banyak investor di mancanegara yang punya reputasi bagus. "Jangan Temasek saja yang diberi kesempatan, sebab nanti dia bisa mendikte harga. Itu bahayanya" kata ekonom dari Universitas Indonesia ini kepada Kartina Ika Sari dari TRUST.

MENTERI ATAU KERNET?

Mestinya, lanjut Faisal, Menneg BUMN sebagai komandan penjualan saham milik negara bertindak dengan "cerdas". Sehingga, privatisasi tidak terjerumus pada penguasaan satu sektor industri oleh segelintir orang/perusahaan. Tapi, ya itu tadi, yang terjadi malah sebaliknya. Dan yang mengherankan, setiap penjualan yang dilakukan selalu mengundang permasalahan. "Menurut saya, Kantor Menneg BUMN ini korup. Privatisasi dijadikan ajang korupsi baru", ucapnya.

Berbeda dengan di Korea. Di sana, kata Faisal, sebelum menjual, pemerintahnya berkonsultasi dengan lembaga semacam KPPU. Kemudian dikaji ulang apakah penjualan itu akan memperbaiki struktur pasar atau malah sebaliknya? "Ini akan mendapat perhatian ekstra dari KPPU. Dalam hal seluler, misalnya, akan saya lihat apakah kepemilikan asing itu bisa menimbulkan kompetisi harga yang sehat atau tidak", papar Faisal.

Pentingnya penjualan secara menyebar juga dikemukakan Rizal Ramli. Kata dia, berbahaya kalau ada segelintir pihak yang menguasai bank-bank besar. "Adanya konsentrasi kepemilikan dan manajemen akan menimbulkan kecenderungan terjadinya pelanggaran batas maksimum kredit kepada grup sendiri", tuturnya. Soalnya, lanjut Rizal, pengawasan oleh Bank Indonesia sangat tidak memadai karena banyak lubang yang bisa direkayasa untuk menabrak legal lending limit tersebut.

Apalagi, di negara-negara maju, pencegahan terjadinya pemilikan mayoritas saham bank ini merupakan hal yang biasa. Di Australia, misalnya, seseorang atau sebuah perusahaan tidak diperkenankan memiliki saham sebuah bank lebih dari 17%.

Nah, kalau bahayanya sudah jelas seperti itu, kenapa pemerintah terus ngotot melakukan aksi jual? "Dalam berbagai kasus privatisasi, sang Menteri bertindak sebagai kernet angkot yang mengejar setoran, tanpa peduli apakah negara dirugikan atau tidak" ujarnya.

Sumber : Majalah Trust

Artikel lainnya di Majalah Trust :
New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------