Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


31 Januari 2008

Paradigma Kini Menilai Soeharto

Oleh : Dipo Alam *)

Ada hal teramat penting dari penilaian yang dikemukan Mochatar Pabotinggi mengenai Soeharto dalam artikelnya di harian Kompas hari ini, Kamis, 24 Januari 2008. Dengan menggunakan kacamata “paradigma dunia kini” yang kadang terkontaminasi oleh nilai double-standard pada HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum ala adikuasa tunggal Amerika, Pabotinggi menilai Soeharto yang nyaris semuanya serba gelap bagi Republik, dan bertendensi “dendam”.

Paradigma dunia yang berlaku ketika lahirnya Republik di era Presiden Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto di era Orde Baru, tidak terlepas dari konflik perang dingin antara dua superpowers: blok Amerika Serikat dengan sekutunya, dan Uni Soviet dengan sekutunya. Di tengahnya ada negara-negara berkembang yang mencoba non-blok pada keduanya, karena multi-masalah dan multi-budaya dalam kebhinekaannya, namun tetap tidak lepas dari pengaruh kedua adikuasa. Soekarno cenderung terpengaruh oleh satu blok, dengan semakin kuatnya PKI di akhir pemerintahannya, yang kemudian pengaruh blok itu dibalik oleh Soeharto, dengan dibubarkannya PKI. Namun Soekarno dan Soeharto tetap mendapat tempat dalam kepemimpinan di Republik, dan di fora internasional.

Paradigma dunia kini yang berlaku, setelah Uni Soviet bubar, tinggallah Amerika sebagai adikuasa-tunggal. Definisi HAM, Supremasi Hukum, dan Demokrasi, yang kini menggandrungi pikiran masyarakat dunia tidak terlepas dari pengaruh ketunggalan adikuasa Amerika. Seolah dunia telah bisa menerima semua paradigma tersebut, dan panacea bagi penyelesaian multi-masalah dan multi-budaya dari kebihinekaan negara-negara berkembang.

Ketika Soeharto menyerbu Timor Timur yang dibiarkan miskin berabad oleh Portugis dan jatuhnya korban, Amerika mengaminkannya. Ketika pergolakan di Timor Timur dengan jatuhnya korban, setelah Uni Soviet bubar, maka definisi pelanggaran HAM berat berlaku bagi Indonesia. Namun pelanggaran HAM oleh serdadu Amerika dan Israel misalnya di Irak, Palestina, Afganistan dan lainnya, atas nama memerangi terorisme dan penegakkan demokrasi seolah sah. Dunia melalui PBB, nyaris tak kuasa oleh paradigma dunia kini yang dipengaruhi tunggal oleh adikuasa Amerika. Di kaki paradigma adikuasa tunggal inilah, atas nama HAM, Supremasi Hukum dan Demokrasi, mulailah pengesahannya dianggap berlaku universal, termasuk bagi negara-negara berkembang.

Namun ada contoh negara-negara yang tidak begitu saja memberlakukan paradigma dunia kini yang kadang masih terkontaminasi. Cina misalnya dalam menolak reformasi sampai terjadinya peristiwa Tiananmen yang dianggap melanggar HAM, Supremasi Hukum, dan anti-demokrasi masih diberi karpet merah oleh AS. Lee Kuan Yew yang lebih memilih nilai disiplin bagi Asia daripada demokrasi di Singapura; kemudian Mahatir di Malaysia yang menolak reformasi dan demokrasi ala Indonesia setelah Soeharto lengser, adalah negara yang memilih dan mencoba memahami nilai-nilai apa, dan masalah serta fakta apa yang berlaku di negaranya, disamping mereka juga mengindahkan paradigma yang berlaku universal secara bertahap.

Bahwa ada sisi gelap dari Soeharto selama kepresidenannya, itu tidak kita nafikkan, dan sebagian masyarakat telah mengoreksinya bertahap, bahkan lama sebelum penilaian koreksi ala Pabotinggi, yang baru merebak setelah Soeharto sudah tidak berkuasa, sakitan, dan kemudian meninggal.

Jendral AH Nasution Ketua MPR yang kritis di awal era Orde Baru; gerakkan mahasiswa yang berdemo anti Soeharto karena anti korupsi, Malari, pencalonan presiden selain Soeharto, anti litsus oleh intel, anti Kopkamtib/Laksus; berdirinya LBH dengan kepemimpinan Buyung Nasution yang kritis; serta Kelompok Petisi 50, adalah beberapa contoh tahapan bunga-rampai koreksi terhadap pemerintahan Soeharto, menuju jalan apa yang didambakan oleh Pabotinggi dan masyarakat kini.

Pabotinggi berharap, seperti para anggota MPR/DPR lainnya ketika menyusun TAP MPR No. XI/MPR/1998, seolah dengan menghukum Soeharto sendiri, masalah hukum dan keadilan di Republik kita selesai. Penulis ikut dalam sidang Komisi C MPR tahun 1998 yang menyusun TAP MPR tersebut, mengingatkan dan mengusulkan bahwa tidak saja Soeharto yang harus dihukum dengan kekhilafan dan kesalahannya dalam korupsi, tetapi juga kroni-kroni nya. Syukur usulan itu dapat diterima, karena kroni-kroni di lingkungan Presiden adalah kerap mereka yang menjerumuskan.

Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) serta eksponen Orde-Baru lainnya menuntut Paduka Yang Mulia (PYM), Panglima Tertinggi ABRI, Presiden Seumur Hidup Soekarno “diMahmilubkan” seperti PM Soebandrio di tahun 1966, Soeharto enggan melakukannya, kendati ia berkuasa penuh. Ada yang dinilainya bagi kepentingan bangsa yang lebih besar dalam proses suksesi, mungkin ini pula, yang diteruskan oleh B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sekalipun, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Barangkali sebagai Presiden mereka menyadari bukanlah manusia yang can do no wrong.

“Malu besar” dengan tidak menghukum Soekarno dan Soeharto yang disebut oleh media barat sebagai diktator?, mungkin dan boleh. Setiap bangsa dan pemimpinnya berupaya melakukan koreksi pendahulunya dengan berupaya menarik “rambut dari tepung”. Korea bisa mengadili mantan presidennya yang dianggap korup, diadili, dihukum, tapi segera diamnesti, dan tak ada pergolakkan berdarah yang hebat di masyakarakatnya. Tapi ada pula di Amerika Selatan, Afrika, Asia dan Timur Tengah, sukesesi dan koreksi dilakukan dengan kudeta, hukuman, pergolakkan berdarah dan dendam berlanjut dengan kekerasan.

Banyak yang sependapat dengan Pabotinggi dalam menilai Soeharto, tapi tidak sedikit yang tidak sependapat dengannya. Inilah indahnya kita berbeda pendapat dan berdemokrasi, hasil dari meningkatnya jumlah masyarakat yang cukup terdidik dalam proses bernegara dan berbangsa dari enam Presiden kita memimpin Indonesia, dengan kelebihan dan kekurangan mereka.

*) Penulis adalah mantanKetua Umum DMUI dan tahanan politik era Soeharto

Sumber : Mailing List Anggota ICMI

Soeharto di Kaki Republik

Oleh : Mochtar Pabottingi *)

Ada hal teramat penting yang dilanggar oleh hiruk-pikuk para pemohon maaf bagi mantan Presiden Soeharto: mereka tidak menempatkan tokoh ini dalam konteks nasion dan/atau republik kita. Mereka membela Soeharto sebagai mantan kepala negara dengan mengabaikan induk negara, yaitu nasion/republik tadi.

Secara implisit mereka menempatkan Soeharto dan ipso facto diri mereka sendiri bukan hanya di atas negara, melainkan sekaligus di atas nasion/republik kita. Selain kepongahan, pelecehan, dan kesalahkaprahan yang sungguh tak pada tempatnya, di situ juga tebersit kekerdilan. Itu jelas merupakan perilaku Orde Baru dan demi kepentingan para ”bablasan” dan/atau cetakannya.

Begitu juga mereka yang dengan enteng mengimbau agar bangsa kita segera meninggalkan dan melupakan segenap kontroversi menyangkut Soeharto dan segera beralih pada tuntutan ”pekerjaan rumah” dan ”perlombaan internasional”, di mana disebutkan kita begitu tertinggal. Mereka lupa bahwa menyelesaikan rangkaian masalah Soeharto yang sarat perkara HAM dan korupsi adalah bagian mutlak dan sentral dari pekerjaan rumah serta perlombaan internasional itu. Dengan menyatakan bahwa terus mempersoalkan masalah-masalah menyangkut Soeharto sebagai kontra-produktif, kekerdilan menjadi tiga kali lipat.

Supremasi hukum

Pertama, yang kontra-produktif bukanlah tindakan masyarakat luas mempersoalkan masalah Soeharto, melainkan tiadanya langkah nyata dan konsisten dari pemerintah sejak bergulirnya upaya reformasi hingga kini untuk paling tidak memenuhi amanat Tap MPR No XI/MPR/1998 demi menyelesaikan kasus Soeharto menurut prinsip supremasi hukum atau kesetaraan di depan hukum.

Kedua, dalam hal bernasion dan ber-republik, kita mustahil ”menutup buku” dengan ”strategi burung unta” atau dengan semata-mata mengatupkan sampul depan-belakang buku sembari berseru ”Kun faya kun!” Kolektivitas manusia bukanlah mesin yang bisa dikomando dengan sekadar pencet tombol.

Kolektivitas ini senantiasa sarat bukan hanya dengan kepentingan materiil, melainkan juga dengan rangkaian nilai, prinsip, dan cita-cita. Di situ mereka mustahil bisa diapusi. Nasion dan republik kita ditegakkan dengan pengorbanan tak terperi di atas rangkaian nilai, prinsip, dan cita-cita itu—singkatnya, di atas Pancasila. Untuk itulah jutaan pejuang dan syuhada telah menyerahkan jiwa raganya.

Ke manakah disimpan malu besar bangsa yang dulu ”menelantarkan” serta memperhinakan mantan Presiden Soekarno di saat-saat akhirnya (mungkin atas dasar komando perbudakan pada suatu negara asing pula!) dan kini ramai-ramai mikul dhuwur Soeharto bagaikan dewa suci di saat-saat yang sama? Juga ke manakah disimpan malu besar Orde Baru yang dulu tiada hentinya melafaskan Pancasila setelah menginjak-injaknya habis-habisan?

Dalam masalah Soeharto, buku baru bisa ditutup manakala pelbagai kasusnya sudah ditangani secara serius, komprehensif, dan adil menurut ukuran nasion/republik, bukan semata-mata menurut para ”bablasan Orde Baru” yang kini masih mendominasi kekuasaan. Tak selayaknya perasaan jutaan orang yang tertindas dan dizalimi sepanjang pemerintahan Soeharto disepelekan. Sebab, menurut kodratnya nasion/republik kita baru ikhlas menutup buku tersebut manakala kemultiragaman perspektif dan tuntutan keadilan atas pelbagai tragedi dan penyelewengan yang berlangsung di bawah kepemimpinan Soeharto dan, di atas semuanya, rangkaian nilai, prinsip, dan cita-cita tadi telah diindahkan sebagaimana mestinya.

Ketiga, andai kata pemerintah mampu menyelesaikan perkara-perkara Soeharto secara adil dan komprehensif, seketika itu juga harkat dan kehormatan kita sebagai nasion/republik akan terangkat luar biasa, di dalam maupun di luar negeri. Serempak akan berlaku ”efek cegah dan koreksi” (deterrent and correction effect) yang sangat luas bagi seluruh praktik pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, dan dana-dana publik yang begitu menggila sepanjang sepuluh tahun terakhir. Ingat, Munir—pahlawan hak-hak asasi manusia, penegak martabat bangsa, yang namanya begitu harum di dalam maupun di luar negeri—dibunuh secara dingin dengan impunitas justru di era upaya reformasi!

Penyelesaian berharkat seperti itu akan membuat setiap warga republik, khususnya kalangan saudara senasion kita yang beserta keluarga bergiliran atau tanpa henti ditindas dan dizalimi sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa, merasa dimanusiakan. Serempak akan berlaku jaminan nyata bahwa gairah serta energi tiap warga negara dalam menekuni rangkaian pekerjaan rumah dan perlombaan internasional itu nantinya takkan sia-sia atau direbut seenaknya oleh kekuasaan pemangsa.

Bukankah luasnya kanker korupsi serta ajeknya perlindungan lembaga-lembaga peradilan atas para pelakunya sepanjang 25 tahun terakhir telah menyebarkan apatisme serta mematikan segenap gairah kreativitas pada bangsa kita?

Pengkhianatan

Sudah selayaknya kita menyikapi tokoh Soeharto yang sarat masalah itu secara bijak dalam rangka menyantuni nasion/republik kita, yang sekaligus berarti demi kebajikan publik, jika kita ingin melangkah bersama dalam optimisme menyongsong masa depan. Sikap lebih menyantuni Soeharto daripada nasion/republik kita bukan hanya tak bisa dipertanggungjawabkan, melainkan juga mengandung semacam pengkhianatan. Soeharto harus ditempatkan di kaki nasion/republik, bukan sebaliknya. Seperti sudah disinggung, nasion/republik kita tegak di atas rangkaian nilai/prinsip/cita-cita yang luhur. Rangkaian nilai/prinsip/cita-cita luhur itulah yang mengikat kita dalam kehangatan bernasion. Rangkaian nilai/prinsip/cita-cita luhur ini pulalah yang telah dikhianati dan diinjak-injak secara masif, terutama sejak awal Orde Baru hingga sekarang.

Kita dapat memaafkan Soeharto andai kata pelanggarannya hanya bersifat kekhilafan individual sesaat. Tetapi panjangnya rangkaian pelanggaran besar di bidang HAM dan korupsi adalah sesuatu yang berlangsung puluhan tahun secara sistemik dalam ranah publik di bawah kepemimpinannya. Hingga kini pun kita sebagai publik masih terus terdera oleh dampak terusannya. Adapun tuntutan kasus perdata yang kini masih digantung terhadap Soeharto hanyalah perkecilan berkali-kali lipat dari yang patut dituntutkan kepadanya. Itu pun kini dimintakan dideponir oleh para pe-mikuldhuwur-nya. Suatu praktik pelecehan keadilan yang memang telah dikukuhkan oleh para bablasan dan/atau cetakan Orde Baru di dalam pemerintahan.

Jika tak dikoreksi secara tegas, pelecehan sistemik demikian atas tuntutan keadilan pada akhirnya akan menghancurkan sendi-sendi yang mempersatukan kita di dalam nasion dan republik.

*) Mochtar Pabottingi Guru Besar Riset Ilmu Politik LIPI

Sumber : Kompas, Kamis 24 Januari 2008

29 Januari 2008

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Oleh : Koh Young Hun *)

Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, "sikap rajin bekerja". Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, "sikap hemat", yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, "sikap self-help", yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. "Rajin pangkal pandai..." dan "sedikit bicara banyak kerja" adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa "sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri". Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.

"Ah!" pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. "Sungguh mengherankan burung garuda itu!" ujarnya kepada pemburu.

"Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!" balas sang pemburu mantap.

"Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!" bantah si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

"Betul, kan?" ujar si pemburu. "Dia bukan garuda lagi!"

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: "Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah! " Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

*) Koh Young Hun Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

Sumber : Kompas, Sabtu, 26 januari 2008
New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------