Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


23 Mei 2008

Tajuk Rakyat; Besi

BILA mengacu ke sejarah, seusai perang dunia ke-2, banyak negara yang kini menjadi negara industri, memulai membangun industri bajanya. Industri baja itu, mengolah rasis pasir besi, atau batu besi alam, menjadi blok besi masif (pig iron), yang kemudian dipergunakan bagi industri mesin, blok mesin otomotif, termasuk mesin keperluan militernya.

Indonesia sebaliknya. Bila pun kemudian negara memfasilitasi berdirinya PT Krakatau Steel, yang mereka lebur kebanyakan selama puluhan tahun hanyalah besi bekas; bekas kapal, bekas h beam, dan besi bekas lainnya dilebur ulang. Besi olahan ulang itu, jelas tidak bisa dipakai bagi kebutuhan pembuatan blok mesin, misalnya.

Sehingga ketika industri PT Perkasa Engineering, di bawah kelompok usaha Texmaco, melakukan pembuatan blok mesin mobil dan motor, mereka harus mengimpor - - ketika perusahaan itu masih berjalan - - dari Cina. Ukuran balok besi masif itu bisa semeter segi empat, dengan panjang tiga meter.

Dua pekan lalu Menteri Pertahanan, Juwono Soedarsono, menyampaikan kepada pers, bahwa pesanan panser kepada PT Pindad, yang tahun ini berjumlah 150 unit, hanya bisa dipenuhi 30 unit. Pasalnya perusahaan yang mensuplai blok mesin panser, dari Perancis, Renault, hanya mampu mengirim 30 mesin panser setahun.

Saya tak paham mengapa Renault hanya mampu mengirim 30 unit itu.

Yang pasti harga mesin panser itu bisa mencapai lebih dari Rp 5 miliar perunit. “Padahal, Perkasa bisa membuat blok mesin yang sama, dengan tak sampai seperlima, “ ujar Chairul Akbar, Staf Ahli Ekonomi dan Perdagangan Mabes TNI. Kemampuan Perkasa, membuat blok, sesungguhnya tidak diragukan. Mereka pernah membuatkan contoh untuk mesin panser TNI. Apalagi Perkasa memang memiliki lisensi Steir, Austria untuk memproduksi blok mesin dengan kapasitas 300 HP ke bawah.

Kini apa lacur, bila pun kita bisa membuat blok panser sendiri, Perkasa masih tersangkut urusan hutangnya di BPPN - - kini PT Pengelola Asset - - yang berjumlah Rp 26,5 triliun. Karena terkait ke beban hutang itu, siapapun pihak yang berminat mengembangkan Perkasa, akan berhadapan dengan beban, beban dan beban. Berhadapan dengan aturan, aturan dan aturan di kantor Menteri Keuangan, yang bila ada yang meminati mengurus agar beroperasi, sudah keburu pusing oleh prosedur macam benang kusut. Belum pula menghadapi ego pemilik lama Perkasa, keluarga Marimutu Sinivasan, yang merasa berjasa.

Padahal jika saja dilihat dari kerangka memperkuat industri yang mendukung kelengkapan alat persenjataan RI, keberadaan industri strategis, seperti di Pindad, Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan jika memang bisa - - karena kerangka nasionalisme - - Perkasa dimasukkan ke dalamnya.

Minimal untuk peralatan angkut, rancang bangun dapat dilakukan Pindad. Mesin dibuat Perkasa dan peralatan navigasi bisa disuplai LEN. Maka untuk mobilitas alat angkut, panser, bahkan tank sekalipun seyogyanya bisa dibuat oleh bangsa sendiri. Entah mengapa kemudian situasi seakan-akan membuat bangsa ini tidak punya kemampuan apa-apa. Padahal faktanya aset dan kemampuan hebat berserakan.

Sudah sejak lama saya mencurigai pembobrokan terhadap kemampuan nasional kita. PT Digantara yang sering dikritik oleh ekonom, terutama mereka yang bermashab Mafia Berkeley, dianggap memboroskan anggaran. Padahal pembelian pesawat angkut, peralatan tempur, ke luar negeri amat besar dana dihabiskan. Belum lagi “hinaan” yang sering dihadapi, seperti laku mengembargo, macam yang dipraktekkan oleh AS kepada Indonesia. Di lain sisi, PT PAL, juga sudah mampu membuat aneka kapal kebutuhan TNI AL.

Ada juga memang indikasi, alasan mengorder keluar itu berkait ke urusan kredit ekspor, unsur mark up harga yang dapat lebih besar dilakukan. Akan tetapi semangat menumbuhkan berdiri di kaki sendiri menjadi pudar, seperti yang terjadi kini.

Lihat saja urusan order 150 mesin panser ke Perancis itu. Saya menanyakan apa pasal rupanya Renalt hanya bisa mengirim 30 mesin?

Apakah hal ini juga bagian dari “permainan” memperlambat peningkatan kemampuan alutsista bangsa ini?

Padahal bisa dimaklumi bersama, bila militer sebuah negara lemah, maka negara lain dengan gampang mempermainkan negara tersebut. Saya tentu tak perlu menyebut kasus Ambalat dan seterusnya itu.

Karenanya, perlu memang ketegasan pemimpin, dalam hal ini presiden - - yang kebetulan jenderal militer - - untuk melihat persoalan keberadaan persenjataan TNI, minimal peralatan angkut TNI itu, dalam skala mengembangkan kemampuan lokal, lokal konten.

Sejak reformasi, TNI, memang seakan “diobok-obok” oleh banyak kalangan karena perlakuan pelanggaran HAM, dari beberapa personal TNI. Namun sebaliknya lemahnya kemampuan TNI, jelas akan merugikan bangsa keseluruhan.

Keadaan di luar persenjataan itu, kini ikut dikurangi “pamornya”, dengan munculnya organisasi sipil yang banyak memakai pakaian bercorak seragam militer, yang melakukan latihan-latihan fisik seperti militer, dan celakanya hanya digunakan untuk kepentingan politik sipil oleh partai-partai politik. Militer telah mereformasi diri, kalangan sipil di partai politik sebaliknya.

Apakah kemudian kita harus menganjurkan main tangan besi ke militer kembali, misalnya untuk memaksakan tumbuhnya keberpihakan kepada kemampuan industri lokal? Tentu tidak. Yang harus digugah adalah para pemimpin di atas sana.

Saya menjadi teringat ketika medio 1980-an lalu, sosok Anas Malik, bekas kolonel di Kodan V Jaya, menjadi Bupati di Pariaman, Sumatera Barat. Ia memperhatikan pantai Pariaman, umumnya dijadikan kakus panjang oleh warga. Pantai yang indah menjadi bau. Di era pemerintah daerah sebelumnya, hal itu tidak bisa dituntaskan.

Begitu Anas Malik menjabat, setiap warga yang buang hajat di pantai, ia tampar dengan tangannya sendiri. Main pukul. Hal itu menjadi isu utama di masyarakat. Namun impeknya, warga menjadi paham, bahwa laku itu merusak lingkungan. Dan Pemda pun kala itu sudah mensosialisasikan wujud MCK yang sehat. Pantai kemudian bersih. Kini sudah menjadi kawasan wisata, titik transit ke Pulau Sikuai.

Laku tangan besi itu, kiranya kini mungkin layak pula dilakukan kepada pengendara motor dan mobil di Jakarta. Motor terutama. Mereka seakan buta sering sekali menabrak lampu merah. Maka main tabok macam gaya Anas Malik almarhum, mungkin bisa menjadi solusi, karena banyak orang menjadi kian bebal saja.

Akan tetapi, jika kini TNI, harus pula memukul dulu, agar pemimpin bangsa ini terbuka pintu hatinya, bahwa memperkuat TNI, meningkatkan kemampuan industri lokal bagi pemenuhan peralatan angkut dan persenjataan TNI, misalnya, menjadi sebuah himbauan aneh, toh bangsa telah mendesak TNI mereformasi diri, masak harus tangan besi bergaya militer lagi?


JIKA Anda pergi ke kawasan pesisir selatan pantai Kolonrogo, Jogjakarta, kini, sudah mulai intensif dilakukan beberapa titik eksplorasi pasir besi. Kompas secara khusus mengangkat isu ini dalam dua tulisan panjang 11 April 2008 lalu. Usaha yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel, yang berpartner dengan perusahaan swasta PT Jogja Magasa Mining itu, dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan eksploitasinya. Konon di dalam usaha itu, terkait pula nama-nama keluarga sultan Jogya.

DPR, melalui komisi VII, yang diketuai oleh Airlangga Hartarto, sudah mendukung rencana usaha itu. Muhammad Lutfi, Kepala BKPM, pun sudah oke, berkait ke perusahaan Indo Mines, asal Australia, yang akan memproses pasir besi yang berpotensi besar itu.

Dalam dua tahun terakhir ini, memang banyak sekali pengusaha Cina,Korea dan Australia mencari konsesi pasir besi, iron ore, bahkan plantina, batubara dan bahan tambang lainnya ke Indonesia. Akan halnya pasir besi, saya tak habis pikir kini, karena empat tahun lalu pernah mengkonfirmasikan kepada Putu Suryawiryawan, Direktur yang membawahi industri logam dan mesin di Departemen Perindustrian. Ia bilang potensi pasir besi dan batu besi di Indonesia tidak layak industri.

Saya heran mengapa kemudian Cina mengimpornya dari Indonesia. Saya kemudian lebih percaya, negara tidak pernah memotivasi kegiatan ekslporasi pasir besi dan batu besi, sehingga cadangan dan sumbernya tidak dimiliki secara akurat datanya. Celakanya kini, di tengah permintaan bahan mentah tinggi dari luar negeri, khususnya Cina, Indonesia masuk menjadi negara pengekspor bahan tambang itu.

Dan anehnya kita tetap belum punya industri peleburan baja dari rasis alamnya sendiri. Itu artinya, bila ingin membuat blok mesin sendiri masih mengimpor pig iron dari Cina. Dan Cina mengimpor bahan alamnya dari Indonesia. Tak ada logika pikir yang paling aneh dari kalimat ini bukan.

Namun seaneh-anehnya logika pikir satu alinea kalimat di atas, lebih parah lagi kini, PT Krakatau Steel hendak dijual sahamnya 30% kepada asing. Dan celakannya Muhammad Lutfi, kepala BKPM, memfalitasi penjualan kepada Mittal, pengusaha keturunan India, yang memulai usaha di Surabaya, kini menjadi raja industri baja terbesar dunia itu.

Menjadi tanya buat apa PT Krakatau Steel dijual ke asing? Bukankah sebaiknya ia difasilitasi untuk melebur rasis besi dari alam? Yang kemudian berguna bagi menumbuhkan manca ragam industri blok mesin dalam negeri?

Melihat logika terbalik-balik itu kini, saya kok jadi ingat omongan kawan-kawan ABG. , katanya, Adoh Bo’ Capek Deh! Masak bila melakukan sesuatu yang mulia bagi bangsa harus bertangan besi pula?! Harus pula menaboki mereka di atas sana sampai bonyok, baru melek matanya? Kata anak saya yang mulai bisa bicara, ma cak ya cih!

Iwan Piliang

Sumber : Press Talk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------