Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


05 Januari 2009

“Sistem Presidensiil Murni”?

Oleh : A.B.Kusuma *)

Andi Malarangeng, Juru Bicara Presiden, di “diskusi publik” yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Juni 2008, menyatakan bahwa presiden Yudhoyono akan melaksanakan sistem presidensiil yang “murni” secara konsekuen. Demikian pula Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, menulis artikel dengan judul “Mengokohkan Sistem Presidensial”. Dia menyatakan bahwa kita memerlukan sistem presidensial yang kokoh dan “Amerika Serikat adalah representasi sistem presidensial murni” (sic) (Kompas,26/11/2008). Ucapan dan tulisan kedua tokoh itu memprihatinkan karena pemakaian kata “murni” itu menunjukkan bahwa mereka menganggap “sistem presidensiil” Amerika Serikat paling unggul dan layak kita tiru.



“Sistem presidensiil” tidak lebih unggul dari “sistem parlementer” sebab itu untuk memperbaiki sistem pemerintahan kita sebaiknya jangan meniru “sistem presidensiil”, apalagi “sistem presidesiil yang murni”. Sistem pemerintahan yang demokratis merupakan pilihan suatu Nation yang disesuaikan dengan budaya politiknya. Contoh, Amerika Serikat membatasi kekuasaan pemerintah dengan Federalisme. Kita menolak Federalisme, memilih Negara Kesatuan. Politisi Amerika Serikat mengikuti teori James Madison bahwa “kedaulatan” (“sovereignty”) harus dibagi secara vertikal, yaitu antara pemerintah Federal (Pusat) dan pemerintah Negara Bagian. Dan secara horizontal antara Eksekutif, Legislatif dan Judisiil. Artinya “kedaulatan” dapat berada dibanyak tempat. Para penyusun UUD 1945 mengikuti teori T.Hobbes dan Jean Bodin bahwa “kedaulatan” itu tidak dapat dibagi. “Locus of sovereignty” harus berada di satu tempat; di Indonesia di MPR, yang diberi wewenang untuk memberi keputusan “final” (“final say”).

Amerika Serikat sukses memakai “sistem presidensiil”, tetapi hal itu tidak berarti bahwa “sistem presidensiil” cocok diterapkan di semua negara. Bahkan, menurut penelitian Fred W. Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, lebih banyak pemakai “sistem parlementer” yang berhasil dari pada yang memakai sistem presidensiil. Dari 33 negara yang memakai sistem presidensiil 30 negara mengalami masalah besar, coup d’etat dsbnya. Dari 46 negara yang memakai sistem parlementer 29 “tetap berdiri”(“intact”), hanya di 13 negara terjadi “coup” (lihat Arend Lijphart, Parliamentary versus Presidential Government, 1995: 218-219); lihat juga Juan J. Linz dan Arturo Valenzuela, “The Failure of Presidential Democracy”, 1994).

“Sistem presidensiil” adalah “pemerintahan yang terbelah” (“divided government”) yang menyebabkan kemacetan (“gridlock”). Sistem presidensiil di Amerika Serikat berhasil karena punya mekanisme untuk memecahkan “gridlock” yaitu, pertama, dengan Veto; kedua: dengan “two third rule”, yaitu Veto presiden dapat dimentahkan oleh Congress bila dua pertiga anggota Congress menolaknya dan ketiga, wakil presiden dijadikan ketua Senat. Wakil presiden tidak punya suara di Senat, kecuali bila terjadi kemacetan, bila hasil pungutan suara berimbang.

Negara Dunia ketiga, yang mengadopsi “sistem presidensiil”, termasuk Indonesia, Brasil, Meksiko dan Peru mekanisme untuk mengatasi “gridlock” tidak jelas. Sebab itu sistem pemerintahan di negara Dunia Ketiga tersebut tetap bermasalah. Konstitusinya berulang kali diubah, Brazil 7 kali, Meksiko 7 kali (belum termasuk Amendemen, Konstitusi 1917 beberapa kali diamendemen), Peru 15 kali, tetapi tetap gonjang-ganjing. Untuk mempertahankan pemerintahannya, para presiden negara Amerika Latin selalu bersekongkol dengan anggota parlemen untuk menukangi interpretasi pasal-pasal Konstitusi. Akibatnya terjadi “political corruption” (“korupsi kebijakan”) yang menguntungkan golongan berduit, terjadi “tirani minoritas terhadap mayoritas”, yaitu tirani golongan Elite terhadap rakyat kecil. Di Brazil Lula da Silva sering dianggap menyogok anggota parlemen.agar kebijakannya diterima dan tetap berkuasa. Di Meksiko Lembaga kepresidenan di dicap sebagai “the six year monarchy”. Di Peru Konstitusi 1993 yang disusun pada jaman Fujimori dan dianggap demokratis, juga menimbulkan “coup d’etat” karena maraknya korupsi. Konstitusi Peru 1993 dianggap lebih demokratis dari Konstitusi 1979, padahal Lembaga Perwakilannya diubah dari Bikameral menjadi Unikameral (kebalikan dari Indonesia); kekuasaan presiden lebih besar dari di Indonesia, selain hak Veto, presiden diberi hak untuk menetapkan “a line item veto”, yaitu untuk membatalkan salah satu “item” (butir) dari “budget” (APBN). Presiden Peru juga dapat membubarkan Congress, suatu hal yang tidak mungkin diterima oleh politisi Indonesia. Pendeknya jangan meniru sistem presidensiil Amerika Latin atau Amerika Serikat. Seyogyanya kita mencari sistem pemerintahan yang merupakan campuran (“amalgamasi”) dari sistem presidensiil dan parlementer. “Sistem Sendiri” dapat kita namakan sistem “Hibrida”, karena istilah “semi-presidensiil” sudah diberi ciri Eksekutif Ganda, yaitu pemerintahan yang punya Presiden dan Perdana Menteri.

Sistem Pemerintahan Rancangan Penyusun UUD 1945

Selama ini Generasi Muda dicekoki dengan informasi yang keliru mengenai UUD 1945. Ucapan beberapa Guru Besar dan sejumlah tokoh yang mengira bahwa UUD 1945 disusun oleh orang yang “bukan ahlinya” dan menjiplak Grondwet (UUD) Belanda perlu diluruskan. Banyak tokoh yang mengira bahwa UUD 1945 didasarkan pada konsep Integralistik, padahal Supomo sudah meninggalkan staatsidee integralistik pada tanggal 11 Juli 1945 ketika dia memutuskan untuk merancang UUD 1945 berdasar Preambule yaitu Piagam Jakarta (lihat Risalah Sekneg,1995: 211-215; Kusuma,2004: 301-306). Dalam buku “Naskah Persiapan UUD 1945” yang disusun oleh Mr.M.Yamin, risalah sidang BPUPK yang menyatakan hal itu (terdiri dari 17 halaman) tidak dicantumkan secara lengkap, yang tercantum hanya singkatan yang terdiri dari 4 halaman saja. Hal itu menyebabkan Adnan Buyung Nasution, Abdul Kadir Besar, Dimyati Hartono dan tokoh lainnya mengira bahwa UUD 1945 didasarkan pada cita-negara Integralistik.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa sebagian besar anggota BPUPK dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), seperti Sukarno, Hatta, Djajadiningrat, Yamin, Radjiman, Kusumaatmadja, Supomo dan Ratulangi berotak sangat cemerlang. Contohnya adalah Supomo, yang lulus Meester in de Rechten (Master of Law) dan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Leiden hanya dalam waktu tiga tahun (1924-1927) dengan mendapat pujian tertinggi, Gajah Mada Prijs, satu-satunya Sarjana Hukum dari Indonesia yang mendapat penghargaan itu. Lazimnya, seorang sudah dianggap cemerlang bila dapat menempuh Doktor Ilmu Hukum dalam waktu lima ditambah tiga tahun.

Prof. Supomo, oleh tokoh intelektuil pada jaman Hindia Belanda, dianggap ahli Hukum Adat maupun Hukum Tatanegara, sebab itu dia yang dipilih menjadi anggota Komisi Visman yang bertugas untuk memperbaharui “UUD Hindia Belanda” (Indische Staatregeling 1925). Prof. Supomo mempelajari dan menyiapkan rancangan UUD kita sejak terbentuknya Komisi Visman (September 1940). Pada tahun 1942, Prof. Supomo, bersama Mr.A.Maramis dan Mr.Subardjo, telah merancang UUD yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang sarat dengan HAM (Yamin,1959: 763-793; Kusuma,2004: 550-578). Kemudian, pada tanggal 15 Juni 1945, bersama Prof. Djajadiningrat dan 5 orang cendekiawan lainnya menyampaikan Rancangan UUD kepada Sekretariat BPUPK. Itulah sebabnya rancangan UUD 1945 dapat diselesaikan oleh BPUPK dalam waktu 7 minggu (28 Mei – 17 Juli 1945) dan kemudian diselesaikan dalam waktu satu hari oleh PPKI.

UUD 1945 bukan jiplakan dari UUD Belanda maupun “UUD Hindia Belanda. UUD 1945 dan UUD Belanda mengandung perbedaan yang mencolok, antara lain, UUD Belanda tidak punya Preambule sedangkan Indonesia punya. Belanda adalah Monarki, Indonesia adalah Republik. Belanda tidak punya Lembaga Tertinggi, kita punya MPR. Gubernur Hindia Belanda bertanggung jawab kepada Ratu Belanda, suatu Lembaga Eksekutif dan kemudian harus bertanggung jawab kepada Lembaga Legislatif (Staten Generaal). Presiden Indonesia bertanggung jawab pada Lembaga Legislatif, yaitu MPR.

Disain UUD 1945

Di sidang BPUPK, Prof. Supomo menjelaskan mengenai perlunya membentuk “Sistem Sendiri” karena sistem yang ada kurang sesuai dengan budaya politik kita. Menurut Prof. Supomo: “Kita tidak menganut sistem Presidensiil seperti Amerika Serikat dan Filipina yang memakai Trias Politika, yaitu ada badan yang membikin undang-undang, badan yang menyelenggakan pemerintahan dan menyelenggarakan kehakiman yang dijalankan dengan segala konsekuensi. Artinya menganut perpisahan yang prinsipiil antara badan-badan penyelenggara pemerintahan (pure separation of powers, pen.). Presiden Amerika Serikat tidak mempunyai kekuasaan membikin undang-undang tetapi hanya veto, bukan orgaan undang-undang. Kita juga tidak menganut sistem Kabinet seperti di Inggris yang tidak menganut perpisahan yang prinsipiil antara badan-badan penyelenggara pemerintahan (fusion of powers, pen.). Sistem pemerintahan di Inggris dapat menimbulkan “dictatorial stelsel” bila partai pemerintah menguasai suara mutlak di parlemen. Kita perlu menyusun “Sistem Sendiri”. (Yamin,1959:339-340; Risalah Sekneg 1995:303-304; Kusuma, 2004: 388-389). Penjelasan Prof. Supomo kurang lengkap karena dia tidak menjelaskan tiga ciri pokok lain yaitu “Eksekutif Tunggal”, bahwa presiden Amerika Serikat tidak dapat menyampaikan rancangan undang-undang (“bill”) dan bahwa “kedaulatan” dapat dibagi antara pemerintah Federal dan Negara Bagian yang berarti seorang Amerika adalah warganegara di dua “states” dengan Konstitusi yang berbeda.

Para Pendiri Negara memakai istilah “Sistem Sendiri” karena pada tahun 1945, sistem “semi-presidensiil” seperti di Perancis, “semi parlementer” seperti di Portugal atau “sistem hybrid” seperti di Sri Lanka belum dikenal. “Sistem Sendiri” adalah sistem “Hibrida” yang kekuasaannya didominasi oleh Presiden (President dominant presidentialism), mirip dengan “semi-presidensialisme Perancis dan berbeda dengan “semi-presidensialisme” Portugal yang pemerintahannya didominasi oleh Parlemen.

“Sistem Sendiri” punya ciri “sistem presidensiil” yaitu: pertama, “masa jabatan presiden tertentu” (A fixed term of Office). Kedua, “Kepala Negara merangkap sebagai Kepala Pemerintahan”. Ketiga, “Presiden tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dijatuhkan oleh DPR” (sebaliknya, Presiden tidak dapat membubarkan DPR).

”Sistem Sendiri” adalah system “Hibrida” dan agak berbeda dengan “semi-presidensiil” karena ada tiga ketentuan yang sangat berbeda dengan “presidensialisme” Amerika Serikat yaitu: pertama, di Amerika Serikat, ada dua lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat (Lembaga Kepresidenan dan Lembaga Perwakilan), Di “Sistem Sendiri” hanya Lembaga Perwakilan yang dipilih langsung. Kedua, di Amerika Serikat, undang-undang dibuat oleh Congress saja. Presiden tidak boleh menyampaikan rancangan undang-undang (Bill) ke Congress, tetapi punya hak Veto. Di Indonesia, undang-undang dibuat bersama oleh Pemerintah dan DPR. Bahkan, rancangan undang-undang terutama disiapkan oleh Pemerintah, Presiden Indonesia tidak punya hak Veto Perbedaan ketiga adalah, Amerika Serikat memilih Eksekutif Tunggal, yang berakibat wakil presiden dianggap “Ban Serep” sedangkan “Sistem Sendiri” menganut Eksekutif Ganda dalam arti Wakil Presiden merupakan “Dwi Tunggal, ”bukan “Ban Serep”. Kemudian, pada jaman Revolusi, dianut Eksekutif Ganda, Presiden bertanggung jawab ke MPR dan Perdana Menteri bertanggung jawab ke DPR.

Para penyusun UUD 1945 menyadari bahwa “Sistem Sendiri” mengandung kelemahan, sebab itu di “Aturan Tambahan” dinyatakan bahwa MPR harus membuat UUD yang baru dalam waktu 6 bulan setelah terbentuknya MPR.

Tentang asas Eksekutif Tunggal

Pada waktu menyusun Konstitusi Amerika Serikat, asas Eksekutif Tunggal merupakan asas pokok. Hamilton, dalam Federalist Paper No.70, memilih Eksekutif Tunggal dengan pertimbangan bahwa bila pertanggung jawaban pemerintahan diserahkan kepada presiden saja, tidak kepada wakil presiden atau anggota Kabinet lainnya maka rakyat dapat menilai keberhasilan atau kegagalan seorang presiden dengan jelas. J.R.Davie menyatakan bahwa “When there was but one man, the public were never at a loss to fix the blame”. James Iredell menyatakan bahwa Presiden, sebagai pribadi, harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dibuat oleh rekan kerja atau bawahannya (“personally responsible for any abuse of the great trust reposed in him).

UUD 1945 tidak menegaskan apakah kita mengikuti asas Eksekutif Tunggal atau Eksekutif Ganda. Aturan Peralihan UUD 1945 pasal IV menyatakan bahwa: “Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden, dengan bantuan sebuah Komite Nasional”. Artinya, Presiden mendapat kekuasaan penuh (plein pouvoir) tanpa menyebut adanya peranan wakil presiden. Tetapi, oleh Bung Karno kata “Presiden” diinterpretasikan termasuk “wakil presiden”, menjadi Dwi Tunggal. Wakil presiden bukan “Ban Serep”. Kemudian Eksekutif Tunggal benar-benar menjadi Eksekutif Ganda, kekuasaan dibagi antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Syahrir, Amir Syarifudin dan Hatta). Dengan demikian “Sistem Sendiri” beralih ke semi-presidensiil, bukan ke parlementer.

Ciri semi-presidensiil jaman Revolusi adalah sebagai berikut: Pertama: Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh Lembaga Perwakilan (KNIP), jabatan presiden tetap, tidak diganggu gugat oleh KNIP. Kedua: Prinsip hanya satu lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat yaitu Lembaga Perwakilan. Ketiga: Presiden menguasai Angkatan Perang, sedangkan Perdana Menteri hanya memimpin Kepolisian Keempat: Lembaga Kepresidenan dapat mengambil alih kekuasaan Perdana Menteri (atau memberikan kepada wakil presiden M. Hatta) bila diperlukan. Kelima: Kepala Pemerintahan bertanggung jawab kepada KNIP, Kepala Negara bertanggung jawab kepada MPR, Keenam, Presiden dapat menunjuk kembali seorang Formatur Kabinet (Syahrir) yang telah dijatuhi “mosi tidak percaya” oleh KNIP.

Paparan menegaskan bahwa sebelum Amendemen UUD 1945, kita menganut “Sistem Sendiri”. Anggota MPR 1998-2004 tidak berhak menamakan “Sistem Sendiri” sebagai “sistem presidensiil”. Tetapi bila mereka menamakan sistem pemerintahan hasil Amendemen UUD 1945 sebagai “sistem presidensiil” tentu sah-sah saja, meskipun pada kenyataannya ada perbedaan besar antara kedua sistem itu. Rinciannya sebagai berikut:

1. Amerika Serikat memakai “pemisahan kekuasaan murni (pure separation of powers) sedangkan Indonesia memakai “pemisahan kekuasaan terbatas” (partial separation of powers). Tandanya, di Amerika Serikat undang-undang dibuat oleh satu lembaga, yaitu Congress (All legislative powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States). Presiden tidak boleh menyampaikan rancangan undang-undang (Bill), tetapi punya hak veto. Di Indonesia undang-undang dibuat bersama oleh dua lembaga, yaitu pemerintah dan DPR (pasal 5: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR dan pasal 20 yang berbunyi: “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR). Kiranya perlu dikemukakan bahwa pembuatan undang-undang melalui dua lembaga bukan hal yang “bukan-bukan”. Di Belanda juga dilakukan (Articles 81: Act of parliament shall be enacted jointly by the the Government and the States General). Demikian pula di Ecuador dan Peru (The Legislative power is vested in both the government and the Congress). Prinsip itu diterapkan sebagai cara membatasi kekuasaan pemerintah.

2. Amerika Serikat menganut Eksekutif tunggal, wakil presiden hanya Ban Serep. Bahkan FD Roosevelt tidak memberi tahukan pada wakil presiden Truman bahwa ada projek Bom Atom. Gaji wakil presiden seperdua gaji presiden.

Indonesia menganut Eksekutif Ganda. Dalam arti Presiden Yudhoyono memberi kekuasaan kepada wakil presiden demikian besarnya, baik urusan Dalam Negeri maupun urusan Luar Negeri. Di Amerika Serikat, Mexico, Brazil dan Peru urusan Luar Negeri sepenuhnya menjadi hak prerogative presiden, tetapi di Indonesia dapat diserahkan kepada wakil presiden sehingga pemerintah Finlandia dan Gerakan Aceh Merdeka memberi “Kredit” lebih besar kepada wakil presiden Yusuf Kalla.

3. Di Amerika Serikat, wakil presiden harus menjadi Ketua Senat. Wakil presiden Indonesia tidak dapat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah.

4. Di Amerika Serikat, calon presiden yang kalah “popular vote”-nya dapat menjadi presiden karena “electoral vote”-nya lebih besar.

5. Sistem presidensiil Amerika Serikat tidak menetapkan syarat bahwa seorang calon presiden harus lulusan Sekolah Lanjutan Atas (Lincoln adalah “log cabin president”). Demikian pula di Brazil (Presiden Lula da Silva tidak tamat Sekolah Dasar).

Presiden Yudhoyono seyogyanya meluruskan ucapan Andi Malarangeng. Tidak mungkin selama ini presiden Yudhoyono melaksanan “sistem presidensiil murni” secara konsekuen. Tidak mungkin Presiden bermaksud menjadikan Yusuf Kalla “Ban Serep”. Atau menempatkan Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah. Dan meskipun telah berkunjung ke Brazil dan bertemu dengan Lula da Silva yang tidak tamat Sekolah Dasar, tidak mungkin Presiden bermaksud mendesak DPR agar menghilangkan persyaratan pendidikan bagi calon presiden.

*) A.B.Kusuma, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum Tatanegara UI, Penyusun “Lahirnya UUD 1945”, 2004, FHUI; Editor Risalah Sidang BPUPKI/PPKI, 1995, Sekneg.

Sumber : Millis Anggota ICMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------