|
Menu Utama :
23 Mei 2008
Tajuk Rakyat; Besi
Indonesia sebaliknya. Bila pun kemudian negara memfasilitasi berdirinya PT Krakatau Steel, yang mereka lebur kebanyakan selama puluhan tahun hanyalah besi bekas; bekas kapal, bekas h beam, dan besi bekas lainnya dilebur ulang. Besi olahan ulang itu, jelas tidak bisa dipakai bagi kebutuhan pembuatan blok mesin, misalnya.
Sehingga ketika industri PT Perkasa Engineering, di bawah kelompok usaha Texmaco, melakukan pembuatan blok mesin mobil dan motor, mereka harus mengimpor - - ketika perusahaan itu masih berjalan - - dari Cina. Ukuran balok besi masif itu bisa semeter segi empat, dengan panjang tiga meter.
Dua pekan lalu Menteri Pertahanan, Juwono Soedarsono, menyampaikan kepada pers, bahwa pesanan panser kepada PT Pindad, yang tahun ini berjumlah 150 unit, hanya bisa dipenuhi 30 unit. Pasalnya perusahaan yang mensuplai blok mesin panser, dari Perancis, Renault, hanya mampu mengirim 30 mesin panser setahun.
Saya tak paham mengapa Renault hanya mampu mengirim 30 unit itu.
Yang pasti harga mesin panser itu bisa mencapai lebih dari Rp 5 miliar perunit. “Padahal, Perkasa bisa membuat blok mesin yang sama, dengan tak sampai seperlima, “ ujar Chairul Akbar, Staf Ahli Ekonomi dan Perdagangan Mabes TNI. Kemampuan Perkasa, membuat blok, sesungguhnya tidak diragukan. Mereka pernah membuatkan contoh untuk mesin panser TNI. Apalagi Perkasa memang memiliki lisensi Steir, Austria untuk memproduksi blok mesin dengan kapasitas 300 HP ke bawah.
Kini apa lacur, bila pun kita bisa membuat blok panser sendiri, Perkasa masih tersangkut urusan hutangnya di BPPN - - kini PT Pengelola Asset - - yang berjumlah Rp 26,5 triliun. Karena terkait ke beban hutang itu, siapapun pihak yang berminat mengembangkan Perkasa, akan berhadapan dengan beban, beban dan beban. Berhadapan dengan aturan, aturan dan aturan di kantor Menteri Keuangan, yang bila ada yang meminati mengurus agar beroperasi, sudah keburu pusing oleh prosedur macam benang kusut. Belum pula menghadapi ego pemilik lama Perkasa, keluarga Marimutu Sinivasan, yang merasa berjasa.
Padahal jika saja dilihat dari kerangka memperkuat industri yang mendukung kelengkapan alat persenjataan RI, keberadaan industri strategis, seperti di Pindad, Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan jika memang bisa - - karena kerangka nasionalisme - - Perkasa dimasukkan ke dalamnya.
Minimal untuk peralatan angkut, rancang bangun dapat dilakukan Pindad. Mesin dibuat Perkasa dan peralatan navigasi bisa disuplai LEN. Maka untuk mobilitas alat angkut, panser, bahkan tank sekalipun seyogyanya bisa dibuat oleh bangsa sendiri. Entah mengapa kemudian situasi seakan-akan membuat bangsa ini tidak punya kemampuan apa-apa. Padahal faktanya aset dan kemampuan hebat berserakan.
Sudah sejak lama saya mencurigai pembobrokan terhadap kemampuan nasional kita. PT Digantara yang sering dikritik oleh ekonom, terutama mereka yang bermashab Mafia Berkeley, dianggap memboroskan anggaran. Padahal pembelian pesawat angkut, peralatan tempur, ke luar negeri amat besar dana dihabiskan. Belum lagi “hinaan” yang sering dihadapi, seperti laku mengembargo, macam yang dipraktekkan oleh AS kepada Indonesia. Di lain sisi, PT PAL, juga sudah mampu membuat aneka kapal kebutuhan TNI AL.
Ada juga memang indikasi, alasan mengorder keluar itu berkait ke urusan kredit ekspor, unsur mark up harga yang dapat lebih besar dilakukan. Akan tetapi semangat menumbuhkan berdiri di kaki sendiri menjadi pudar, seperti yang terjadi kini.
Lihat saja urusan order 150 mesin panser ke Perancis itu. Saya menanyakan apa pasal rupanya Renalt hanya bisa mengirim 30 mesin?
Apakah hal ini juga bagian dari “permainan” memperlambat peningkatan kemampuan alutsista bangsa ini?
Padahal bisa dimaklumi bersama, bila militer sebuah negara lemah, maka negara lain dengan gampang mempermainkan negara tersebut. Saya tentu tak perlu menyebut kasus Ambalat dan seterusnya itu.
Karenanya, perlu memang ketegasan pemimpin, dalam hal ini presiden - - yang kebetulan jenderal militer - - untuk melihat persoalan keberadaan persenjataan TNI, minimal peralatan angkut TNI itu, dalam skala mengembangkan kemampuan lokal, lokal konten.
Sejak reformasi, TNI, memang seakan “diobok-obok” oleh banyak kalangan karena perlakuan pelanggaran HAM, dari beberapa personal TNI. Namun sebaliknya lemahnya kemampuan TNI, jelas akan merugikan bangsa keseluruhan.
Keadaan di luar persenjataan itu, kini ikut dikurangi “pamornya”, dengan munculnya organisasi sipil yang banyak memakai pakaian bercorak seragam militer, yang melakukan latihan-latihan fisik seperti militer, dan celakanya hanya digunakan untuk kepentingan politik sipil oleh partai-partai politik. Militer telah mereformasi diri, kalangan sipil di partai politik sebaliknya.
Apakah kemudian kita harus menganjurkan main tangan besi ke militer kembali, misalnya untuk memaksakan tumbuhnya keberpihakan kepada kemampuan industri lokal? Tentu tidak. Yang harus digugah adalah para pemimpin di atas sana.
Saya menjadi teringat ketika medio 1980-an lalu, sosok Anas Malik, bekas kolonel di Kodan V Jaya, menjadi Bupati di Pariaman, Sumatera Barat. Ia memperhatikan pantai Pariaman, umumnya dijadikan kakus panjang oleh warga. Pantai yang indah menjadi bau. Di era pemerintah daerah sebelumnya, hal itu tidak bisa dituntaskan.
Begitu Anas Malik menjabat, setiap warga yang buang hajat di pantai, ia tampar dengan tangannya sendiri. Main pukul. Hal itu menjadi isu utama di masyarakat. Namun impeknya, warga menjadi paham, bahwa laku itu merusak lingkungan. Dan Pemda pun kala itu sudah mensosialisasikan wujud MCK yang sehat. Pantai kemudian bersih. Kini sudah menjadi kawasan wisata, titik transit ke Pulau Sikuai.
Laku tangan besi itu, kiranya kini mungkin layak pula dilakukan kepada pengendara motor dan mobil di Jakarta. Motor terutama. Mereka seakan buta sering sekali menabrak lampu merah. Maka main tabok macam gaya Anas Malik almarhum, mungkin bisa menjadi solusi, karena banyak orang menjadi kian bebal saja.
Akan tetapi, jika kini TNI, harus pula memukul dulu, agar pemimpin bangsa ini terbuka pintu hatinya, bahwa memperkuat TNI, meningkatkan kemampuan industri lokal bagi pemenuhan peralatan angkut dan persenjataan TNI, misalnya, menjadi sebuah himbauan aneh, toh bangsa telah mendesak TNI mereformasi diri, masak harus tangan besi bergaya militer lagi?
JIKA Anda pergi ke kawasan pesisir selatan pantai Kolonrogo, Jogjakarta, kini, sudah mulai intensif dilakukan beberapa titik eksplorasi pasir besi. Kompas secara khusus mengangkat isu ini dalam dua tulisan panjang 11 April 2008 lalu. Usaha yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel, yang berpartner dengan perusahaan swasta PT Jogja Magasa Mining itu, dalam waktu yang tak lama lagi akan melakukan eksploitasinya. Konon di dalam usaha itu, terkait pula nama-nama keluarga sultan Jogya.
DPR, melalui komisi VII, yang diketuai oleh Airlangga Hartarto, sudah mendukung rencana usaha itu. Muhammad Lutfi, Kepala BKPM, pun sudah oke, berkait ke perusahaan Indo Mines, asal Australia, yang akan memproses pasir besi yang berpotensi besar itu.
Dalam dua tahun terakhir ini, memang banyak sekali pengusaha Cina,Korea dan Australia mencari konsesi pasir besi, iron ore, bahkan plantina, batubara dan bahan tambang lainnya ke Indonesia. Akan halnya pasir besi, saya tak habis pikir kini, karena empat tahun lalu pernah mengkonfirmasikan kepada Putu Suryawiryawan, Direktur yang membawahi industri logam dan mesin di Departemen Perindustrian. Ia bilang potensi pasir besi dan batu besi di Indonesia tidak layak industri.
Saya heran mengapa kemudian Cina mengimpornya dari Indonesia. Saya kemudian lebih percaya, negara tidak pernah memotivasi kegiatan ekslporasi pasir besi dan batu besi, sehingga cadangan dan sumbernya tidak dimiliki secara akurat datanya. Celakanya kini, di tengah permintaan bahan mentah tinggi dari luar negeri, khususnya Cina, Indonesia masuk menjadi negara pengekspor bahan tambang itu.
Dan anehnya kita tetap belum punya industri peleburan baja dari rasis alamnya sendiri. Itu artinya, bila ingin membuat blok mesin sendiri masih mengimpor pig iron dari Cina. Dan Cina mengimpor bahan alamnya dari Indonesia. Tak ada logika pikir yang paling aneh dari kalimat ini bukan.
Namun seaneh-anehnya logika pikir satu alinea kalimat di atas, lebih parah lagi kini, PT Krakatau Steel hendak dijual sahamnya 30% kepada asing. Dan celakannya Muhammad Lutfi, kepala BKPM, memfalitasi penjualan kepada Mittal, pengusaha keturunan India, yang memulai usaha di Surabaya, kini menjadi raja industri baja terbesar dunia itu.
Menjadi tanya buat apa PT Krakatau Steel dijual ke asing? Bukankah sebaiknya ia difasilitasi untuk melebur rasis besi dari alam? Yang kemudian berguna bagi menumbuhkan manca ragam industri blok mesin dalam negeri?
Melihat logika terbalik-balik itu kini, saya kok jadi ingat omongan kawan-kawan ABG. , katanya, Adoh Bo’ Capek Deh! Masak bila melakukan sesuatu yang mulia bagi bangsa harus bertangan besi pula?! Harus pula menaboki mereka di atas sana sampai bonyok, baru melek matanya? Kata anak saya yang mulai bisa bicara, ma cak ya cih!
Iwan Piliang
Sumber : Press Talk
22 Mei 2008
Kenaikan Harga BBM, Keputusan Politis dan Keputusan Saintis
Hendarto Soembadi
Profesional Perminyakan
Saat bekerja sebagai tenaga ahli asing pada operasi pengeboran minyak dan gas di Afrika, saya berbincang dengan asisten driller yang berasal dari Kongo.Ia berpengetahuan cukup luas tentang negaranya dalam aspek dunia politik. Diskusi juga dihadiri ahli geologi (geologist) yang berasal dari Inggris yang sangat mengenal logo kuda laut milik Pertamina. Ternyata logo kuda laut sudah dikenal di seluruh dunia sebagai logo milik perusahaan minyak Indonesia, tetapi sayang logo tersebut sudah tidak ada karena sudah diganti, ini aneh, kata mereka. Sebetulnya tidak aneh, hanya mereka tidak tau bahwa kita mempunyai hobi untuk berbuat aneh. Dari diskusi ini ada 4 hal yang perlu diperkenalkan ke gedung DPR – MPR Indonesia di mana para politikus berkantor, yaitu :
- Diperlukan tambahan pengetahuan para politikus dalam hal persepsi, ketertarikan dan kebutuhan pengetahuan tentang sain yang sangat penting sebagai dasar pengambilan keputusan politik.
- Perlu dikembangkan cara untuk memperluas pengetahuan sain bagi para politikus dan stafnya.
- Diperlukan sebuah organisasi bersama untuk berkumpulnya para saintis dan para politikus.
- Diperlukan buku panduan untuk para saintis-ilmuwan agar mereka dapat dengan segera mengkomunikasikan hal-hal yang bersifat saintis suatu masalah kepada para politikus.
Dari diagram tersebut terlihat betapa sulitnya bagi para saintis-ilmuwan berkomunikasi dengan para politikus dalam suatu masalah berdasar persepsi dan pendapat mereka masing-masing. Karena, harap diperhatikan bahwa sering para politikus memerlukan keputusan segera dan dalam waktu yang singkat walau tanpa atau dengan data. Politikus tidak selalu mempunyai waktu untuk menunggu para saintis-ilmuwan mengolah dan mengecek data untuk mendapat kesimpulan. Jadi salah satu kuncinya adalah para saintis-ilmuwan membuat presentasi dalam memberi informasi yang bersifat langsung kepada para politisi, untuk memberi masukan sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan politik yang benar, khususnya untuk masalah enersi.
Kasus Kenaikan Harga BBM
Pembicaraan apakah pemerintah harus menaikan dan atau tidak menaikan harga BBM dengan segala implikasinya menjadi rumit dari berbagai sudut pandang.
Dari sudut pandang para saintis-ilmuwan, aspek ekonomi dan teknologi perminyakan, harga BBM dalam negri harus naik. Karena kebutuhan BBM dalam negri lebih besar dari produksi BBM dalam negri maka pemerintah harus impor BBM dari pasar dunia yang harganya terus naik dan harus dibeli dalam mata uang US $ yang akan menguras devisa . Produksi BBM dalam negri rendah dan cenderung menurun karena saat dilakukan pemboran reservoir minyak bumi mengalami kerusakan (dalam dunia perminyakan disebut formation damage)sehingga produksinya rendah dan masa produksinya menjadi pendek. Disimpulkan pemerintah tidak mampu mengelola tambang-tambang minyak bumi yang sangat banyak yang kita miliki. Harga BBM naik, akan sangat menyusahkan rakyat dan dapat menimbulkan gejolak.
Dalam aspek politik, pemerintah tidak menaikan harga BBM dalam negri, seperti yang telah dijanjikan, dengan implikasi harus mencari pinjaman/utang baru ke negara lain untuk menutup defisit APB, yang secara semu tidak menyusahkan rakyat sehingga diharapkan tidak menimbulkan gejolak.
Keputusan apapun yang akan diambil oleh pemerintah, baik keputusan saintis maupun keputusan politis, sama-sama akan menyusahkan mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
10 Mei 2008
Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana?

Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata “subsidi BBM” itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?
Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.
Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.
Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.
Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel. Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.
Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.
Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.
Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?
Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.
PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 doll. AS)
DATA DAN ASUMSI
Produksi : 1 juta barrel per hari
70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000
Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel 1 barrel = 159 liter
Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter
PERHITUNGAN
Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun = 19,375,500,000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000,000,000
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815,000,000
Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrelPemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar = 35,316,815,000,000
Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiapliter bensin premium yang dijual, Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500
Biaya lifting, pengilangan dan transportasiUS $ 10 per barrel atau per liter :(10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630
Kelebihan uang per liter = 3,870
15 April 2008
SLANK vs DPR ~ Gosip jalanan
Pernah kah lo denger mafia judi
Katanya banyak uang suap polisi
Tentara jadi pengawal pribadi
Apa lo tau mafia narkoba
Keluar masuk jadi bandar di penjara
Terhukum mati tapi bisa ditunda
Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini
Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara
Apa bener ada mafia pemilu
Entah gaptek apa manipulasi data
Ujungnya beli suara rakyat
Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
Pernahkah gak denger teriakan Allahu Akbar
Pake peci tapi kelakuan barbar
Ngerusakin bar orang ditampar-tampar
13 April 2008
Swastanisasi Negara
(Dosen STT Jakarta)

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan membuat transaksi perdagangan berlangsung menurut standar global. Dengan terbukanya pasar, batas-batas negara-bangsa menjadi nisbi dan negara-bangsa memudar. Diam-diam kedaulatan negara berkembang/miskin digerogoti. Dengan membonceng institusi-institusi keuangan global, kapitalis global mampu memengaruhi kebijakan ekonomi negara berkembang.
Kelemahan negara itu juga dimanfaatkan kapitalis lokal dalam persekutuan dengan kapitalis global. Negara menyerahkan stabilitas komoditas strategis ke tangan importir besar yang dengan leluasa melepas dan menahan ke pasar sesuai dengan kalkulasi keuntungan sebesar-besarnya. Meski swasta bagian dari bangsa, negara-bangsa tersandera kepentingan swasta yang berorientasi profit. Swastanisasi negara berlangsung secara substil di balik proses demokratis (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).
Mitos pasar
Doktrin pasar bebas adalah deregulasi sesempurna mungkin dan regulasi seminimal mungkin (laissez-faire). Dosa besar mencampuri proses pasar. Dalam keyakinan fundamentalisme pasar, begitu kompetisi dan efisiensi terjamin, konsumen akan diuntungkan. Pasar dengan sendirinya akan mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial.
Keyakinan itu ternyata berlebihan. Pasar tidak otomatis efisiensi. Kompetisi bebas tidak otomatis harga turun. Ada kartel di antara para pengusaha yang membuat pasar tidak bebas dan tidak kompetitif. Ditambah informasi asimetris, pasar terdistorsi. Tangan tak terlihat masih kurang panjang untuk menyelamatkan rakyat dari petaka ekonomi. Deregulasi gagal meningkatkan pendapatan masyarakat bawah. Rakyat kecil bermimpi menggapai keadilan sosial.
Tingkat pengangguran meningkat. Tahun 2007, ada 409.890 sarjana Indonesia menganggur dibandingkan dengan 183.629 orang tahun 2006. Kesenjangan ekonomi melebar. Si kaya kian kaya. Si miskin kian miskin. Yang di tengah berjuang untuk tidak terjerembab ke dalam kemiskinan.
Dalam ungkapan Joseph E Stiglitz, globalisasi ekonomi seperti pedang bermata dua, salah satu matanya lebih tajam bagi negara berkembang. Pasar uang dan modal Indonesia amat bergantung pada hot money. Namun, keuntungan yang dihasilkan ketika masuk lebih kecil ketimbang kerugiannya ketika uang itu tiba-tiba keluar.
Pemerintah negara berkembang terpaksa mengikuti perkembangan harga pasar, tidak jarang mencabut subsidi, membuat rakyat menderita. Itulah yang terjadi di Myanmar saat harga BBM naik hingga 500 persen meski negeri itu tertutup. Negara maju mengampanyekan deregulasi untuk negara berkembang sebab akhirnya merekalah yang lebih memetik keuntungan.
Kelemahan dan celah hukum negara berkembang dimanfaatkan kapitalis global. Negara lemah terpaksa menerima produk impor negara kuat yang memproteksi produknya dengan subsidi dan hambatan tarif agar produk impor negara berkembang kehilangan daya saing.
Dalam kemitraan dengan perusahaan transnasional, negara berkembang membayar ongkos dan risiko lebih besar. Lingkungan rusak. Proses pemiskinan rakyat miskin terjadi di area pertambangan yang hasilnya dinikmati perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menderita karena lingkungan yang rusak.
Memperkuat negara
Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara dan membenarkan Darwinisme sosial.
Desentralisasi yang maunya mendekatkan pemerintah dengan rakyat dibuat tidak efektif sebab globalisasi berhasil menjauhkan pemerintah dari rakyat. Kedua kekuatan yang saling bertentangan itu terjadi bersamaan. Namun, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.
Beberapa negara di Asia Timur tidak terpuruk di era globalisasi karena memberi prioritas kepada rakyat kecil untuk kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan. Daripada mengemis kepada swasta untuk ikut menstabilkan harga di dalam negeri, pemerintah berperan aktif dalam redistribusi pendapatan nasional. Keseimbangan peran antara pemerintah dan swasta harus selalu diupayakan. Tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi wajah sosial kepada kapital swasta.
Untuk itu, negara harus kuat, bukan dalam kategori sosialis-totaliter atau demokrasi pasar bebas, melainkan karena berwibawa. Kewibawaan negara kerap diremehkan karena inkonsistensi dalam penegakan hukum. Korupsi jelas menggerogoti wibawa negara. Rakyat dan dunia sering bertanya mengapa presiden yang relatif bersih dari korupsi tidak membuat gebrakan dalam pemberantasan korupsi.
Setelah pemerintah di jalur konsistensi dan memiliki wibawa, giliran pemerintah ikut membangun kultur bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak semata-mata mengejar keuntungan. Stiglitz membandingkan CEO di negerinya dan di Jepang (Alpine Schadenfreude and the US Economy, The Jakarta Post 5/2).
Ketika dilanda krisis, CEO di AS menikmati bonus berlimpah sebagai hak pribadi. Komisaris korporasi enggan memecat CEO-nya lantaran besarnya bonus dan uang pisah. Di Jepang, CEO bank besar akan minta maaf kepada pegawainya dan negara. Ia menolak pensiun dan bonusnya agar jumlah uang yang besar itu dinikmati mereka yang menderita akibat kegagalan korporasi. Lalu, ia mengundurkan diri.
Lihat betapa parah krisis ekonomi di AS dalam 20 tahun terakhir setelah krisis simpan pinjam (1989) dan Enron/WorldCom (2002). Dunia harus membayar mahal untuk mitos perdagangan bebas yang selama ini menjadi mantra global. Diversifikasi dalam manajemen risiko tidak mampu meredam kerugian ketika risiko-risiko itu saling terkait. Dunia terseret ke dalam resesi global.
Akhirnya, fundamental suatu negara tergantung dari moralitas dalam bisnis, moralitas penegak hukum dan penyelenggara negara, serta moralitas negara itu sendiri.
Sumber : Kompas, 13 April 2008
Negara Gagal ?
(Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas Indonesia)
Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.
Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?
Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.
Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.
Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan sebelum permasalahannya diakui.
Inefisien
Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya, inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?
Apakah negara gagal? Apakah ”negara” itu: apakah pemerintah saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan peradilan. Apakah makna ”gagal”: bukankah tidak terjadi kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi pengunjung?
Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk. Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.
Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau menjatuhkan.
Keriuhan arena publik
Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian? Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD. Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.
Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua, dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan merusak moralitas ekonomi bangsa.
Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat hubungan baru (eksklusivisme), profesionalisme yang tidak berkembang, dan sebagainya.
Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur. Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).
Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.
Sumber : Kompas, Kamis 3 Maret 2008
05 April 2008
25 Maret 2008
250 Perusahaan Langgar Amdal, Bapelda Segera Turunkan Tim
Ini tersebar di berbagai kabupaten dan kota di Sumbar,” ungkap Kepala Bappedalda Sumbar Harmensyah kepada Padang Ekspres, kemarin. Meski tidak menyebutkan nama perusahaan atau institusi, Harmensyah mengatakan, 250 usaha yang melanggar tersebut umumnya bergerak di sektor perkebunan, industri sawit dan karet, pertambangan, makanan dan rumah sakit. Untuk mengatasi permasalahan yang bisa mengancam ekosistem dan masyarakat sekitarnya itu, kata Harmensyah, saat ini Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi sudah mengeluarkan Pergub Nomor 2 tahun 2008 tentang Dokumen Pengelolaan Pemantauan Lingkungan. Dengan Pergub tersebut, Gubernur bisa melakukan upaya paksa dengan mencabut izin yang diberikan instansi terkait di kabupaten dan kota terhadap perusahaan yang melanggar.
”Kita sudah menyurati 250 perusahaan mereka untuk segera mengurus dan memperbaiki dokumen yang mereka miliki. Jika tidak diindahkan, kita akan turunkan tim gabungan yang beranggotakan unsur kejaksaan, kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), untuk melakukan verfikasi terhadap perusahaan tersebut,” tandas Harmensyah. Sementara itu, saat menjadi pembicara pada sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Pangeran Beach Hotel Padang, kemarin, Harmensyah mengungkapkan saat ini yang perlu diteliti adalah kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Sebab, kawasan ini sangat merugikan masyarakat yang berada di kawasan hilir DAS. ”Masyarakat di sana menjerit karena kualitas air Batanghari sudah sangat tercemar zat berbahaya dan tidak layak lagi dikonsumsi untuk sumber penghidupan mereka,” tegasnya.
Pimpinan instansi yang menerbitkan izin di kabupaten dan kota juga dinilainya kurang memiliki komitmen dalam menegakkan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup. ”Jika tidak begitu, mana mungkin ada usaha yang sudah beroperasi tapi tidak memiliki Amdal,” tandas mantan Wakil Kepala Dinas PSDA Sumbar ini. Selama ini, banyak yang berpikiran bahwa aspek yang dikaji hanya udara, air dan tanah, padahal aspek sosial, ekonomi, adat istiadat dan masyarakat sekitar juga menjadi kajian sangat mendasar dan penting. Terbukti, katanya terjadinya gejolak di tengah masyarakat yang menolak beroperasinya usaha pada suatu daerah di Padangpariaman baru-baru ini, pun tidak terlepas dari masalah itu.
Merusak Lingkungan
Hal senada dilontarkan Pengamat Lingkungan, Irsyad Agus. Ia mengatakan, dari hasil evaluasi Kementerian Negara Lingkungan dan Bapedalda Sumbar ditemukan masih banyak kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, tetapi tidak memiliki dokumen lingkungan. Hal ini terjadi, lantaran lemahnya komitmen pimpinan daerah dalam menegakkan aturan lingkungan ini, bahkan terkesan mengabaikan proses penilaian kelayakan lingkungan itu. Umumnya daerah masih mementingkan PAD dari kegiatan tersebut. Lemahnya komitmen akan menjadi boomerang terhadap iklim dunia yang akan mengalami pemanasan global (global warming). Namun pelanggaran tersebut diharapkan terminimalisir, karena saat ini telah keluar Pergub Sumbar No 2 tahun 2008.
Pasal 2 Bab II di Pergub ini mewajibkan kegiatan yang telah beroperasi maupun belum untuk menyusun dokumen pengelolaan pemantauan lingkungan (DPPL). Jika tidak, Gubernur dapat melakukan paksaan kepada institusi penerbit izin untuk mencabut izin usaha bersangkutan. Mengingat global warming yang mengancam kehidupan manusia, Harmensyah meminta secara tegas agar pemda melakukan pengkajian kelayakan lingkungan terlebih dahulu atas usaha yang berdampak terhadap lingkungan. ”Saya minta pemda jangan mengeluarkan izin usaha dahulu, sebelum ada pengkajian lingkungan terhadap usaha yang akan didirikan,” ujarnya.
Bapedalda di kabupaten/kota, katanya harus meningkatkan koordinasi dan proaktif untuk menyatakan harus dan pengkajian terlebih dahulu. ”Jika walikota/bupatinya tidak paham, Bapedalda harus menyatakan usaha itu mesti dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Jangan didiamkan saja, karena Bapedaldalah yang mengetahui keharusan pengkajian tersebut,” tandasnya.
Sumber : Padang Ekspress, 25/03/08
24 Maret 2008
16 Maret 2008
FIKIH POLITIK KONTEMPORER; MENUJU TATANAN KEHIDUPAN YANG ADIL, DAMAI DAN SEJAHTERA
A. Mukadimah
Dalam era kontemporer perpolitikan umat membutuhkan upaya-upaya pembaruan dalam semua konsep dan prilaku berpolitik, agar istilah politik secara paradigma mengandung istilah kekhilafahan secara substantive bagi para pelaku politik praktis. Oleh karena itu agar istilah politik mengandung substansi kekhilafahan umat maka sudah sangat wajib untuk menambah istilah politik menjadi fikih politik. Karena dengan istilah fikih politik, otomatis nilai politik menjadi lebih ber-etika dan lebih sesuai dengan koridor syar’i tidak hanya dalam tataran konsep tapi yang lebih penting adalah dapat diamalkan oleh pelaku politik praktis. Maka untuk memperbaharui pemahaman politik menuju fikih politik maka dibutuhkan pembaruan konsep politik dengan wasilah reorentasi politik praktis yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan dalih agar cara berpolitik dan wasilah-wasilah yang dipergunakannya tidak terlepas dari koridor Al-Qur’an dan Sunnah dan inilah yang disebut dengan “Ta’shilu al-Fiqhi as-Siyasi” (Orisinilitas Fikih Politik).
Maka dalam upaya konsep politik dan berpolitik praktis nilai standar yang dijadikan ukuran adalah Al-Qur’an dan Sunnah bukan kepentingan dan kemaslahatan pribadi untuk mengeruk kepentingan duniawi. Dengan demikian reorentasi politik adalah meruju’ pada Al-Qur’an dan Sunnah yang berorentasi akhirat. Sehingga dalam tataran politik praktis usaha yang dilakukan tidak hanya untuk mencapai kursi kekuasaan, akan tetapi bagaimana dengan kekuasaan dapat mencapai tujuan kemajuan pembangunan dunia dan akhirat umat, yaitu: tentunya dengan cara-cara yang benar sesuai dengan koridor syariah sebagai ladang amal untuk hari akhirat, dan inilah yang disebut dengan “Ta’shilu al-Fiqhi lit-Tanmiyah as-Siyasiyah” (Orisinilitas Fikih Pembangunan Politik).
Maka landasan amal Orisinilitas Pembangunan Fikih Politik adalah ikhlas, jiddiyah (serius), itqan (optimal), musyawarah, keadilan, ukhuwah (persaudaraan) syar’i dan sinergis menuju cita-cita pembangunan politik yang berkeadilan, damai, aman dan sejahtera lahir dan batin yang rahmatan li al-alamin. Inilah yang disebut dengan tujuan emas Pembangunan Fikih Politik dalam memberikan kontribusi kemajuan peradaban umat di dunia.
Maka dalam hal ini bahasan fikih pembangunan politik meliputi konsep politik dan berpolitik sejarah penetrasi politik dalam konsep kekhilafahan, fikih Pemilihan Umum dan tujuan politik dan berpolitik praktis, secara tafsilnya akan kita bahas secara terperinci sebagai berikut:
B. Konsep Politik dan Berpolitik Praktis
Untuk memahami konsep politik yang benar dalam bingkai negara yang berkeadilan maka akan lebih baik meruju’ secara dasar yang kita kenal dengan istilah ta’shilu al-fiqhi as-siyasi (orisinilitas fikih politik) agar media dan piranti untuk berpolitik praktis sesuai dengan koridor syar’i yang bertujuan untuk membangun basis manusia dalam dua dimensi dunia dan akhirat, maka tidak lain yang akan kita bahas dalam hal ini meliputi: konsep politik secara esoteris dan eksoteris, konsep politik dalam Al Qur’an, konsep politik dalam Sunnah Nabawiyah, dan konsep politik dalam pemikiran fikih kontemporer, yaitu sebagai berikut:
B.a. Konsep Politik Secara Esoteris dan Eksoteris:
Politik dalam bahasa Arab secara esoteris disebut dengan: “Sâsa-Yasusu-siyasatan [1]” yang berarti: Menguasai, mengendalikan, mengatur dan memperbaiki. Sedangkan secara eksoteris fukaha’ adalah: Memperbaiki masalah-masalah yang dihadapi rakyat dan mengatur perkata-perkara mereka [2]. Dari definisi ini terdapat dua makna dalam istiah politik menurut ulama salaf (qudami): Pertama; Makna umum adalah; mengatur permasalahan manusia dan urusan mereka dengan syariat-syariat agama, dan dalam hal inilah mereka mendefinisikan khilafah adalah mengganti Rasul, saw. dalam menjaga agama dan menyiasati dunia. Kedua; Makna khusus adalah; apa yang menjadi pendapat pemimpin atau dia mengeluarkan hukum-hukum dan keputusan-keputusan untuk menolak kerusakan atau menjaga kerusakan atau memberikan solusi dalam problematika-problematika yang terjadi dalam masyarakat [3].
B.b. Konsep Politik Dalam Al Qur’an:
Dalam Al-Qur’an secara esoteris politik tidak pernah disebut dalam ayat-ayatnya, akan tetapi secara substantive istilah politik disebut dalam Al-Qur’an dengan khalifah[4], khalaif[5], khulafa’[6] dan mustakhlafin[7]. Dalam hal ini kita dapat mengambil salah satu permisalan QS. Al-Baqarah; 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau". Tuhanberfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. 2:30).
Dari ayat-ayat di atas, para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjadikan manusia di bumi ini untuk menjadikan khalifah, artinya adalah untuk mengatur bumi ini baik untuk mengatur alamnya maupun untuk mengatur sesama umat manusia[8]. Dalam konteks khalifah dalam bahasa sekarang bisa disebut dengan politik, karena dua kata khalifah dan politik semestinya mengandung substansi yang sama akan tetapi karena dua kata ini mengalami distorsi penerapan konsep maka istilah khalifah yang notabenenya cendrung menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat, sedangkan istilah politik dalam penerapannya hanya mementingkan masalah dunia saja. Maka agar dapat memperbarui paradigma metodologi berfikir politik substansi dari kekhilafahan agar dimasukkan adalam substansi yang ada dalam berfikir politik. Maka substansi kekhalifahan yang bisa dimasukkan dalam substansi cara berfikir politik adalah[9]: pertama: Membangun dan memakmurkan, sebagaimana QS. Hud; 61: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)". (QS. 11:61). Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memberikan perintah kepada manusia untuk membangun bumi. Dalam ayat di atas adanya huruf sin dan ta’ menunjukkan perintah dan perintah dari Allah ini menunjukkan kewajiban[10]. Jadi perintah untuk membangun bumi merupakan kewajiban bagi manusia baik hal itu dalam konteks membangun alamnya maupun membangun hubungan sesama manusia.
Kedua; substansi mencegah kerusakan di bumi. Hal ini sebagaimana dijelaskan QS. Al-Baqarah; 205, QS. Al-Maidah; 64, QS. QS. Al-A’raf; 56, 85, QS. Hud; 116. kita lihat QS. Al-A’raf; 56, yang mengatakan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. 7:56). Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak memperbolehkan kepada manusia untuk berbuat kerusakan, dan larangan ini adalah bentuk perintah larangan yang menunjukkan haram apabila dilanggar sebagaimana dalam kaidah al-ashlu fi an-Nahyi yadullu ala al-hurmah (Hukum asal dalam larangan menunjukkan keharaman apabila dilakukan). Dengan demikian merusak bumi dan merusak hubungan sesama manusia dalam agama jelas dilarang (diharamkan), maka dalam konteks ini cara berfikir politik yang benar adalah apabila sebuah agenda politik dalam realita lapangan merusak hubungan vertical (hubungan manusia kepada Allah) dan hubungan horizontal (hubungan sesama manusia) dan hubungan dengan alam, maka hukumnya tidak boleh. Dan hal itu sudah keluar dari substansi garis politik yang benar.
Jadi kesimpulannya: berpikir politik yang benar adalah apabila dalam berpolitik praktis agenda yang diusung adalah mencakup dua substansi politik, yaitu: politik yang membangun hubungan manusia dengan Allah (mematuhi perintah-Nya), Membangun hubungan manusia sesama manusia dan membangun manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Sedangkan substansi yang kedua adalah jangan sampai berpolitik itu merusak hubungan manusia dengan Allah (menjauhi larangan-Nya), hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dengan kata lain berpolitik yang benar adalah politik yang berorentasi pada bingkai maqashid syariah (tujuan syariah) untuk menjaga agama, menjaga, jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, menjaga harta benda, menjaga keamanan masyarakat dan negara dan menjaga lingkungan sekitarnya.
B.c. Konsep Politik Dalam Sunnah Nabawiyah.
Dalam bahasa Sunnah istilah politik pernah diungkapkan dalam hadis Nabi, saw. “Mereka orang Bani Israel telah berpolitik bersama nabi-nabi mereka[11]”. Artinya: adalah mereka telah mengatur permasalahan mereka[12]. Dari sisi lain bahwa Nabi Muhammad adalah figure terbaik dalam berpolitik yang pantas dijadikan teladan bagi para politikus kontemporer sekarang ini. Substansi politik dalam arti kekhilafahan telah Rasul amalkan dalam kehidupan nyata, sebagaimana beliau telah mendasari politiknya dengan ketaqwaan kepada Allah, swt. kita lihat piagam madinah[13] yang telah menyatukan semua umat untuk saling hormat-menghormati dalam hal yang benar dan mendakwahkan ke jalan yang baik dari jalan yang salah. Beliaulah khalifah sejati dalam bahasa Al-Qur’an dan Politikus teladan dalam bahasa sekarang dengan mendakwahkan dirinya dengan al-amir bi al-makruf wa an-nahi an al-munkar.
Maka dalam konteks politik secara umum dan kekhilafahan secara khusus banyak hadis yang mnejelaskan tentang hal itu sebagaimana Hadis Nabi, saw. yang mengatakan: “Anda sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan laki-laki adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, dan perempuan adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya dan anda sekalian adalah pemimpin setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi). Dan hal ini juga diperjelas dengan hadis Nabi, saw. yang mengatakan: “Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah telah menugaskan kamu menjadi khalifah di dalamnya, maka lihatlah apa yang anda sekalian perbuat”[14]. Maka sungguh Allah telah mewajibkan kepada manusia ketika Allah menempatkan di bumi agar mereka mena’ati perintahnya dan meninggalkan larangannya dan agar mereka tidak menyembah kecuali kepadanya dan agar mereka tidak takut selain Allah”[15].
Dari hadis-hadis ini menunjukkan bahwa kekhalifahan disini berbentuk pada gerakan politik baik personal, masyarakat maupun umat, sehingga sumber-sumber ini menentukan kaidah-kaidah dalam pergerakan politik. Maka kaidah-kaidah yang mendasari gerakan politik ini adalah: kepemilikan mutlak hanyalah Allah, penghambaan manusia hanya kepada Allah, komitmen terhadap ketentuan-ketentu syariah dan adanya evaluasi atas dosa dan pahala yang telah ia lakukan dalam gerakan politik[16].
B.d. Konsep Politik Dalam Pemikiran Fikih Kontemporer
Dalam pemikiran politik banyak pakar yang mendefinisikan masalah politik. Maka dalam hal ini Ibnu Khaldun membedakan antara politik syar’i dengan politik sipil. Sedangkan politik sipil adalah sebuah politik untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini Maqarizi berpendapat bahwa politik adalah sebuah produk hukum untuk mengatur tatanan syariah dan tatanan politik. Yang dimaksud dengan syariah adalah semua yang disyariatkan Allah dari agama seperti perintah shalat, puasa, haji, dan semua amalan kebaikan. Sedangkan politik merupakan perbuatan manusia[17]. Sedangkan politik (siyasah) adalah; undang-undang tematis untuk menjaga adab dan maslahah serta keteraturan etika.
Dalam sejarah istilah politik terjadi penetrasi istilah yang dimulai ketika Mamalik memerintah –dan mereka berasal dari bangsa Tartar- terjadi peminjaman – yang pertama kali dalam sejarah peradaban Islam – sebagai undang-undang yang tidak islami dan mereka datang untuk menyaingi syari’ah Islam, walaupun dalam tempat yang terbatas yaitu; daerah “pengadilan militer” sebagai kelas penguasa dan militer dan “perkantoran kekuasaan” –institusi-institusi kekuasaan- dalam sejarah itu, ketika pemerintahan syari’ah dan islamisasi pembangunan menjaga peradilan umat, institusi-institusi dan dimensi-dimensi kehidupan lainnya[18].
Itulah awal dari terobosan terhadap pemerintahan syari’ah Islam dalam sejarah peradaban kita, ketika Mamalik menjadikan “yasah” Jengis Khan (562 – 624 H = 1167 – 1227 M) yaitu; kumpulan undang-undang –yang bercampur di dalamnya teologi paganisme dengan Kristen dan dengan Islam- sebagai undang-undang untuk pengadilan militer dan perkantoran kekuasaan. Dengan berjalannya waktu, masyarakat menyelewengkan ucapan kata “yasah” menjadi “siyasah” (politik). Maka dalam realita kita sekarang “siyasah” menjadi “siyasah ghairu syar’iyah” (politik yang tidak syar’I), yaitu; pengadilan militer dan kekuasaan. Sedangkan “siyasah syar’iyah” (politik syari’ah) tercermin pada pemerintahan syari’ah Islam atas umat dan institusi-institusi pembangunan di dalamnya.
Maka peristiwa itulah sebagai awal mula terobosan yaitu terobosan undang-undang konvensional untuk menghakimi syari’ah Islam kita dan islamisasi pembangunan kita. Maka hal inilah merupakan zona penerobosan yang dikabarkan kepada kita oleh sejarahwan pada masa itu Taqiuddin al-Muqrizy (769-845 H = 1365 – 1441 M) maka dia mengatakan: ketika berkata tentang substansi istilah “as-siyasah” sebagai berikut: “Saya tahu bahwa manusia di masa saya, bahkan sejak masa negara Turky –[Mamalik]- pada negara Mesir dan Syam, mereka berpendapat bahwa hukum-hukum itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Hukum Syar’I dan Hukum politik (siyasah)[19].
Maka sejak abad-10 itulah (masa al-Farabi) sampai abad 14 (Ibnu Khaldun) Ibnu Khaldun mengelompokkan jenis gerakan politik dalam tiga bentuk: Pertama: Al-Mulk at-Tabi’I (raja yang mengikuti keinginannya) adalah bentuk pergerakan politik yang bertujuan untuk melampiaskan keinginan duniawi (syahwat dunia). Kedua: Al-Mulk as-Siyasi (Raja politik), yaitu: bentuk gerakan politik yang bersandarkan akal saja untuk kemaslahatan dunia saja, dan menolak kerusakan. Ketiga: al-Khilafah, mengatur semua permasalahan dunia dan akhirat, sebagai bekal menuju kehidupan akhirat dengan kata lain: “Menjaga kemaslahatan agama dan menyiasati permasalahan dunia[20]”.
Para Fuqaha sepakat bahwa politik dengan segala macam permasalahannya masuk di dalam kaidah syari’ah, jika tidak dinashkan secara khusus, maka politik tidak saja apa yang telah dikatakan syara’, karena syariah adalah tertentu dan tertulis dalam kaidah umum saja, sedangkan kejadian-kejadian dunia adalah serba baru dan terbarukan, dan semua hal yang menghasilkan keadilan maka hal itu adalah bagian dari agama selagi tidak bertentangan dengan kaidah syari’ah secara umum[21].
Maka landasan system politik dalam Islam adalah keadilan, musyawarah dan persamaan sehingga memberikan kesimpulan bahwa politik Islam adalah: Kebijakan dalam menata negara baik dalam permasalahan dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan undang-undang sesuai dengan koridor syar’i untuk mengatur rakyatnya dalam mencapai kemaslahatan umum yang berujung pada kesetabilan negara dan kemakmuran rakyat.
C. Fikih Pemilihan Umum Dalam Bingkai Fikih Demokrasi
Dalam permasalahan Pemilihan Umum baik hal ini bersangkutan dengan pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislative (DPR/MPR) atau lembaga utusan daerah semisal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berbentuk bikameral, Islam dalam menyoroti hal ini hanya sebatas pada kaidah umum. Sedangkan mekanisme yang tepat hal itu disesuaikan dengan kondisi negara setempat dengan tetap memperhatiakan kaidah syar’I yang benar. Maka dalam hal ini agak sulit untuk memberikan penjelasan fiqih tentang hal ini. Maka tidak lain jika kita mengaca kepada hadis Nabi, Saw. yang mengatakan: “Jika anda pergi ke sebuah negara dan di dalamnya tidak ada penguasanya maka tinggalkanlah negara itu”[22]. Dan hal ini juga diperkuat hadis Rasul, saw. yang mengatakan: “Jika anda bertiga, maka diperintahkan salah satu dari kalian seorang pemimpin”[23][24].
Dari hadis ini menunjukkan bagaimana memilih seorang pemimpin adalah wajib hukumnya, karena tidak akan sempurna kemaslahatan umat kecuali telah ada dalam sebuah masayarakat yang memimpin masyarakatnya. Karena masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjaga akhlaq, keharaman, menjaga nilai-nilai yang bertujuan memerintah yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, karena sesungguhnya Allah akan menghukumi dengan kekuasan dan tidak dengan Al-Qur’an[25]. Dalam hal ini Imam Gazali berkata: “Ketahuilah bahwa syariah adalah ushul sedangkan raja (pemimpin) adalah penjaganya, maka jika tidak ada ushul maka akan hancur dan jika tidak ada penjaganya maka akan hilang”[26].
Maka dalam memilih sorang pemimpin harus memperhatikan hadis Nabi, saw. yang mengatakan: “Barang siapa yang memilih pemimpin karena fanatisme dan dia melihat di sana ada yang lebih mampu dari dia, maka sungguh dia telah menghianati Allah dan Rasul-Nya, dan menghianati orang-orang mu’min”[27]. (HR. Hakim dalam Sahihnya). Umar bin Khatab berkata: “Barang siapa yang mengangkat pemimpin umat muslimin dan dia mengangkatnya karena kekerabatan, kesayangan diantara keduanya, maka dia telah menghianati Allah dan Rasulnya dan orang-orang Muslimin”[28][29].
Dari penjelasan hadis di atas menunjukkan bahwa untuk memilih pemimpin harus memilih pemimpin yang kredibel, ankutable. Maka dalam hal ini criteria pemimpin yang wajib bagi masyarakat untuk memilihnya adalah pemimpin yang mempunyai syarat: 1). Islam[30], 2). Mampu, 3). Laki-laki[31], 4). Pemberani, 5). Merdeka, 6). Sehat Badan dan Tidak cacat. Sedangkan syarat-syarat yang menuai berbedaan pendapat: 1). harus Adalah (orang bersih lahir dan batin) 2). Ahli Ijtihad 3). Berketurunan Quraisy[32].
Maka dalam memilih pemimpin baik untuk memilih presiden maupun perwakilannya harus mengacu pada syarat-syarat diatas, walaupun tidak seratus persen, akan tetapi mayoritas yang layak untuk dapat memimpin mengatur permasalahan dunia dan akhirat. Maka dalam upaya memilih pimpinan di atas upaya yang tepat adalah dengan system musyawarah atau demokrasi yang bersubstansi syura.
Walaupun istilah demokrasi merupakan istilah yang klasik, akan tetapi hal ini masih dianggap mendekati kebenaran dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam istilah demokrasi yang relevan dengan kondisi sekarang adalah dengan system syura (musyawarah). Kedua system ini mempunyai persamaan dan perbedaan: konsep demokrasi bersumber dari Barat melalui pencetusnya Socrates yang berasal dari kata demos dan cratos yang berarti: Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Sedangkan system syura (musyawarah) berasal dari umat Islam yang diambil dari Al Qur'an (QS. Al Imran; 159, QS. Al-Baqarah; 233, QS. As-Syura; 38). Yang berbunyi: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. 42:38). Dari ayat ini mengandung tiga hal dalam konsep syura: Pertama, dimensi ketuhanan, yaitu dengan mematuhi undang-undang (aturan-aturan) Tuhan dan implementasinya dimisalkan dalam bentuk sholat karena sholat adalah sebagai tiang agama dan juga merupakan jalur komunikasi langsung manusia dengan Tuhannya. Kedua, adalah dimensi kemanusiaan, yang diimplementasikan dengan system musyawarah antar manusia. Artinya, system musyawarah adalah jalan yang tepat untuk menyelesaikan semua permasalahan. Maka karena PEMILU adalah gawe semua masyarakat, maka pemilihan secara langsung dari semua lapisan masyarakat adalah sesuai dengan konsep syura, karena mereka lah yang akan merasakan dari semua kebijakan pemimpinnya. Dan konsep ini yang diambil dalam negara demokrasi. Ketiga, dimensi social manusia, hal ini tercermin dalam bentuk kerja sama, saling bantu-membantu dan takaful ijtima'I yang dimisalkan zakat, sedekah dan lain sebagainya yang bertujuan pada kemakmuran rakyat baik secara mental spiritual maupun matriil, sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah, karena pemberi kemakmuran ini adalah Allah maka kemakmuran ini digunakan untuk beribadah kepada Allah .
Setelah kita bandingkan dalam tataran nilai yang dikandung dalam dua konsep ini maka demokrasi konvensional hanya mengadopsi nilai yang kedua dan nilai kedua ini juga tidak diambil secara penuh dengan hati nurani kemanusiaan secara utuh yang akan berujung pada demokrasi merkantilisme (demokrasi dagang sapi) yang mengusung materiilisme, maka untuk memenangkan suatu permasalahan hanya dihitung dari dimensi materialisme sehingga nilai hati nurani musyawarah dan mufakat itu dimatikan oleh segelintir matrealisme tadi, inilah yang dikatakan oleh Morena Hertz dengan istilah "The Death Of Democracy". sedangkan dalam Islam (syura) lebih comprehensip yang mencakup tiga dimensi; nilai ketuhanan, kemanusiaan dan social kemanusiaan dalam bentuk takaful ijtima'i.
Kemudian apakah kita memakai istilah syura atau demokrasi? Dari sini boleh saja mengambil istilah syura atau demokrasi yang penting substansi tiga dimensi itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan system demokrasi atau syura.
D. Money Politik Dalam Sorotan Fikih
Dalam memobilisasi masa, agar masyarakat memilih pasangan dari para calon pemimpin yang bersaing, kebanyakan dari para kandidat membayar mahal baik pada pesaingnya maupun kepada masyarakat agar mendapatkan suara yang banyak. Maka dalam hal ini, realitas politik dalam masyarakat menggambarkan yang demikian itu. Maka bagaimana dalam pandangan fikih menanggapi permasalahan ini?.
Kalau dalam pandangan fikih bisa dilihat dalam bentuk akad yang ia pergunakan. Apabila hal itu bentuknya adalah jual beli maka hal itu jelas tidak diperbolehkan. Karena dalam syarat jual beli sesuatu yang dibeli harus berupa barang yang jelas dan taqabudh (bisa diserah-terimakan). sebab kalau barang yang dibeli itu tidak jelas dan tidak bisa diambil berarti tidak sah jual belinya. Kalau dalam pemilihan umum berarti suara lah yang diperjual-belikan dan suara merupakan suatu yang masih samar, karena hal itu tidak berupa barang yang tidak bisa diserah-terimakan. Jadi jelas tidak sah. Kalau akad yang dipakai adalah hadiyah atau hibah berarti terjebak dalam Bab Risywah (suap) dan suap menyuap dalam Islam jelas tidak boleh, sebagaimana hadis Nabi, saw. “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap”[33].
Di sisi lain, kalau yang terjadi adalah suap-menyuap antar pasangan dengan maksud agar dalam pasangan yang lain gagal untuk bersaing dalam pemilihan umum, maka keduanya sudah terjebak dengan memakan harta dengan bathil[34] sebagaimana firman Allah QS. An-Nisa’; 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. (QS. 4:29).
Dalam konteks ini, suap-menyuap adalah muamalah yang tidak berakhlaq dan hal itu akan berujung kepada keburukan yang berdampak kepada masyarakat. Karena dengan melimpahkan permasalahan umat kepada orang yang bukan ahlinya yaitu: kemenangan hasil pemilu adalah akibat suap-menyuap (money politik) berarti terjebak dalam larangan hadis Nabi, saw. yang berbunyi: “Jika perkara itu dilimpahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktunya”[35]. Artinya tunggulah masa kehancurannya.
Maka dari sini hendaklah masyarakat memilih pimpinan/presidennya sesuai dengan hati nurani, karena dengan memilih yang didasarkan pada hati nurani berarti sudah memilih pada suatu yang baik di sisi Allah, berarti ia sudah menjalankan amanah dengan baik di depan Allah. Maka untuk melihat siapa yang layak, lihatlah program yang akan digelindingkan dan track record yang baik dalam kehidupannya. Maka kalau sudah melihat calon dari berbagai kandidat, upayakan untuk memilih adalah petunjuk Allah yaitu dibarengi dengan shalat istiharah. Janganlah memilih karena imbalan materi, sebab imbalan materi manfaatnya tidak akan lama, justru kebijakan bertahun-tahun itulah yang menjadikan sakit di hati. tapi kalau hati nurani yang memilih berarti kesejahteraan dan keihlasanlah yang menuai pahala dunia dan akhirat. Maka pilihlah pemimpin dan presiden yang kuat, professional dan amanah di dunia dan di akhirat.
E. Penutup
Demikianlah pembahasan politik Islam dalam rangka memperbaharui pemahaman politik bagi para praktisi politik, agar politik yang dipahami tidak hanya sebatas amalan duniawi, tapi pilihan yang telah ia lakukan adalah bernuansa ukhrawi yang akan ditanyakan pertanggung jawabannya di hari kiamat nanti.
Dengan melihat pembaharuan konsep politik di atas maka, suasana kehidupan pun akan damai, adil dan takaful ijtimai karena semua didasarkan pada lingkungan yang saling bersaudara, adil, musyawarah sinergis yang berakibat pada hilangnya kezaliman- dalam kehidupan politik.
Dengan demikian masyarakat yang dibangun adalah masyarakat yang penuh cinta dan kasih sayang sesamanya menuju masyarakat yang adil, aman, damai dan sejahtera menuju cita-cita agama Islam yang memberikan kontribusi yang rahmanatan lil-alamin. Yaitu dengan cara menghilangkan persaingan yang tidak sehat karena masih dalam bingkai ukhuwah islamiyah, menghilangkan system money politik karena hal itu tidak sesuai dengan syariah Islam dan juga tidak sesuai dengan akhlak yang akan menjerumuskan pada kerusakan umat.
Maka nilai-nilai Islam dalam gerakan politik harus mendarah daging dalam para praktisi politik, agar politik ini menjadi bagian dari ibadah yang berarti kita juga akan dilihat Allah dan akan dimintai pertanggungjawabkan di hari kiamat. Maka jargon yang dipakai adalah berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiquu al-Khoirat). Untuk memperoleh kenikmatan yang lebih di Surga-Nya.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] . Majma’u al-Ligah Al-Arabiyah, “Al-Mu’jam al-Wajiz”, cet. Khossoh Biwizarati at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, Republik Arab Mesir, hal. 328.
[2] . Hasyiyatu al-Bujairami, juz. 2, hal. 178.
[3]. Dr. Yusuf Qardawy, “Siyasah Syar’yah Fi Dhaui as-Syari’ah wa Maqashidiha”, Maktabah Wahbah, cet. 1, th. 1998, hal. 32.
[4] . QS. Al-Baqarah; 30, QS. Shad; 26.
[5] . QS. Al-An’am; 165, QS. Yunus; 14, 73, QS. Fathir; 39.
[6] . QS. Al-A’raf; 69, 74 QS. An-Naml; 62.
[7] . QS. Al-Hadid; 7.
[8] . Ahmad Mustafa Al-Maraghy, “Tafsir al-Maraghy”, Kairo, cet. 4, th. 1969 M, juz. 1, hal. 80.
[9] . Dr. Sa’duddin Mas’ad al Hilaly, “Qadaya Fiqhiyah Mua’shirah; Takyif al-Fiqhy li an-Nidzam al-Intikhoby”, juz. 2, Univ. Al-Azhar, hal. 348.
[10] . Al-Qurtuby, “Al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an”, jilid. 5, hal. 3284.
[11] . HR. Muttafaq Alaih, Hadis dari Abu Hurairah, HR. Bukhori dalam “Al-Anbiya’’ dan Muslim dalam “Al-Imarah”, al-Lu’Lu’ wa al-Marjan, hal. 1208.
[12] . Dr. Yusuf Qardawy, “Siyasah Syar’yah Fi Dhaui as-Syari’ah wa Maqashidiha”, ibid. hal. 29.
[13] . Dr. Ali Muhammad M. Shalaby, “As-Shirah An-Nabawiyah”, th. 2001, hal. 395-398.
[14] . Ibnu Kasir, juz. 3, hal. 446.
[15] . Abdul Qadir Audah, “Al-Islam Wa Audhauna as-Siyasiyah”, Kairo, Dar al-Kitab al-Araby, tahun 1951, hal. 12.
[16] . Naser Muhammad Arif, “Nadzriyat at-Tanmiyah as-Siyasiyah al-Muashirah”, IIIT, hal. 254-257.
[17] . Dr. Fathiyah Nabrawi, Dr. M. Naser Mahna, “Tathuwur al-Fikri as-Siyasi Fi al-Islam”, juz. 2, cet. Dar. Ma’arif, hal. 25.
[18] . Dr. Muhammad Imarah, “Islam dan Politik”, terjemah: Lathif Hakim, hal. 28-30.
[19] . Dr. M. Imarah. Ibid.
[20] . Dr. Fathiyah Nabrawi, Dr. M. Naser Mahna, ibid. op. cit. hal. 6.
[21] . Ibnu al-Qayim, “I’lamu al-Muwaqi’in”, juz. 4, hal. 372.
[22] . Al-Baihaqi, “Sya’bu al-Iman”, dari Anas, Ra. lihat “Kanzu al-Umal”, juz. 6, hal. 8.
[23] . Majma’ az-Zawa’id, juz. 5, hal. 255.
[24] . Dr. Taufiq al-Wa’I, “Ad-Daulah Islamiyah Baina at-Turas wa al-Ma’ashirah”, Dar. Ibnu Hazem, hal. 13.
[25] . Dr .Taufiq al-Wa’I, “Ad-Daulah Islamiyah Baina at-Turas wa al-Ma’ashirah”, ibid. hal. 14.
[26] . Syekh M. Gazali, “Al-Iqtishad fi al-I’tiqad”, Cet. Mahmudiyah, Mesir, hal. 135.
[27] . Sahih Bukhory, juz. 3, hal. 120. Bab Upah Mediator.
[28] . Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah, juz. 28. hal. 246.
[29] . Dr. Rafiq Yunus al-Mashry, “Ushul al-Iqtishad al-Islamy”, Dar. Qalam, Dar Syamiyah, hal. 194.
[30] . QS. An-Nisa’; 141, 59, 83, QS. Al-Imran; 28.
[31] . Walaupun dalam syarat ini menuai perdebatan diantaranya kalangan penyeru persamaan gender. Kan tetapi tetap yang didahulukan adalah laki-laki, apabila laki-laki tidak ada yang mampu baru perempuan.
[32] . Dr .Taufiq al-Wa’I, “Ad-Daulah Islamiyah Baina at-Turas wa al-Ma’ashirah”, ibid. hal. 211-216.
[33] . Sahih Ibnu Hibban, juz.11, hal. 468, Hadis No. 5077.
[34] . Dr. Sa’duddin Mas’ad al Hilaly, “Qadaya Fiqhiyah Mua’shirah; Takyif al-Fiqhy li an-Nidzam al-Intikhoby”, ibid. hal. 389.
[35] . Sahih Bukhori, juz. 1, hal. 33. Hadis, no. 59.
Sumber : Millist Anggota ICMI
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]