Menu Utama :


[PETA NUSANTARA] [RADIO HARAMAIN] [TV-ISLAM CHANNEL] [QIBLAT LOCATOR] [MUSIK DAN FILM] [SLIDE FOTO]

pemikiran dan analisis para pakar untuk pembangunan bangsa


06 Maret 2008

Heboh Susu Formula dan Buku Menkes

Oleh : IRWAN JULIANTO

Dua pekan terakhir media dan masyarakat dihebohkan oleh berita temuan para peneliti Institut Pertanian Bogor bahwa susu formula yang beredar di pasaran tidak steril karena mengandung bakteri Enterobacter sakazakii yang dapat menyebabkan infeksi meningitis pada bayi. Sayangnya, pejabat Departemen Kesehatan justru menuding penelitian itu tidak sahih dan mungkin disponsori pihak luar.

Padahal, susu formula (untuk bayi lahir normal), menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), memang tak perlu sama sekali steril karena biaya produksinya bakal amat mahal dan vitamin yang difortifikasi akan rusak. Bakteri seperti E sakazakii dalam susu formula—kalau toh ada—tak perlu kelewat dikhawatirkan karena dapat dijinakkan dengan cara penyiapan dan pemberian susu formula yang higienis.

Yang perlu diprihatinkan oleh Depkes dan konsumen seyogianya adalah terlalu besarnya ketergantungan masyarakat pada susu formula. Pada saat perekonomian masyarakat menengah bawah sulit seperti saat ini, seharusnya Depkes lebih gencar mempromosikan air susu ibu (ASI) eksklusif.

Sejarah pernah mencatat betapa produsen susu formula multinasional pernah begitu dominan dan memasarkan produk mereka secara tak etis ke negara-negara dunia ketiga hingga jutaan bayi mengalami diare, dehidrasi, dan kehilangan nyawa. Kelompok konsumen War on Want dari Inggris menemukan praktik penyuapan produsen susu formula kepada para bidan dan dokter anak agar ibu-ibu yang baru melahirkan didorong untuk tak menyusui anak mereka sehingga konsumsi susu formula dapat digenjot. Puncaknya, berkat lobi dan tekanan organisasi/aktivis konsumen internasional awal tahun 1980-an, WHO dan Unicef mengeluarkan Kode Pemasaran Internasional Pengganti ASI, yang antara lain melarang pemasangan gambar bayi di kaleng susu formula.

Ulah WHO dan Unicef ini tentu tak menggembirakan negara-negara industri. Tak heran ketika WHO atas desakan organisasi konsumen dunia tahun 1984-1986 mencoba untuk membuat Kode Pemasaran Obat guna menekan praktik industrio-medical complex (kontrak-mengontrak dokter oleh industri farmasi), upaya itu kandas. Amerika Serikat mengancam akan cabut dari WHO. Dirjen WHO Halfdan Mahler, yang asal negeri Skandinavia, kemudian digantikan oleh Hiroshi Nakajima asal Jepang, yang tentu lebih pro-AS.

Skandal pencurian virus

Dalam perjalanannya, WHO sebagai organisasi kesehatan di bawah PBB memang sarat dengan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi negara-negara angggotanya. Contoh paling mutakhir adalah sikap mbalelo Indonesia yang tak mau mengirim sampel virus flu burung kepada WHO. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari khawatir virus H5N1 itu akan dijadikan bahan pembuatan vaksin oleh industri negara-negara maju yang kemudian harus dibayar mahal oleh rakyat negara-negara yang terjangkit flu burung, termasuk Indonesia yang mengirimkan sampel virus tadi.

Drama diplomasi dan perdebatan masalah inilah yang dituangkan oleh Menkes RI dalam bukunya, Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung, yang diluncurkan di Jakarta tanggal 6 Februari lalu. Baru genap dua pekan beredar, edisi bahasa Inggris buku itu, It’s Time for the World to Change-in the Spirit of Dignity, Equity, and Transparency. Divine Hand Behind Avian Influenza, sudah menghebohkan dunia internasional. Jubir Deplu AS Susan Stahl, seperti dikutip harian Australia, The Age (21/2), membantah bahwa sampel virus flu burung Indonesia telah dikirim ke laboratorium senjata biologi Pemerintah AS di Los Alamos, New Mexico.

Petinggi WHO untuk keamanan kesehatan, David Heymann, menyatakan bahwa Menkes Fadilah Supari memperoleh instruksi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menarik dari pasar. Menkes menyatakan, ia atas inisiatif sendiri menarik buku edisi bahasa Inggrisnya untuk diedit ulang karena ada kesalahan penerjemahan. Walaupun dikatakan telah ditarik, hingga hari Minggu (2/3) toko buku QB di Kemang masih men-display belasan buku itu.

Coba kita simak isi buku edisi bahasa Indonesia halaman 17: ”Data sequencing DNA diberlakukan sebagai dari mereka yang berada di Los Alamos. Kapan akan dibuat vaksin dan kapan akan dibuat senjata kimia, barangkali tergantung dari keperluan dan kepentingan mereka saja.” Diterjemahkan menjadi: ”The DNA sequence data of H5N1 virus had been the privilege for the scientists in Los Alamos. Whether they used it to make vaccine or develop chemical weapon, would depend on the need and the interest of the US government.”

Memang dalam edisi bahasa Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit kata ”Pemerintah AS”. Namun, di halaman 19 lagi-lagi tersurat dan tersirat kekhawatiran Menkes bahwa virus flu burung Indonesia dapat dijadikan senjata biologi.

Lepas dari spekulasi soal senjata biologi ini, gugatan Menkes RI terhadap nasib sampel virus flu burung Indonesia jika dibuat vaksin tanpa melibatkan Indonesia adalah sah adanya.

Ini mengingatkan kita akan sengketa Pemerintah Perancis (masa Presiden Mitterand) dengan Pemerintah AS (masa Reagan) soal pembagian royalti paten tes antibodi untuk HIV/ AIDS. Tahun 1983 ilmuwan Institut Pasteur yang dipimpin Luc Montagnier mengklaim menemukan virus penyebab AIDS dari darah seorang pramugara gay. Sampel virus itu kemudian dikirim ke laboratorium Robert Gallo di Bethesda, Amerika Serikat. Tahun 1984, Gallo mengklaim bahwa ia dan timnya berhasil mengisolasi virus penyebab AIDS, bahkan ia kemudian menemukan cara mengetes antibodi orang yang terinfeksi virus itu yang kemudian dikenal sebagai tes ELISA.

Sejarah menunjukkan, Gallo telah ”memakai” sampel virus tim Montagnier. Gallo pun menjalani persidangan integritas dan etika keilmuwanannya. Dengan terpaksa Reagan memberi konsesi bagi hasil tes antibodi HIV kepada Pemerintah Perancis dan tim Montagnier. Hal ini terungkap dalam buku And the Band Played On-Politics, People, and the AIDS Epidemic karya wartawan Randy Shilts.

Mudah-mudahan sampel virus H5N1 asal Indonesia yang jauh lebih ganas dibandingkan dengan virus flu burung Vietnam tidak mengalami nasib serupa HIV temuan Montagnier.

Sumber : Kompas

1 komentar:

  1. yang saya masih bingung dari kalimat ini "pejabat Departemen Kesehatan justru menuding penelitian itu tidak sahih dan mungkin disponsori pihak luar."

    Terutama dibagian kata "mungkin disponsori pihak luar."

    BalasHapus

New Page 14

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
PANDUAN VERIFIKASI AKUN PAYPAL ANDA KE REKENING BANK ANDA [KLIK DISINI]

Cari artikel, informasi di website dan atau di blog ini, seperti; foto (image), audio dan video dengan mesin Google berikut. Ketik keyword (kata kunci) dalam kotak, klik tombol "cari" pada form berikut :
Google
TIPs : Untuk mengotimalkan pemakaian mesin pencari "google.com" diatas, dapat Anda pelajari disini, silahkan klik: [http://zulfikri-kamin.blogspot.com/2008/07/tips-mengotimalkan-mesin-pencari.html] ----------